FYI.

This story is over 5 years old.

kesehatan

Punya Teman yang Doyan Pamer Kebiasaan Lari Bermanfaat Buat Kesehatanmu Lho

Intinya sih, penelitian bilang 'peer pressure' virtual ada dampaknya untuk merangsang orang mau olahraga.
Punya Teman yang Doyan Pamer Kebiasaan Lari Bermanfaat Buat Psikologismu
Foto ilustrasi oleh Tonic

Lari memang enaknya dikerjakan bareng teman-teman. Begitu memang kenyataan dan itu enggak bisa ditampik lagi. Terus bagaimana kalau kalian dan teman kalian tinggal dua kota yang berbeda? Ada untungnya enggak sih kalau kamu tahu performa lari temanmu jauh lebih bagus darimu? Ternyata menurut sebuah penelitian, jawabannya bisa. Kadang info temanmu masih rajin lari—bahkan lebih rajin dari kamu—bisa berdampak pada kebiasaan larimu, apalagi jika kamu laki-laki.

Iklan

Untuk bisa sampai ke kesimpulan di atas, para peneliti memerilsa data global medsos para pelari globa selama lima tahun. Mereka mengamati 1,1 juta orang yang secara kumulatif berlari sejauh 362 juta km selama kurun waktu itu.

Data tersebut diperoleh dari fitnes tracker, yang membantu para periset mengatasi masalah laporan yang asal-asalan (misalnya, saban kali disurvei tentang kebiasaan berolahraga, orang umumnya menjawab sebagus mungkin). Ini semua memungkikan peneliti menganalisa sesering apa, sejauh apa dan secepat apa seseorang berlari. Setelah itu, mereka membandingkan data seseorang dengan “temannya.”

Sudah barang tentu, data akan menunjukkan bahwa sepasang kawan karib punya kebiasaan yang mirip. Tapi, temuan ini belum cukup. Misalnya, kita berekspektasi seorang pelari maraton akan berteman dengan sesamanya. Akan tetapi, ini enggak berarti mereka saling memicu yang lainnya untuk berlari maraton. Mereka cuma mengerjakan sesatu yang sudah mereka kerjaan sendirian secara bersama-sama. Itu saja.

Alhasil, para peneliti mulai memasukkan aspek lainnya. “Kami akhirnya cuaca sebagai sebuah eksperimen alami,” ujar Sinan Aral, koordinator penelitian tersebut. Para peneliti membandingkan data dari stasiun cuaca global dengan data para pelari. Dari situ, mereka menemukan bahwa orang cenderung berlari (bahkan dengan jarak lebih jauh) pada saat cuaca sedang bagus.

Selain itu, teman mereka—bahkan yang tinggal di kawasan lain dengan kondisi cuaca berbeda—terpicu untuk melakukan olahraga lari. Jika seseorang lari sepuluh menit lebih lama dari biasa, temannya akan menambah durasi larinya tiga menit, bagaimanapun kondisi cuacanya. Selain durasi, kecepatan juga menular.

Iklan

Yang mengejutkan, justru pelari lamban yang memicu efek yang lebih signifikan. Misalnya, bila seorang pelari yang malas-malsan tiba-tiba jadi lebih rajin lari, maka temannya, mau tak mau, terpacu meningkatkan rutinitas larinya. Gender juga berpengaruh. Pelari laki-laki umumnya gampang terpacu dan tertantang oleh capaian pelari lelaki lainnya, tapi tak begitu tertantang saat melihat capaian rekan perempuannya. Sementara perempuan cenderung berkompetisi dengan sesamanya dan nyaris masa bodo amat dengan capaian kawannya yang berjenis kelamin laki-laki.

Aral mengatakan bahwa riset ini baru permulaan. Namun, setidaknya ada sejumlah kesimpulan menarik yang bisa kita ambil. Ini yang paling sederhana: jika kamu seorang pelari dan butuh pasokan motivasi yang ajeg, teman, meski cuma virtual, bisa membantu.

Dalam skala yang lebih luas, riset macam ini bisa membantu kita memahami efek peer-to-peer yang bisa menunjang penciptaan intervensi kesehatan yang lebih efektf. Contohnya, kita bisa memanfaatkan pertemanan orang untuk mendorong mereka untuk hidup lebih sehat.

Satu yang pasti: peer pressure virtual ternyata punya pangaruh nyata dalam kehidupan kita.

Artikel ini pertama kali tayang di Tonic