FYI.

This story is over 5 years old.

Kesehatan Mental

Tips Memacari Orang Yang Mengidap Gangguan Kecemasan

Langkah pertama, pahami dulu apa sebenarnya yang disebut 'anxiety'.
Foto ilustrasi oleh Abbie Bernet.

Artikel ini pertama kali tayang di Tonic

“Pikiran saya selalu berdengung,” kata salah satu pasien yang pernah konsultasi sama saya.

Dia baru saja pindah ke perkotaan. Padatnya kehidupan urban membuat dia stres. Belum lagi jam kerja yang panjang, kekhawatiran finansial, dan perjalanan jauh buat berangkat ataupun pulang kerja. Sebagai pekerja di industri teknologi, dia merasa tekanan besar untuk membuktikan kemampuan di hadapan insinyur lainnya.

Iklan

Ketika dia datang ke sesi terapi, dia mengaku tidak bisa tidur, makan tidak teratur, dan performanya jatuh di kantor. Dia takut jadi gila. Pasien saya mengalami kondisi psikiatri yang banyak menyerbu kaum muda—gangguan kecemasan.

Kasus kronik gangguan kecemasan mempengaruhi hingga 25 juta orang setiap tahunnya. Anxiety, begitu sebutan populernya sekarang, adalah gangguan kesehatan mental yang paling umum—bahkan lebih banyak pengidapnya dibanding depresi. Faktanya, penelitian baru mengungkapkan betapa generasi millenial memiliki tingkat kecemasan dan level stres yang lebih tinggi dari generasi X maupun baby boomer.

Gangguan kecemasan menyerang rasa keselamatan seseorang, mengaktifkan respon untuk melawan atau kabur. Ketika saraf kecemasan masuk ke tahap overdrive, kita akan merasakan rasa sesak di dada, telapak tangan berkeringat, sulit bernafas, dan perut tidak karuan. Manifestasi fisik yang disebabkan oleh gangguan kecemasan juga bisa mengurangi kemampuan kita untuk berpikir rasional. Individu yang cemas kerap melihat dunia lewat lensa penuh rasa takut, merasakan adanya bahaya di tempat yang baik-baik saja. Bagi penderita kronis gangguan ini, kehidupan dikendalikan oleh pertanyaan seperti “Kalau begini, bagaimana? Kalau begitu, bagaimana?”

“Kalau gue kehilangan pekerjaan, gimana?”; “Kalau gue diputusin pacar, gimana?”; “Kalau gue bikin temen marah, gimana ya?”

Rasa cemas pasien saya sudah sangat akut hingga dia tidak bisa menghadapi dunia. Dia mulai berhibernasi di dalam apartemennya, mengabaikan pesan dari teman dan keluarga selama beberapa hari. Dia juga takut kelakuannya akan mendorong pacarnya kabur. Dan biarpun sang pacar berusaha menawarkan dukungan dan mengatakan “Coba jalan-jalan deh, mungkin elo akan ngerasa enakan,” dan “Kayaknya ngomongin ini justru memperparah keadaan,” sesungguhnya, kalimat-kalimat semacam ini tidak membantu.

Iklan

Tidak aneh bila ada orang yang salah memahami gangguan mental kekasih ataupun pasangannya. Di negara maju yang pemahaman kesehatan mentalnya jauh lebih baik, orang masih sering salah paham soal gangguan kecemasan. Survei nasional yang dilakukan oleh Kaiser Permanente menyimpulkan 75 persen warga Amerika merasa cukup memiliki informasi tentang kesehatan mental. Dampaknya nyaris 50 persen responden millenial merasa mereka bisa sembuh dari gangguannya tanpa bantuan staf profesional, dan 60 persen peserta survei menganggap depresi sebagai bentuk kelemahan.

Sebetulnya gangguan mental bukanlah cacat karakter seseorang, tapi sebuah kondisi medis yang membutuhkan perawatan psikiater profesional. Karena kebanyakan orang tidak memiliki latar belakang memadai soal kesehatan mental, keputusan berpacaran sama orang yang mengidap gangguan kecemasan bisa berakhir menjadi situasi sulit—penuh salah pengertian dan rasa frustasi. Kadang, kita sebagai pasangan ingin mendukungnya di kondisi sulit, tapi tidak yakin harus berkata atau melakukan apa kalau anxiety-nya sedang kambuh. Biarpun tidak mungkin “menyembuhkan” kekhawatiran pacar atau pasangan, setidaknya kalian perlu mempelajari gangguan kecemasa. Pahamilah betapa gangguan kecemasan bisa mempengaruhi hubungan percintaan. Jadi, berikut panduan dariku ketika kalian sadar pasangan mengidap anxiety.

Rajin Baca Gejala dan Fakta Soal Gangguan Kecemasan
Informasi salah mengenai gangguan mental memang tersebar luas di masyarakat, semakin memperparah mitos tentang penyebab gangguan psikiatris. Namun dengan mempelajari gejala gangguan kecemasaan, mitos-mitos keliru ini bisa dihapus, membantu meruntuhkan stigma yang menyelimuti isu mental kesehatan.

