Kerangka manusia
Foto via Getty Images
Kematian

Begini Pengalamanku Bekerja di ‘Ladang Mayat’

Biasanya saat ada orang meninggal, banyak di antara kita takut melihat mayat yang sudah siap dikubur. Sedangkan ilmuwan satu ini, ia sudah terbiasa mengamati mayat membusuk secara langsung.

Sebagian besar orang tidak berani memikirkan apa yang akan terjadi setelah mereka mati. Bahkan bagi banyak orang, mereka takut melihat jenazah secara langsung. Kecuali untuk Hayley Mickleburgh. Mengamati mayat dari dekat adalah kewajibannya sehari-hari. Ahli arkeologi forensik itu sudah terbiasa mempelajari pembusukan mayat, pertumbuhan bakteri dalam tanah setelah mayat membusuk, hingga pergeseran tulang di dalam kuburan.

Iklan

Mickleburgh merupakan sosok yang sibuk. Selain bekerja di Universitas Amsterdam, ia menjadi peneliti untuk Pusat Antropologi Forensik Texas State University. Dan sekarang, perempuan itu tengah mengamati proses pembusukan mayat di simulasi kuburan massal, atau lebih dikenal sebagai “ladang mayat”. Jasad-jasad yang diteliti di sana berasal dari para pendonor yang ingin tetap berkontribusi untuk dunia bahkan setelah mereka wafat nanti.

Ladang mayat bukan cuma berfungsi sebagai tempat riset ilmiah. Di tempat-tempat ini, para ahli forensik bisa belajar mengambil mayat dari lokasi terjadinya kejahatan tanpa merusak bukti yang dibutuhkan dalam proses pidana.

VICE berbincang dengan Mickleburgh untuk mendengar langsung seperti apa rasanya berhadapan langsung dengan mayat-mayat yang telah membusuk. Ia juga bercerita bagaimana profesi ini mengubah pandangan pribadinya tentang kematian.

Iklan

VICE: Boleh ceritakan gimana kamu bisa mendalami profesi ini?

Hayley Mickleburgh: Saya awalnya bergelut dengan dunia arkeologi. Bidang profesi ini mengharuskan kamu memahami proses penguburan jenazah, makanya kamu mesti punya ilmu forensik. 

Ilmuwan forensik biasanya mempelajari tindakan-tindakan calon pembunuh supaya dapat menentukan kenapa mayat bisa terlihat berbeda-beda.

Kedengarannya menarik, jadi saya mulai mendalami arkeologi forensik. Dari situ saya belajar tafonomi untuk mengetahui proses pembusukan jasad.

Dekomposisi memberi kita gambaran siapa pemilik tubuh itu, dan sudah berapa lama mereka meninggal. Kita juga bisa tahu apa saja yang terjadi selama kematian mereka. 

Tujuan utamanya yaitu merekonstruksi tindakan yang dapat menyebabkan seseorang meninggal.

Jenis kuburan apa saja yang kamu pelajari?

Saya fokus mempelajari kuburan massal modern, khususnya di daerah-daerah penuh konflik seperti Ukraina.

Salah satu ladang mayat yang ditangani Mickleburgh. Foto oleh Hayley Mickleburgh.

Salah satu ladang mayat yang ditangani Mickleburgh. Foto oleh Hayley Mickleburgh.

Memangnya apa yang terjadi di dalam kuburan massal?

Berhubung banyaknya tubuh yang dikubur dalam satu lahan, jasad-jasad itu akan membusuk secara bersamaan. Kuburan massal sulit digali karena posisi jasad akan bergeser saat membusuk. Itu artinya kerangka milik seseorang bisa tercampur dengan kerangka orang lain. Kamu perlu memilah tulang-tulangnya hingga sesuai dengan pemilik. Jika sudah benar urutannya, kamu dapat mengidentifikasi siapa mereka, atau bahkan mengembalikan sisa-sisa jasad ke keluarga terdekat.

Iklan

Di sinilah letak masalahnya. Proses penggalian bisa merusak bukti-bukti yang terdapat pada jasad, padahal kamu sangat membutuhkan bukti-bukti itu. Bukan tidak mungkin, terlihat tanda-tanda kekerasan fisik atau jejak pelaku dalam bukti itu.

Kalau di kuburan biasa, saya bisa mencari bukti dari kartu identitas, perhiasan atau cincin kawin yang dimiliki mendiang.

Kamu juga mempelajari proses pembusukan di “ladang mayat”. Sebegitu pentingkah ladang ini?

Peneliti bisa mengontrol situasi awal di pemakaman eksperimental semacam ladang mayat. Jika kamu tahu apa saja yang terjadi pada suatu jasad — misalnya pergerakan jasad ketika membusuk atau dikerubungi serangga —  kamu dapat mendokumentasikan prosedurnya secara tepat. Informasi yang kamu kumpulkan dari situ berguna untuk situasi nyata.

Akan jauh lebih baik jika kamu tidak hanya meneliti satu kuburan massal saja. Dengan begini kamu bisa mengidentifikasi efeknya di berbagai jenis lingkungan. Di Texas, ada ladang mayat yang telah saya ubah jadi pemakaman massal. Di dalam kuburan itu ada jasad enam pendonor. Lalu, di sebelah kuburan massal ada tiga kuburan yang masing-masing diisi satu jasad. 

Nantinya saya akan membandingkan perbedaan antara jasad yang dikubur dalam kuburan massal dan kuburan biasa. Jasad-jasad itu dikubur Mei tahun lalu, dan saya akan menggalinya lagi pada November mendatang.

