FYI.

This story is over 5 years old.

Kesehatan Mental

Aku Mengidap Fobia Sama Perasaan Bahagia

Beneran ada lho fobia begitu. Tiap kali merasa senang atau gembira, aku segera merasa cemas.

Artikel ini pertama kali tayang di Tonic.

Aku dan suami berbaring di atas sofa. Udara ruangan dingin dan lembab. Ruang yang kami tempati remang-remang saja, diterangi cahaya lampu jalan yang menerobos gorden. Suamiku ngorok di sebelahku. Dia puas setelah kami bersenggama. Aku cuma bisa menatap langit-langit, sementara keringat dan cairan tubuh sisa-sisa pergulatan kami mulai terasa kental di kulitnya. Aku tak puas. Semua ini sama sekali bukan salah suamiku. Aku sengaja berhenti sebelum aku orgasme. Aku selalu begitu. Keesokannya, di sebuah taman, anak perempuanku yang kecil berlari ke arahku, tangannya merentang. Tawanya terdengar seperti bunyi lonceng. Rambut ikal hitam menutupi pipinya yang tembem selagi dia meloncat dan menciumku. Untuk beberapa saat, aku bisa melupakan diriku. Rasa bahagia membanjiri saya. Tapi itu cuma terjadi dalam sesaat. Setelah itu, aku mengisolasi rasa gembira itu, menekannya dan menjauhkan diri dari momen-momen menyenangkan itu—pokoknya, aku melakukan apapun agar aku bisa merasa aku dan keluargaku aman. Aku takut merasa bahagia. Ketakutannya melampui ketakutan kehilangan kebahagiaan, seperti yang kerap dirasakan para penyintas pengalaman traumatis. Apa yang aku rasakan juga bukan igauan eksistensial yang terjadi beberapa saat saja. Aku benar-benar percaya bila aku merasa bahagia, malapetaka akan terjadi. Aku tahu, ini kedengaran kurang masuk akal. Masalahnya, otakku otomatis berpikir seperti itu. Dignosa klinis yang aku dapat mengatakan kalau aku punya Post Traumatic Stress Disorder, tapi cherophobia—ketakutan akan kebahagiaan—tak termasuk dalam gejala PTSD, atau setidaknya disebut dalam dignosa klinis. Meski demikian, fenomena ini kerap terdeteksi pada para penyintas trauma.

Kira Mauseth, seorang pakar trauma dan profesor psikologi klinis di Seattle University, menduga bahwa seperempat hingga sepertiga pasien trauma memiliki kebiasaan menampik kebahagiaan. Aku adalah penyintas kasus kekerasan domestik. Mantan tunanganku menyiksaku secara fisik, lisan dan emosional. Tunanganku justru sedang kejam-kejamnya ketika aku sangat baik dan rentan di depannya. Seperti yang dijabarkan Mauseth, penyiksaan ini membuyarkan cara pandangku akan semua hal, termasuk fondasi sistem etika dalam manusia. Aku kehilangan kemampuan melihat sisi baik dari segala hal. Bagiku kini, marabahaya dan kebahagiaan kadang setali tiga uang. Mauseth percaya bahwa rasa takut akan kebahagiaan punya kaitan langsung dengan pandangan sesorang terhadap dunia. Mereka yang tumbuh besar di masyarakat barat diwarisi "kepercayaan akan dunia yang adil"—gampangnya kepercayaan bahwa orang baik akan ketiban nasib buruk dan orang baik bakal mendapat keberuntungan. "Jika anda dibesarkan di lingkungan seperti ini, " ujar Mauseth," [trauma] akan mengacaukan pandanganmu akan dunia. Ketakutan akan kebahagiaan adalah refleksi dari buyarnya cara pandang akan dunia."
Hidup dengan fobia macam ini punya konsekuensinya tersendiri. Pengidap fobia ini juga kerap dicap buruk. Manusia umumnya mendambakan kebahagiaan. Dampaknya, kalau kita menampik kebahagiaan, kita bakal dianggap sampah masyarakat. Aku sudah malas menghitung berapa jumlah anggota keluarga dan tean yang "mendetoks" aku dari kehidupan mereka. Alasan yang mereka ajukan bermacam-macam. Dari aku yang dianggap malas berubah hingga aku dikira sok-sokan mengalami depresi agar dapat perhatian. Yang tak dipahami oleh keluarga dan teman-temanku adalah aku sudah membayar sangat mahal untuk memeroleh privilese menikmati kebahagiaan di masa lalu hingga kini pencarian kebahagiaan hampir sama dengan perburuan tragedi. Susan E. Collins, psikolog klinis dan peneliti University of Washington Harm Reduction Treatment Center, percaya bahwa terapi mindfulness bisa menjadi opsi untuk mengobati cherophobia. Terapi ini diilhami dari ajaran dalam agama Budha yang mengajarkan penganutnya untuk mengenali, mengakui dan bernafas melalui perasaan negatif yang mereka miliki.