Iklan

Anxiety and Depression Association of America menyediakan deskripsi komprehensif tentang gangguan kecemasan, termasuk gangguan yang umum, panic disorder, fobia, dan kecemasan sosial. Kesimpulannya, para pengidap gangguan kecemasan (seperti pasien saya) cemas tentang segalanya, pengidap fobia takut akan hal-hal spesifik (misalnya berada di dalam elevator atau pesawat terbang), dan mereka dengan kecemasan sosial takut berinteraksi dengan rekan kerja dan teman, terutama dalam situasi sosial. Kelakuan mereka kadang terlihat irasional atau norak bagi orang yang tidak mengidap gangguan, tapi kamu harus sabar—semua orang punya kekurangan masing-masing.

Mengedukasi diri sendiri tentang berbagai gangguan ini bisa membantumu mengerti penderitaan partner, membuatmu sanggup memisahkan fakta dari fiksi. Misalnya, banyak orang meyakini metode distraksi—seperti menampar karet gelang ke pergelangan tangan—bisa membantu menghilangkan rasa cemas, tapi sesungguhnya teknik macam ini justru memperburuk gangguan. Biarpun kamu mungkin tergoda untuk mengalihkan pacar dari kecemasan mereka, sebetulnya ngobrol bareng bisa menimbulkan rasa aman. Mereka yang mengidap rasa cemas sering merasa malu tentang gangguan yang mereka miliki. Membiarkan partnermu tahu bahwa kamu bersedia membicarakan rasa sakit mereka bisa membantu menyembuhkan.

Sadarilah bila gangguan kecemasan membuat hubungan kalian jadi unik
“Semuanya terdistorsi dalam sebuah hubungan romantis,” kata Hilary Jacobs-Hendel, seorang psikoterapis di New York. “Karena kedekatan emosional yang tinggi dalam sebuah hubungan romantis, kemungkinan kita melebih-lebihkan pola kedekatan juga lebih tinggi,” jelasnya. Gangguan kecemasan juga bisa mengganggu kemampuan kita untuk menerjemahkan perasaan ke dalam kata-kata, menyebabkan kita menghindari pasangan. Hendel mengatakan pasangan bisa salah menganggap perilaku ini sebagai ketidakpedulian, dan menimbulkan rasa gamang, sensitif dan bingung.

Iklan

Dia mengatakan pasangan bisa memotong siklus ini dengan cara berdiskusi terbuka menggunakan pernyataan “Aku” yang dapat mengundang koneksi interpersonal. Misalnya, ketika kamu menyadari pasangan menghindar ketika sedang cemas, kamu bisa mengatakan, “Saya menyadari ketika kamu cemas, kamu membutuhkan lebih banyak ruang. Kamu mau saya berikan ruang?” Bertanya bagaimana kamu bisa membantu tanpa menyebutkan jenis dukungan tertentu juga direkomendasikan.

Biasakan ngobrol langsung tiap ada masalah, jangan lewat whatsapp atau chat
Di era di mana banyak orang memulai pembicaraan dengan cara mengirim pesan pribadi ke akun sosmed seseorang, kita kerap mengabaikan percakapan langsung demi komunikasi digital. Faktanya, pengidap gangguan kecemasan justru memilih bentuk komunikasi seperti ini guna menghindari kecemasan sosial. Namun, Hendel mengatakan ada garis tipis antara alat bantu dan alasan untuk menghindar. Mengandalkan teknologi untuk memfasilitasi percakapan bisa semakin memperkuat perilaku menghindar, membuat rasa cemas pasangan semakin parah.

Lagian, susah untuk menduga nada bicara seseorang via teks, jadi cobalah untuk menetapkan semacam aturan ketika sedang bertukar pesan. Misalnya, ketika konflik muncul, cobalah untuk berbicara dengan pasangan di telepon, dan tidak lewat WhatsApp. “Kontak muka-ke-muka menawarkan koneksi interpersonal yang lebih kaya, seperti kontak mata, nada suara, dan ekspresi wajah. Detil-detil seperti ini hilang dalam percakapan teks, biarpun ketika kita menggunakan emoji untuk mengekspresikan diri,” ujarnya.

Cobalah berlatih mengatur ketenangan batin
Penelitian membuktikan yoga yang mengajarkan kita mengelola ketenangan batin bisa mengurangi gejala gangguan kecemasan, bahkan menguatkan hubungan antara jiwa dengan tubuh. Kadang, mengikuti kelas yoga atau meditasi bisa menenangkan orang (teknik pernafasan yang biasa digunakan sangat bermanfaat) dan menciptakan kedekatan tanpa membutuhkan komunikasi verbal. Ini bisa bermanfaat ketika kamu tengah berada di dalam konflik.

“Yoga dan ketenangan diri memperdalam kesadaran emosiona kita, membantu kita untuk lebih ‘hadir’,” jelas Melissa Whippo, seorang instruktur yoga dan pekerja sosial di California. “Mereka yang mengidap gangguan kecemasan kadang merasa kehilangan kendali, tapi ketenangan batin bisa membantu individual melepaskan kebutuhan untuk tahu segalanya dengan cara mengajarkan kita untuk bertahan dengan emosi yang sulit.” Biarpun “bertahan” dengan emosi yang sulit rasanya aneh dan kounter-intuitif, ini bisa membantu kita memproses mereka dan membiarkan mereka lewat. Pasien saya akhirnya menemukan bantuan dengan cara mempraktekan ketenangan batin dan datang ke terapi secara berkala.

Meditasi mengajarkan dia cara untuk mengurangi gejala cemasnya, sementara terapi menawarkan kesempatan untuk mengulik akar dari rasa cemasnya.

*Juli Fraga adalah seorang psikolog yang praktik di San Francisco.