Konflik Lahan

Komentari Problem Mafia Tanah, BPN Yakin Solusinya Justru Sertifikat Elektronik

Kasus yang menimpa Dino Patti Djalal menurut BPN tak akan terjadi bila e-sertifikat tanah berlaku nasional. Uji coba sudah dimulai di tiga kota, namun aktivis agraria khawatir pada risiko sengketa.
BPN: Kasus Mafia Tanah Dialami Dino Patti Djalal tidak akan terjadi kalau ada sertifikat tanah elektronik
Ilustrasi sertifikat tanah yang selama ini diterbitkan BPN. Foto oleh Arif Ariadi/AFP

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) melanjutkan cita-cita transformasi digital demi hidup yang lebih 4.0. Setelah tahun lalu memberlakukan empat layanan elektronik (Hak Tanggungan Elektronik, Pengecekan Sertipikat, Zona Nilai Tanah, dan Surat Keterangan Pendaftaran Elektronik), tahun ini proyek digitalisasi menyasar pemilik sertifikat tanah. Atas nama keamanan dan sinkronisasi data, negara minta sertifikat dalam bentuk buku fisik diubah jadi sertifikat elektronik (selanjutnya disebut e-sertifikat).

Iklan

Transisi akan dilakukan bertahap di mana Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, dan Kota Surabaya didapuk jadi tiga wilayah pilot eksekusi kebijakan tersebut. Direktur Pengaturan Pendaftaran Tanah dan Ruang Kementerian ATR Dwi Purnama menyebut tanah pemerintah akan jadi objek percobaan pertama. Kalau prosesnya sukses dan aman, tanggung jawab penggantian sertifikat baru akan diberikan kepada badan hukum sebab dinilai lebih siap secara infrastruktur dan ilmu pengetahuan.

Dalam rilis resmi, Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan A. Djalil yakin e-sertifikat adalah salah satu solusi menekan pergerakan para penjahat pemalsu sertifikat. Eh, kok pas banget, baru-baru ini kasus pemalsuan sertifikat tanah menimpa ibu dari mantan wakil menteri luar negeri Dino Patti Djalal, yang sialnya udah mengalami ini untuk kelima kalinya. “Sertifikat kertas yang mudah dipalsukan ini akan diubah menjadi elektronik. Tanah yang clean and clear, apabila mau dijual-beli, data-data akan direkam serta akan dicek di lapangan. Tetapi, sertifikat kertas ini mau dipegang, silakan,” kata Sofyan, Kamis (11/2).

Iklan

Sebagai penanda sertifikat yang sudah beralih ke e-sertifikat, BPN akan memberi tanda pada sertifikat kertas milik warga. Caranya entah digunting ujungnya atau diberi cap. Payung hukum program juga sudah disiapkan, Kementerian ATR/BPN sudah menerbitkan Peraturan Menteri ATR No. 1/2021 tentang Sertifikat Elektronik, mengusahakan izin dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan minta rekomendasi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). 

Juru Bicara Kementerian ATR/BPN Teuku Taufiqulhadi menjelaskan pemalsuan sertifikat seperti yang dialami Pak Dino terjadi karena pelaku mengganti foto KTP dan membubuhi tanda tangan palsu untuk mendapat sertifikat. Namun, dengan e-sertifikat fenomenal dan melampaui zaman ini, penipuan enggak akan terjadi karena pemilik tanah enggak lagi pakai tanda tangan, tapi sidik jari.

Terdengar indah dan sungguh waw? Tenang, bukan pemerintah Indonesia namanya kalau kebijakan baru bisa hadir tanpa menutupi masalah inti yang belum selesai. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), organisasi sipil yang memperjuangkan sistem agraria yang adil dan merata, menyampaikan kekhawatiran atas kebijakan. Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menyorot masih banyak tanah bermasalah dan menimbulkan sengketa dengan masyarakat, termasuk tanah-tanah yang diklaim pemerintah. Kalau tanahnya aja masih diributin milik siapa, bagaimana cara e-sertifikat ini melakukan validasi?

Mengurai Alasan Kalian Bisa Membeli Tanah, Tapi Tak Akan Pernah Memilikinya

“Titik kritis dari proses semacam ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana validasi tersebut dilakukan, apakah secara sepihak oleh BPN dan pemohon institusi pemerintah,” kata Dewi kepada Kompas. “[Masalah tanah yang masih ada] misalnya tidak sesuai ukuran, tumpang-tindih, sedang bersengketa atau sedang berperkara di pengadilan, sementara sistem antar-instansi seperti pengadilan belum terhubung. Proses ini juga rentan bagi rakyat, banyak sertifikat badan usaha merupakan wilayah-wilayah konflik agraria struktural dengan rakyat.”

Untuk menghindari konflik tambahan akibat proses validasi e-sertifikat, KPA meminta pemerintah menyelesaikan konflik tanah yang masih terjadi dahulu. Soalnya kalau enggak, proses pengalihan ke e-sertifikat ini malah akan jadi legitimasi monopoli tanah oleh badan usaha negara dan swasta. FYI aja nih, pada akhir 2020 kemarin tercatat masih ada 9 ribu konflik pertanahan yang belum selesai di Indonesia.