Iklan

Apa yang akan kamu teliti?

Kami akan mempelajari bakteri, karena bakteri berperan penting dalam proses pembusukan. Dekomposisi dimulai dengan bakteri di perut dan usus. Untuk kegiatan proyek yang sedang berjalan sekarang, enam pendonor ini memiliki flora ususnya masing-masing.

Setelah membusuk, bakteri akan menyebar ke seluruh lahan makam dan berinteraksi dengan bakteri-bakteri tanah. Interaksi bakteri di setiap kuburan massal punya keunikannya masing-masing.

Kami berencana menggunakan perkembangan komunitas bakteri untuk menciptakan metode yang dapat membantu peneliti menentukan sudah berapa lama kuburan ada di suatu tempat. Metode ini bisa menjadi sangat penting dalam proses hukum.

Kami juga menyelidiki cara-cara melacak kuburan semacam ini. Di masa lalu, kita cuma bisa bergantung pada saksi mata. Tapi sekarang, kita dapat mencarinya pakai gambar drone multispektral yang bisa melihat pita spektrum cahaya tak kasat mata.

Selanjutnya, kami menciptakan model 3D kuburan yang akurat untuk dijadikan sarana latihan menggali kuburan tanpa merusak bukti. Kami menggunakan kacamata VR dalam proses ini.

Iklan

Boleh ceritakan tentang orang-orang yang mendonorkan jasad mereka?

Para pendonor sudah pikirkan matang-matang sebelum mendonorkan tubuh mereka untuk proyek penelitian. Mereka telah memahami pentingnya jasad mereka bagi kemajuan sains. 

Tak jarang tubuhmu disimpan “selamanya” di ladang. Seandainya tubuh kamu membusuk dengan sempurna, peneliti akan menyimpan tulang belulang sebagai bahan penelitian selanjutnya. Koleksi tulang juga dapat berfungsi sebagai bahan edukasi.

Apakah kamu mengenali para pemilik jasad yang diteliti?

Saya tidak pernah melakukan kontak langsung dengan kerabat dekat pendonor. Saya juga tidak tahu namanya. Yang saya ketahui hanyalah riwayat medis pendonor. Tapi memang, saat jasadnya baru datang, jasad itu masih terlihat seperti orang. Masih ada tatonya, atau pakaian masih melekat di tubuhnya.

Saya biasanya menyerahkan hasil laporan kepada keluarga terdekat pendonor, dan menunjukkan jasadnya digunakan untuk riset apa. Kerabat juga diperbolehkan datang ke rapat tahunan, atau melihat-lihat tulang bekas saudara mereka.

Oh ya, ada satu pengecualian baru-baru ini. Kami menghubungi kerabat pendonor karena butuh informasi tambahan tentangnya. Kami menemukan protein yang tidak biasa di dalam tubuh pendonor. Anggota keluarganya lalu menulis surat yang mencantumkan nama pendonor, gaya hidupnya, pola makan semasa kecil hingga hobinya. Berkat penjelasan lengkap itu, saya bisa membayangkan seperti apa pendonor saat ia masih hidup.

Iklan

Rupanya, ia mengonsumsi obat eksperimental selama pengobatan kanker, yang kemudian menimbulkan hal-hal tidak biasa dalam tubuhnya. Prosesnya sangat emosional, karena pendonor jelas-jelas ingin berkontribusi dalam penelitian.

Kapan pertama kali kamu meneliti mayat?

Saat saya masih mendalami arkeologi. Kami mempelajari tulang di lab, jadi lingkungannya tidak se-personal meneliti mayat yang masih segar di kuburan. Ada sensasi tersendiri menyaksikan tubuh membusuk secara langsung.

Seperti apa rasanya?

Enggak melulu sedih, dan jatuhnya menyadarkan siapa kita sebagai manusia.

Contohnya, jasad perempuan tua yang pakai kuteks akan membuatmu berpikir siapa anak cucunya. Lama-lama jasadnya akan membusuk hingga bentuknya tak lagi seperti manusia. Atau mungkin, kamu melihat jasad tetangga yang dulu sering berpapasan denganmu di pasar. Tubuhnya yang dulu segar bugar, berubah menjijikkan dan dikerubungi belatung.

Saya jadi ingat, saat saya pertama kali melihat langsung jenazah orang tersayang, saya tiba-tiba menyadari ia sudah tidak ada bersama kami. Saya tak lagi merasa kasihan padanya karena harus meninggalkan dunia ini.

Sama seperti pengalamanku. Kakek saya meninggal ketika saya baru 18 tahun. Saya sangat sedih melihat jenazahnya karena kakek tak lagi terlihat seperti dulu. Namun, ketika nenek saya meninggal lima tahun lalu, saya bisa memproses kematiannya secara lebih kalem. Nenek terlihat cantik dan damai.

Apakah kamu tertarik mendonorkan tubuh setelah meninggal nanti?

Saya pribadi tertarik, tapi semua tergantung pada orang terdekat saya. Suami awalnya kurang sepakat dengan ide itu. Katanya ia ingin tetap bisa mengunjungi makam saya. Menariknya, belum lama ini, suami bilang ia tidak masalah jika saya mau mendonorkan tubuh.

Karena itulah, calon pendonor wajib mendiskusikan keinginannya terlebih dahulu bersama keluarga. Semua pihak harus ikhlas menerima apa pun keputusannya nanti. Dengan begini, kematian tak lagi terdengar menakutkan, sehingga kamu tidak perlu terlalu mencemaskannya.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Netherlands.