FYI.

This story is over 5 years old.

Buku Kontroversial

Mengenang Novel 'The Satanic Verses' yang 30 Tahun Lalu Bikin Murka Umat Muslim Sedunia

Jurnalis Mobeen Azhar menceritakan film dokumenter barunya yang digarap VICE Studios dan tayang di BBC, soal dampak novel kontroversial Salman Rusdhie. Buku itu secara tak langsung melahirkan Islamofobia.
Novel kontroversial The Satanic Verses oleh Salman Rushdie membuat marah umat Islam sedunia
Mobeen Azhar (kiri) dalam dokumenter 'The Satanic Verses: 30 Years On'. Arsip dari VICE Studios / BBC Two

Pada 1989, terbitnya buku Salman Rushdie The Satanic Verses memicu kemarahan global. Tak terhitung lagi umat Muslim menganggap Rushdie melakukan penistaan agama. Beberapa ulama mengeluarkan fatwa, bahwa sastrawan Inggris itu halal untuk dibunuh. Demonstrasi menolak keberadaan buku tersebut meluas ke berbagai negara. Indonesia, dan banyak negara mayoritas muslim lainnya, melarang peredaran The Satanic Verses. Toko buku yang nekat menjualnya dilempari bom. Penerjemah versi Jepang novel ini bahkan tewas ditusuk.

Iklan

Setelah tiga puluh tahun berlalu, apa kabar mereka yang dulu gencar melakukan aksi protes? Jika kita melihat lagi ke belakang, sebesar apa peran peristiwa kontroversial akibat buku ini yang memicu sentimen anti-Muslim di negara Barat?

Mobeen Azhar, jurnalis dan sutradara pemenang BAFTA, mencoba berefleksi atas peristiwa dari buku tersebut, melalui film dokumenter The Satanic Verses: 30 Years On yang diproduksi oleh VICE Studios untuk BBC Two. Sembari pulang kampung ke Yorkshire, Mobeen menemui orang-orang di balik aksi demonstrasi 30 tahun lalu. Mobeen juga menemui mereka yang hidupnya berubah karena buku tersebut; mulai dari mantan aktivis sayap kanan, jurnalis Muslim, sampai mantan jihadis.

Ternyata, masih ada orang yang menganggap buku itu berbahaya. Seorang lelaki muslim di Kawasan Bradford merenggut The Satanic Verses dari tangan Mobeen dan berusaha membakarnya. Insiden ini mengingatkan kita pada apa yang terjadi pada 1989 lalu.

Saya mengobrol bareng Mobeen menjelang ditayangkannya film dokumenter The Satanic Verses: 30 Years On di BBC Two.

Wawancara berikut sudah kami sunting agar ringkas dan lebih enak dibaca.

VICE: Apa yang masih kamu ingat dari kontroversi The Satanic Verses?
Mobeen Azhar: Usia saya baru delapan tahun pada 1989. Itu pertama kalinya saya melihat sesama orang keturunan Pakistan muncul di berita TV Inggris. Dulu, ada acara khusus untuk orang Asia yang membahas isu-isu Asia di Network East pada pagi hari. Orang tua saya suka menontonnya. Tapi pagi itu, untuk pertama kalinya, saya melihat mereka berdemonstrasi di berita. Saya sempat kepikiran aksi orang-orang keturunan Pakistan itu sedikit memalukan. Semua orang kelihatan marah banget.

Iklan

Untuk kepentingan dokumenter ini, kami mendatangi lagi SD saya, karena di sana muridnya kebanyakan orang Pakistan. Ada sebuah permainan—kedengarannya memang agak aneh, tapi kami memainkannya tanpa niat buruk. Nama permainannya “Cara Membunuh Salman Rushdie." Kami mencoba memikirkan cara paling kejam untuk membunuh seseorang. Tapi kami tidak memahami artinya. Bagi kami, Salman Rushdie itu layaknya monster; kami tidak mengerti politik. Pokoknya buat anak-anak muslim di sekolahku, kami kira dia penjahat. Jadi kami memikirkan cara fantastis dan ganjil untuk membunuh Salman Rushdie.

Waktu itu juga ada sebuah film Lollywood yang dirilis pada 1990, judulnya International Gorillay. Rekaman VHS film itu beredar di sekolahku, dan penjahatnya bernama Salman Rushdie. Dia merusak pemuda Pakistan dengan membuka diskotik di seluruh negara, dan dalam adegan penutup film itu, ia tersambar petir dari Alquran terbang. Saya ingat waktu saya menontonnya dan kami semua tertawa terbahak-bahak. Pada saat itu, kontroversinya kayak film kartun, rasanya tidak nyata.

Apakah sih pentingnya merefleksikan lagi kontroversi buku ini 30 tahun kemudian?
Apa yang terjadi di Inggris sekarang banyak yang berkaitan dengan kejadian 30 tahun lalu. Demi memahami fenomena seperti populernya kelompok sayap kanan, dan memahami bagaimana mereka bisa masuk ke wacana arus utama, kamu harus memahami sejarah negara ini. Persepsi negatif kulit putih terhadap komunitas imigran dan orang Islam di Inggris, banyak yang dapat dilacak hingga kejadian 30 tahun lalu.

Iklan

Sebelum Rushdie, belum ada konsep mengenai “pengasingan” orang Islam. Belum ada konsep kegagalan multikulturalisme dihubungkan secara spesifik dengan komunitas Islam. Dulu kami semua hanya dianggap orang Asia. Atau secara lebih luas, kami orang berkulit hitam. Kalau kamu mendengarkan Matthew Collins dalam dokumenter ini, mantan pengurus kelompok pemuda National Front, dia memberitahuku bahwa sebelum rilisnya The Satanic Verses, kampanye utama mereka berfokus pada “invasi Cina”. Menurut mereka, itulah ancaman terbesar dalam hubungan ras di Inggris.


