Menurut Omba, semua perubahan itu dipicu pembukaan besar-besaran lahan kelapa sawit, industri perkebunan bernilai miliaran dolar yang produknya digunakan produk makanan olahan hingga kosmetik. Semua aktivitas tersebut berlangsung tanpa seizinnya. “Padahal saya pemilik tanah dan hutan adat ini.”“Sampai sekarang pun masih seperti itu,” lanjut Omba. Suku Mandobo yang dia pimpin mendiami wilayah Wambon Tekamerop, yang kini diubah habis-habisan menjadi bermacam perkebunan, utamanya sawit.“Kali dan sungai sekarang kotor. Airnya sudah tak layak untuk minum dan mandi karena bisa bikin sakit.”
Foto udara situasi salah satu kebun sawit di Papua, Indonesia. Foto: Ulet Ifansasti/Greenpeace
Markus Aute merupakan tetua komunitas Wambon Tekamerop dari suku Mandobo di desa Subur, Boven Digoel, Papua Barat. Foto diambil pada Juni 2019. Masyarakat Wambon Tekamerop sudah lama berkonflik dengan berbagai perluasan lahan sawit di wilayah adat mereka. Foto: Nanang Sujana
Bagan yang menunjukkan berkurangnya area hutan secara kumulatif di Papua. Grafik oleh VICE World News
Pada September 2018, Presiden Joko Widodo mengumumkan upaya mengerem laju deforestasi di hutan-hutan Indonesia, dengan menerbitkan moratorium tiga tahun bagi segala izin pembukaan lahan sawit baru. Kebijakan ini menambah deretan moratorium lain yang sebelumnya pernah terbit untuk pembukaan hutan industri dan lahan gambut pada 2011.Namun, menurut Kiki Taufik, selaku Kepala Kampanye Konservasi Hutan di Greenpeace Asia Tenggara yang diwawancarai VICE World News, kebijakan pemerintah itu hanya “garang di kertas… dan lebih mirip macan ompong dalam implementasinya.”“Deforestasi dan kebakaran hutan akibat ekspansi industri terus terjadi di wilayah-wilayah yang seharusnya menjalankan moratorium,” kata Taufik. “Kebijakan ini terasa hanya untuk memoles citra positif Indonesia di mata internasional, bukan untuk benar-benar melindungi hutan.”
Foto udara ini menunjukkan lahan sawit bersebelahan dengan hutan hujan yang merupakan tanah adat Wembon Tekamerob yang sakral bagi Suku Mandobo di Desa Selil, Kecamatan Subur, Kabupaten Boven Digoel, Papua. Foto diambil pada Juni 2019 oleh Nanang Sujana
Sebuah perahu kecil melewati kawasan lahan basah di Provinsi Papua. Foto oleh Ulet Ifansasti / Greenpeace
Salah satu lahan hutan hujan di Papua yang telah dibabat untuk jadi kebun sawit. Foto oleh Ulet Ifansasti / Greenpeace
Foto udara perkebunan sawit yang sudah beroperasi di Provinsi Papua. Foto oleh Ulet Ifansasti / Greenpeace
Franky Samperante, Direktur Lembaga Nonprofit Pusaka yang merekam efek ekspansi sawit terhadap masyarakat adat, menyatakan muncul kasus malnutrisi dan kemiskinan akut, justru di wilayah suku yang menjadi jantung operasi kebun-kebun sawit. “Mereka tidak bisa beraktivitas seperti biasa dan mereka tidak punya sumber daya untuk mencari penghasilan akibat adanya kebun-kebun sawit baru,” kata Franky.Konflik lahan antara masyarakat adat dan perusahaan sawit mendominasi laporan yang dibuat oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sepanjang 2020. Sebanyak 101 kasus konflik lahan di seluruh Indonesia pada tahun itu, dipicu oleh ekspansi lahan sawit.Konflik-konflik tersebut seharusnya bisa disetop, asal pemerintah tidak sembrono menerbitkan izin konsesi pembukaan lahan baru, atau mengkaji ulang izin yang terlanjur terbit. Inisiatif ke arah sana sebetulnya mulai muncul. Provinsi Papua Barat, misalnya, pada Februari 2021 menerbitkan rekomendasi agar 13 izin konsesi mencakup 52 ribu hektar lahan dicabut segera karena melanggar aturan.“Masalahnya, tidak terlihat ada kemauan politik untuk mengkaji ulang berbagai izin konsesi yang sudah terlanjur terbit,” kata Cindy Junicke Simangunsong, manajer kebijakan LSM Econusa, yang mendalami isu perizinan perkebunan di Indonesia.Sumber VICE World News di pemerintahan Indonesia, yang menolak disebut namanya, mengakui wacana pengkajian ulang konsesi sawit di Papua adalah “isu sensitif.” Beberapa pegawai level provinsi yang membahas insiatif macam itu dengan aktivis atau pihak ketiga mengalami mutasi.Juru bicara the Green Climate Fund, yang mengucurkan dana bantuan senilai US$103,8 miliar bagi pemerintah Indonesia pada 2020 untuk mengerem laju deforestasi, menilai perlu ada upaya ekstra dari Presiden Joko Widodo dan jajarannya menunjukan komitmen pada isu ini. Segala indikasi bahwa dana bantuan tersebut tidak diimplementasikan secara serius, atau malah dikorupsi, “akan mereka selidiki secara independen.”Adapun the United Nations Development Programme (UNDP), yang juga membantu Indonesia dalam isu deforestasi, mengakui masih ada banyak “tantangan lingkungan serta sosial” yang menyelimuti kebijakan Indonesia saat mendorong perkembangan industri sawit. UNDP berjanji akan fokus mendukung Indonesia mengarahkan industri sawit “bergerak ke arah yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan.”Moratorium penerbitan izin baru pembukaan lahan sawit akan berakhir pada September 2021. Di tengah moratorium itu pun, nyatanya ribuan hektar lahan hutan hujan di Papua telah berubah menjadi perkebunan sawit.Teguh Surya, selaku direktur eksekutif LSM Madani, menilai tidak ada komitmen yang terang dari pemerintah Indonesia selama ini untuk menyetop laju deforestasi, khususnya di Papua. “Pemerintah Indonesia sebetulnya berkomitmen terlibat dalam pengurangan laju deforestasi, tapi praktik di lapangan berbeda dari janji yang mereka ucapkan,” kata Teguh.Ketika moratorium sawit tak diperpanjang, nasib hutan-hutan hujan di Papua menurut Teguh semakin terancam. “Indonesia akan gagal mencapai target yang dicanangkannya sendiri untuk mencegah deforestasi,” ujarnya. “Tapi yang menanggung kerugian terbesar adalah bumi ini.”Laporan ini mendapat dukungan dana dari GRID-Arendal“Hajat hidup orang asli Papua terancam musnah di tangan perusahaan-perusahaan sawit.”