FYI.

This story is over 5 years old.

Skandal Sepakbola

PSSI Baper, Akui Ada Mafia Bola Sekaligus Ancam 76 Akun Medsos yang Bahas Pengaturan Skor

PSSI berjanji membasmi mafia sepakbola, sekaligus 'membasmi' akun yang dituding memfitnah mereka. Luar biasa memang pengurus sepakbola kita...
Situasi di kantor pusat PSSI.
Foto kantor PSSI oleh Reuters

Buntut skandal pengaturan skor yang melibatkan petinggi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) melebar ke mana-mana. Anggota komite eksekutif PSSI Hidayat dijatuhi sanksi setelah terbukti berusaha menyuap manajemen Madura FC agar mengalah terhadap PSS Sleman dalam sebuah laga di Liga 2. PSSI pun kebakaran jenggot dan (seperti biasa) berjanji menyelidiki serta membasmi praktik mafia sepakbola.

Iklan

PSSI telah berjanji menindak tegas dua anggota komite eksekutif yang diduga juga terlibat suap pengaturan skor. Perang terhadap mafia sepakbola akhirnya juga direspon oleh Polri, yang berjanji untuk membentuk satgas khusus untuk mengungkap kasus suap dan match fixing. Nantinya satgas tersebut akan bekerja sama dengan PSSI, PT Liga Indonesia, dan pihak-pihak yang melaporkan skandal alias whistleblower.

Tapi, rupanya PSSI tak sekedar bersih-bersih internal. Pihak luar juga mau 'dibersihkan'. Otoritas tertinggi sepakbola Indonesia itu membentuk Komite Ad Hoc Integritas yang sudah dikoordinasikan dengan FIFA. Salah satu tugas utama komite ini adalah memantau pembicaraan terkait pengaturan skor di media sosial, elektronik, hingga cetak. Kemudian pihak yang terlacak menyebarkan informasi akan dipanggil agar membawa alat bukti telah terjadi pengaturan skor atau suap.

Dari hasil pemantauan komite tersebut, PSSI menyaring 76 akun media sosial yang memuat unggahan informasi seputar pengaturan skor. PSSI mengklaim akan memanggil pemilik akun-akun tersebut untuk "dimintai keterangan."

Pesan PSSI soal akun-akun tadi memberi kesan organisasi tersebut baper, sembari mengancam akan melaporkan pemilik akun yang tidak bisa memberikan bukti soal adanya pengaturan skor ke pihak kepolisian.

"Apabila tidak memenuhi panggilan atau tidak bisa membawa bukti di persidangan Komdis PSSI, maka kami akan menyerahkan orang tersebut kepada kepolisian," kata wakil ketua umum PSSI Joko Driyono dikutip awak media.

Iklan

Dua bulan terakhir ada beberapa laporan soal dugaan match fixing. Akhir November lalu, misalnya, dalam pertandingan Aceh United vs PSMP Mojokerto Putra yang berakhir 3-2 sempat bergulir isu match-fixing.

Tak berapa lama kemudian Manajer Sriwijaya FC Ucok Hidayat turut melaporkan adanya dugaan suap yang dilakukan mafia sepakbola terhadap pemainnya yang asal Korea Selatan Yu Hyun Koo. Dari kabar yang berembus, Yu Hyun Koo mengaku pernah ditawari Rp400 juta dari seseorang yang diduga mafia bola saat melawan Bhayangkara FC.

Ini bukan kali pertama PSSI bersikap ofensif terhadap kritik. Pada 2015, PSSI mempolisikan aktivis LSM Save Our Soccer Apung Widadi, lantaran unggahannya di Facebook yang menuduh ketua PSSI kala itu, La Nyalla Mattalitti, menggunakan uang hak siar tim nasional U-19 membiayai Persebaya Surabaya. Save Our Soccer adalah lembaga yang rutin mengkritik kinerja PSSI.

Kritik terhadap PSSI kembali mengalir deras belakangan ini. Alih-alih melakukan perbaikan konkret untuk memperbaiki tata kelola sepakbola, PSSI sering banget memilih baper. Kesimpulan tersebut disampaikan Fajar Junaedi, dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, yang lama meneliti sepakbola di Indonesia. "Gagasan PSSI memanggil 76 akun media sosial ini menjadi paradoks dengan argumen football family yang selalu didengungkan PSSI," ujarnya kepada VICE. "Pemanggilan yang dilakukan PSSI alih-alih mendapatkan simpati publik, justru malah membuat publik semakin tidak percaya pada integritas PSSI."

Contohnya saat warganet mengkritik PSSI karena Indonesia gagal melaju di Piala AFF 2018, lembaga yang berdiri pada 1930 tersebut mengirim cuitan bernada baper: "when we're good, no one remembers. When we're bad, no one forgets."

Jangan lupakan pula bapernya Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi, alias Lord Edy, lewat analogi 'wartawan baik' dan 'apa hak anda menanyakan itu' soal perilaku rangkap jabatannya yang mencengangkan masyarakat beberapa waktu lalu. Fajar menilai PSSI tidak sadar, bahwa di kultur media sosial, tindakan menghindari transparansi akan sangat kontraproduktif. "Jadi ini kan sebenarnya aneh. PSSI baru bertindak setelah media dan publik mengabarkan adanya match fixing. Artinya, kontrol di internal PSSI lemah."

Untuk organisasi yang terlanjur punya rekam jejak jelek, sepantasnya PSSI tidak bersikap antikritik dan baper ketika masyarakat menyampaikan pendapat lewat media sosial. Toh, sepakbola adalah olahraga rakyat dan semua ingin melihat PSSI menjadi lembaga sepakbola yang kuat dan kredibel. Bukan begitu Lord Edy dan Pak Jokdri?