Pandemi Corona

Ilmuwan Peroleh Indikasi Orang India Kebal Covid-19 karena Terbiasa Hidup Tak Bersih

Walaupun menjadi salah satu negara dengan kasus corona tertinggi, tingkat kematian di India tergolong rendah. Penelitian terbaru berusaha mencari jawabannya lewat kondisi sanitasi.
india coronavirus
Foto oleh Annie Spratt via Unsplash

Sejumlah ilmuwan dari Pusat Penelitian Ilmiah dan Industri India (CSIR) belum lama menerbitkan penelitian yang menjelaskan banyak nyawa di India selamat dari Covid-19 berkat sanitasi dan kebersihan yang kurang di sana.

Seperti yang kita ketahui negara ini sangat kotor dan kekurangan air bersih. Polusi udara di India juga amat mengkhawatirkan, dan menewaskan rata-rata 1,2 juta orang setiap tahunnya. Namun, kondisi mengenaskan ini kemungkinan menjadi alasan mengapa tingkat kematian akibat Covid-19 termasuk yang paling rendah di dunia.

Iklan

Sebagai rumah bagi seperenam populasi dunia, India menduduki peringkat kedua untuk jumlah kasus corona terbanyak. Walaupun begitu, negara ini hanya melaporkan 10 persen dari jumlah kematian global. Tingkat kematiannya bahkan kurang dari dua persen, menjadikannya salah satu yang terendah di dunia.

Namun, sejumlah orang mengkritik rendahnya tingkat kematian mungkin disebabkan oleh pelayanan kesehatan di India yang kurang memadai dan tidak dapat mencatat angka kematian akibat Covid-19 secara akurat.

Studi yang belum ditinjau oleh rekan sejawat ini mengklaim bahwa penyakit parasit dan bakteri umum terjadi di “negara berpenghasilan rendah dan menengah”. Orang yang tinggal di negara-negara ini memiliki risiko terpapar penyakit menular yang lebih tinggi, sehingga pada akhirnya “memberi kekebalan” terhadap Covid-19.

Penelitiannya didasarkan pada hipotesis bahwa kebersihan yang lebih baik dan penurunan insidensi infeksi di negara maju justru meningkatkan risiko gangguan autoimun dan alergi. Orang yang menderita gangguan autoimun dikabarkan lebih rentan tertular virus Covid-19.

“Dilihat dari korelasi negatif LDM Covid-19 (log kematian per juta) yang lemah dengan penyakit menular serta korelasi positifnya dengan gangguan autoimun di negara berpenghasilan tinggi, ada semacam interaksi antara ‘host immunity’ dengan infeksi virus,” tulis para peneliti.

Penelitiannya membandingkan data yang tersedia dari 106 negara dengan parameter seperti jumlah kematian akibat Covid-19 per satu juta orang, PDB, insidensi penyakit tidak menular macam diabetes dan hipertensi, dan sanitasi.

Iklan

Peneliti mengamati apakah orangnya telah menerima vaksin BCG, yang berfungsi untuk melindungi diri dari tuberkulosis. Hasil pengamatannya menunjukkan korelasi antara vaksin BCG dan tingkat kematian rendah “dapat diabaikan”.

“Kami menganalisis 25 parameter. Kelihatannya paradoks, tapi kasus kematian jauh lebih banyak di negara berpenghasilan tinggi. Terlepas dari harapan hidup tinggi, mereka mungkin memiliki risiko terpapar penyakit menular lebih tinggi yang semuanya merupakan faktor risiko kematian Covid-19,” direktur umum CSIR Shekhar Mande memberi tahu The Print.

Para peneliti juga mempelajari tingkat sanitasi negara lain. “Ada hipotesis semakin tinggi risiko kalian terpapar patogen sejak kecil, semakin besar pula kekebalan kalian terhadap penyakit menular,” lanjutnya. “Kualitas kebersihan yang buruk dapat memicu perkembangbiakan patogen. Namun, ini justru melatih tubuh seseorang agar lebih kebal terhadap penyakit baru. Tanpa adanya ‘pelatihan kekebalan’, sistem kekebalan tubuh akan bereaksi berlebihan dan dapat berakhir fatal.”

Mereka juga mencatat hubungan penting antara tingkat keparahan virus dan beberapa penyakit tidak menular seperti diabetes.

Sebagaimana dijelaskan dalam penelitian, “Lansia di atas 65 tahun dipercaya lebih rentan terinfeksi Covid-19, dan persentasenya secara signifikan lebih banyak berada di negara-negara dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tinggi. Dengan demikian, faktor-faktor seperti penyakit bawaan, penyakit tidak menular, dan usia tua lebih condong ke negara berpenghasilan tinggi. Hal ini mungkin bisa menjelaskan dikotomi tingkat kematian kasus yang membingungkan di berbagai negara.”

Para peneliti berujar korelasi tidak menyiratkan sebab-akibat, sehingga studi semacam ini harus diperlakukan layaknya sebuah pengamatan.

Follow Varsha di Twitter.