Mengenai terapi mindfulness ini, Collins memberi penjelasan lebih jauh "Anda seharusnya tak usah merasa bahwa apa yang kamu pikirkan sebagai sesuatu yang irasional. Kita semua punya kecemasan; itu suda kodrat manusia. Namun, jangan sampai kecemasan mengendalikan diri kita. Dalam terapi mindfulness, anda bisa mengontol [kecemasan anda] dan menyaksikan pikiran-pikiran cemas itu perlahan menghilang. Kalau anda menghabiskan waktu cukup lama mengamati perasaan cemas ini, anda bisa melihatnya timbul tenggelam." Nyaris tiap hari, aku tak bisa merasa bahagia. Alih-alih bahagia, yang kurasakan cuma kehampaan. Ini yang namanya trauma. Tiap kali rasa bahagia masuk diam-diam, mengalahkan gejala-gajala PSTD, aku segera mengelak. Mungkin ini yang disebut cherophobia. Dengan mampu membedakan mana gejala PTSD dan mana yang cherophobia—yang harus ditangani dengan metode yang berbeda, aku bisa menjalani hidup dengan normal sampai saat ini. Belakangan, aku berjuang memisahkan keduanya dengan memberanikan diri menghadapinya satu persatu. Hari ini, lagi-lagi aku telat menidurkan anak-anak perempuanku. Jam tidur mereka sudah jauh lewat. Mereka masih saja asik berlarian dan berteriak tanpa henti. Bagiku, baterai kedua anakku seperti tak pernah habis. Aku hampir selalu kewalahan. Seharusnya, aku memakaikan diaper pada anak perempuanku yang berumur dua tahun. Dia baru saja aku mandikan. Yang aku kerjakan malah tidur-tiduran di lantai. Aku merasa sangat capek hingga aku merasa bisa terlelap di atas lantai. Mataku kukatupkan barangs sejenak. Ketika aku bangun, anak perempuanku yang paling muda tersenyum ke arahku. Jarak wajah kami hanya terpisah beberapa centimeter. Lalu, giliran kakaknya menabrakku.

"Ibu enggak papa?" teriaknya bak sedang berada dalam stadium. Mereka mulai menarik kedua tanganku, sambil berusaha keras mengajakku berdiri. Aku cuma bisa tertawa dan berusaha berdiri. Meski makhluk-mahluk mungil ini sering membuatku ketakutan, mereka selalu ada membuat hari-hariku lebih cerah. Tentu saja, kebahagiaan lekas dikuntit oleh ketakutan. Apa aku akan kehilangan mereka? Jangan salah satu dari mereka akan dibunuh, mati muda atau diculik kalau aku berani menyayangi mereka? Pikiran semacam itu seperti bisa muncul. Bedanya, kali ini aku tak bereaksi. Aku tak menekan perasaan bahagia ini dan berpura-pura tak memikirkannya.
Kali ini, aku biarkan ketakutan dan kebahagiaan berdampingan, tanpa sedikitpun reaksi dan kekhawatiran.