Tonton dokumenter VICE saat mewawancarai Mamah Dedeh, pendakwah perempuan panutan di Indonesia:


Seperti kata Matthew, reaksi pada buku ini merupakan hadiah terbaik bagi kelompok sayap kanan. Pembakaran buku di Bradford terjadi pada Januari 1989, dan pada Februari, Front Nasional berdemonstrasi dengan pesan, "akan terjadi perang di Inggris Karena Orang Islam."

Novel Salman Rushdie masih memprovokasi reaksi emosional dari beberapa narasumbermu. Apakah kamu memang sudah siap kalau ada yang marah?
Saya tidak menduga apa yang terjadi di Bradford benar-benar terjadi. Saya tentunya tidak berharap pada zaman ini di tempat umum, bakalan ada orang yang mengambil buku dari tangan saya, membawanya kabur, merobek, dan berusaha membakarnya. Tetapi itulah yang terjadi. Menurut saya, sebagian besar anggota komunitas itu sangat reaktif terhadap isu penistaan agama, tetapi saya bisa memahaminya. Selama puluhan tahun ada berbagai peristiwa—termasuk serangan teror 9/11, kerusuhan Bradford, sampai skandal pelecehan anak—yang membuat komunitas Islam merasa mereka disasar dan dipantau.

Iklan
mobeen azhar satanic verses

Foto oleh VICE Studios / BBC Two

Di sisi lain, narasumbermu banyak yang mengesankan dan memberi kita pemahaman kenapa dulu sampai terjadi
Kami berhasil melacak Mohammed Siddique, pembakar buku pertama. Saya terkesan karena dia seperti om-om cerewet. Dia baik hati dan sangat ramah. Sampai sekarang, ia masih belum memahami bobot perbuatannya. Bahkan ketika saya berbicara dengannya mengenai pengedaran foto-foto dia membakar buku Rushdie, dan kalau misalnya itu ditonton di berita oleh tokoh agama di Iran, dia hanya tersenyum dan berkata “Itu gila sih.” Saat saya bertanya kepadanya tentang dampak perilakunya, ada sesaat ketika dia betul-betul tertekan. Sepertinya dia tidak memahami apa yang sebenarnya dia lakukan pada komunitasnya dan pada Inggris. Itu bikin saya merasa sedikit aneh.

[Mantan jihadis] Shahid Butt tidak begitu religius, tetapi ketika ia ditahan, polisi berkata kepadanya: “Kamu bukan Muslim sungguhan, kamu bahkan bukan orang Islam.” Akhirnya dia dipenjara di Yaman dengan tuduhan terorisme, dan menghabiskan lima tahun di sana setelah berjihad di luar negeri. Saya takjub karena buku ini bisa mengarahkannya ke jalan seperti itu. Dua narasumber ini menarik sekali bagi saya.

Sentimen anti-Islam di negara Barat mulai muncul karena serangan teror 2001. Tetapi dokumentermu seakan menolak asumsi itu, setidaknya untuk kasus Inggris. Menurutmu, seberapa besar peran The Satanic Verses memunculkan Islamofobia di negara ini?
Jadi, kami ada pilihan saat itu. Kami sebagai komunitas bisa saja menulis surat dan memilih untuk mengabaikannya. Tapi itu tidak mungkin terjadi, karena buku ini mulai mewakili ketidakadilan lainnya. Buku ini menjadi simbol untuk rasisme yang kami derita, susahnya pengalaman imigran, menjadi warga negara kelas dua, dikeroyok pas jalan pulang dari sekolah, dan dipanggil ‘Paki.’ Saya berbicara dengan banyak anggota komunitas itu, dan mereka merasa satu-satunya hal yang suci bagi mereka diserang.

Iklan

Reaksi pada The Satanic Verses menentukan konteks untuk yang kita lihat dalam hal pengasingan komunitas Islam masa kini. Yang dilakukan buku ini adalah menentukan narasi “adanya bentrokan mendasar antara nilai-nilai Islam dan nilai-nilai Inggris.” Saat nada itu terpancang, ia tidak hilang-hilang. Kita terus melihatnya sampai sekarang.

Dalam dokumenter ini, kamu bilang "hantu The Satanic Verses belum berhasil disingkirkan." Kenapa ya?
Saya pikir komunitas muslim di Inggris, dan negara barat lainnya, sudah terlalu sering reaksioner, kita menjadi kurang mampu berdebat karena kerjaan kita hanya bereaksi. Kalau ada ledakan bom lagi, komunitas muslim tidak bisa terus-terusan bilang “Islam itu agama perdamaian”. Kamu harus mulai bertindak dan turun tangan. Kadang artinya kami harus menjawab pertanyaan yang susah.

Jadi, kalau ada perdebatan yang mengelilingi misogini atau doktrin tertentu yang problematis di Al Quran, kami harus sanggup menghadapi perdebatan seperti itu. Menurut saya, melarang topik-topik tertentu diperdebatkan tidak sehat. Tidak realistis. Menurut saya, kalau kami sebagai komunitas sanggup menghadapi perdebatan seperti ini — bahkan mengenai hal yang kami anggap suci — masalah Islamofobia akhirnya bisa dituntaskan.

Oke. Terima kasih atas jawaban-jawabannya Mobeen


Follow penulis artikel ini di akun @its_me_salma

Artikel ini pertama kali tayang di VICE UK.