Pandemi Corona

Menguak Aksi Penimbun Jual Alat Tes Covid-19 di Dark Web

VICE News berbincang dengan pedagang alat tes Covid-19 yang mengklaim telah meraup keuntungan sebesar Rp20 miliar. Permintaan alat rapid test tak diimbangi pasokan di berbagai negara.
Gavin Butler
Melbourne, AU
Penimbun Raup Untung Besar Menjual Alat Rapid Test Covid-19 di Dark Web
Segepok uang hasil jualan produk COVID-19 di dark web. Foto diunggah ke grup privat Telegram, dan disediakan oleh Georgia State University.

Jason* mulai memborong alat tes Covid-19 sejak pekan terakhir Januari, 2020, beberapa hari sebelum Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan status Darurat Kesehatan Masyarakat terkait wabah virus corona jenis baru.

Bermodalkan informasi dari koneksinya di Tiongkok dan Hong Kong, warga negara Amerika Serikat ini menjadi salah satu pengusaha yang membeli ribuan alat rapid test jenis IgM/IgG Covid-19 langsung dari produsennya di Jerman dan Korea.

Iklan

Walaupun saat itu baru 7.818 orang yang terjangkit virus di 19 negara, Jason sudah yakin alatnya akan sangat dibutuhkan di kemudian hari. Prediksinya benar. Dia akhirnya menjual alat tes secara online dengan harga melebihi US$11.000 atau setara Rp164 juta.

imageedit_4_5453687853.png

Covid-19 adalah bisnis yang sangat menguntungkan bagi pengusaha oportunis seperti Jason. Permintaan barang-barang penting macam masker, hand sanitizer dan ventilator terus melonjak seiring dengan meningkatnya kasus corona di seluruh dunia—angka penularannya secara global hampir menyentuh 30 juta orang.

Namun, produksi massal dan perdagangan internasional menjadi terhambat di tengah penyebaran virus, yang pada akhirnya menyebabkan penurunan dalam pasokan barang medis darurat. Pandemi tak kunjung menunjukkan tanda-tanda akan berakhir hingga September 2020, sehingga sebagian pihak yang membutuhkan alat tes tersebut beralih ke dark web untuk memperolehnya.

Kepada VICE News, Jason mengaku lewat aplikasi pesan Wickr telah menjual 8.000 alat tes Covid-19 di dark web sejauh ini—satu kotaknya dihargai sekitar $180 (Rp2,6 juta). Separuh alatnya dibeli oleh fasilitas pelayanan kesehatan Italia dan Amerika Serikat; 1.000 buah dipesan panti jompo yang tidak ditentukan lokasinya; 3.000 sisanya dibeli oleh seseorang yang diduga Jason mewakili instansi pemerintah atau rumah sakit.

Menurutnya, para pembeli mati-matian mendapatkan alat tesnya.

Iklan

“Ada urgensi nyata dalam membeli… Ada semacam kepanikan,” terang Jason. “Stok [alat tesnya] menipis dan tak banyak lembaga bisa membelinya karena sudah dipesan duluan oleh pemerintah di seluruh dunia.

“Kami memperoleh alat tes sebelum orang-orang membutuhkannya,” imbuhnya. “Kami berhasil mengalihkan beberapa alat dan menambah stok.”

Sejumlah negara mulai kehabisan stok yang dimiliki. Alat tes rumahan ludes di Inggris dan Skotlandia dalam hitungan jam pada akhir Agustus, sementara laboratorium kesehatan kesulitan melakukan pemeriksaan sejak akhir Juli.

Produsen di AS tak mampu menyediakan produk yang dibutuhkan, sehingga menyebabkan kekurangan alat dalam beberapa bulan terakhir. Beberapa rumah sakit di Amerika hanya bisa menggunakan 25 alat tes sehari, sedangkan jumlah pasiennya ada ribuan.

Awal September ini, Menteri Pertahanan Zimbabwe mengumumkan negaranya “kekurangan alat tes”. Mereka hanya dapat memesan 220 alat baru untuk populasi 14,4 juta jiwa.

Menurut Jason, dia siap melayani pemerintah jika ingin memesan ribuan alat dalam satu batch.

Jason bukan satu-satunya penjual ilegal yang mencari keuntungan di tengah pandemi. VICE News menemukan lusinan pedagang online yang memperjualbelikan “vaksin” corona, serta pil hydroxychloroquine dan pasien Covid-19 yang sudah pulih dengan harga hampir $16.000 (Rp239 juta) per liter.

Sementara pemerintah di seluruh dunia berjuang mengatasi krisis kesehatan masyarakat, orang-orang putus asa—dan institusi, jika yang dikatakan Jason benar adanya—bergantung pada pasar gelap untuk mencari barang medis yang dibutuhkan.

Iklan

“Pandemi memicu jenis permintaan baru pada platform darknet, dan para penjual siap memenuhinya,” David Maimon, Associate Professor Peradilan Pidana dan Kriminologi di Georgia State University, memberi tahu VICE News melalui email. “Penjual darknet dan rantai pasokan mereka dapat memanfaatkan respons pemerintah terhadap pandemi.”

David menjelaskan pelaku usaha dark web cepat beradaptasi dengan pandemi. Mereka memperluas katalog jualannya, dan memasarkan produk-produk yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Kalian bisa membuktikannya sendiri. Di dark web, masker dan hand sanitizer sekarang dijual berbarengan dengan benda ilegal seperti pistol Glock 19 mm dan kristal MDMA.

Mereka meminta pembeli untuk bersabar dengan waktu pengiriman.

David mengungkapkan pandemi juga menjadi ladang baru bagi penipu online, sehingga pembeli harus berhati-hati sebelum bertransaksi dengan penjual darknet seperti Jason.

“Banyak penjual memanfaatkan kepanikan dunia,” tuturnya. “Beberapa menebar iming-iming punya segala macam obat yang sebenarnya palsu, sedangkan lainnya menjual APD seperti masker dan hand sanitizer … yang kami yakin berkualitas rendah. Kami bahkan tahu ada pedagang yang jualan masker bekas.”

David menerangkan APD tidak aman dipakai apabila produknya belum disetujui otoritas terkait. Dia menganjurkan agar kita tidak terlalu bergantung pada alat kesehatan yang diperoleh dari dark web.

“Banyak obat dan komoditas palsu yang dijual di dark web,” imbuhnya, “sehingga konsumen harus berhati-hati memilih produsen dan vendornya.”

Iklan

Jika omongan Jason bisa dipegang, dia memborong dan menjual alat tes Covid-19 dengan tujuan menyelamatkan nyawa banyak orang. Dia mengklaim melakukannya bukan untuk keuntungan semata. Dia hanya menjual barangnya ke pihak-pihak yang menangani krisis Covid-19 dengan serius.

“Kami menjual alat tes untuk menyelamatkan nyawa,” ujarnya. “Beberapa pernah menghubungi kami hanya untuk iseng-iseng saja. Mereka tidak serius ingin membeli dan menyelamatkan hidup orang.”


*Nama narasumber telah diubah

Follow Gavin di Twitter.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News