Ilustrasi perempuan main HP dengan ekspresi sedih
Ilustrasi oleh Ellice Weaver.
Internet

Inilah Pengalamanku Menelusuri Jejak Digital 'Hantu' Mendiang Ayah di Internet

Ayahku tewas dibunuh, tapi dia sempat aktif memakai internet pada masa 1990-an. Dengan menelusuri jejaknya dari era itu, aku berharap bisa menemukan lebih banyak informasi tentang dia.

Esai ini juga diterbitkan dalam VICE Magazine edisi Privacy & Perception, hasil kerja sama dengan Broadly. Kalian bisa membaca lebih banyak cerita dari edisi ini di sini.

Mendiang ayah adalah pengguna awal internet. Ayah pernah memesan tiket pesawat secara online pada 1990-an. Ayah jugalah yang mengajarkanku cara membuat daftar teman di AOL Instant Messenger, jauh sebelum aku punya teman di sana. Sementara yang lain baru mulai menjajalnya, aku (gsbwriter) sudah sering chattingan dengan ayah (mbai001) di AOL — tak peduli kami sedang berdekatan atau terpisah jarak.

Iklan

Ayah merupakan salah satu dari segelintir boomer yang enggak gaptek teknologi. Dia sudah bisa merakit komputer sederhana semasa muda dulu. Ayah menavigasi internet dengan mudahnya, meski bisa dibilang dia sudah terlalu tua untuk itu. Ayah mampu mengoperasikan komputer dengan lancar, tidak pernah kebingungan mencari kursor seperti orang tua kebanyakan.

Sayang sekali, ayah tidak dapat menyaksikan kemajuan internet baik secara positif (membangun komunitas dan penggalangan dana) maupun negatif (perundungan online dan hoaks). Ayah tutup usia pada 16 Februari 2004, hanya 12 hari setelah Mark Zuckerberg meluncurkan Facebook.

YouTube baru muncul setahun kemudian, sedangkan Twitter menyusul pada tahun berikutnya. Belum ada yang namanya ponsel cerdas macam iPhone dan sebagainya. Alamat email pun masih sangat kreatif, dan jarang ada orang yang menggunakan nama aslinya. Ayah meninggalkan dunia pada saat internet melalui fase alay.

Ayah tidak pernah tahu seperti apa penampakan internet sekarang, dan internet tidak mengetahui ayahku sama sekali—kecuali sebagai korban pembunuhan. Ayah dan ibu tiri tewas dibunuh di rumah mereka di Sedona, Arizona. Menurut pengadilan, nyawa mereka dihabisi dengan “sangat keji dan bejat”. Saat itu, ayah berumur 54, sedangkan ibu tiri 55 tahun.

kutipan

Aku sendiri baru 24 tahun dan masih melajang pada saat itu. Aku bekerja sebagai penulis obituari setelah lulus kuliah 2,5 tahun sebelumnya. Ya, sangat kebetulan sekali. Kematian telah menjadi bagian dari hidupku, tapi aku tak pernah menyangka akan bergumul dengannya.

Iklan

Pembunuhnya adalah seorang pencandu sabu dengan catatan kriminal yang panjang. Orang itu menerobos masuk sambil menenteng BB Gun mirip senjata api. Dia berniat merampok seisi rumah dan mobil orang tua. Yang terjadi selanjutnya sangatlah kelam. Pencarian Google bisa membuktikan ini. Laporan pers tentang insiden itu menempati posisi pertama (kedua, ketiga, keempat dan kelima) ketika kalian mengetik nama ayah ibuku di mesin pencarian.

Ilustrasi tangan memegang ponsel

Situs perusahaan mereka menghilang 14 tahun kemudian, dan informasi kontak ayah ibu dihapus dari buku telepon online. Sebagian besar kehadiran ayah di internet cuma tentang kasus pembunuhan (“Double homicide in Sedona”), hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku (“Oak Creek man gets 2 life terms for double murder”), dan beberapa memorial seperti penghargaan dan beasiswa.

Sisanya hanya bisa dimengerti segelintir orang, macam pratinjau fitur majalah Occupational Hazards 1998 yang mencantumkan nama ayah sebagai salah satu dari “10 Ahli Higiene Industri Paling Berpengaruh”, sejumlah artikel jurnal tentang keselamatan di tempat kerja, dan sepucuk surat untuk tim redaksi Red Rock News tentang perbaikan jalan yang diusulkan. “Kami membuat kemajuan nyata dalam membayangkan jalan yang bisa dibanggakan dan mempercantik Sedona,” bunyi surat itu, yang terbit dua minggu sebelum kematiannya yang tragis.

Ilustrasi

Aku telah mencoba beberapa cara agar nama ayah lebih banyak masuk ke internet. Aku jurnalis dan pendiri Modern Loss, platform yang membahas tentang kehilangan. Aku telah menulis tentang ayah dan kesedihanku beberapa kali. Pada Hari Ayah 2016, aku menerbitkan artikel “20 Hal yang Tidak Kalian Ketahui Tentang Mendiang Ayahku”. (Salah satunya adalah ayah menggelar pesta ulang tahun ketujuh bertema Komet Halley. Undangannya dibuat menggunakan Macintosh generasi pertama, dan bertuliskan “Comet over to Gabi’s house…”

Meski jejak digital ayah sangat menyedihkan dan statis, aku tak pernah berhenti mencari namanya di Google. Suatu hari, aku menemukan seseorang yang namanya sama dengan ayah. Lelaki itu seorang engineer yang jago Excel. Dia konservatif, tak seperti ayah yang liberal. Dia menyukai meme macam “Jika kalian masih ingat dengan ini, maka masa kecil kalian bahagia.”

Aku keliling rumah mereka di Sedona secara virtual, melalui Zillow. Keluarga kami sibuk mengurus penjualan rumah setelah petugas kebersihan TKP menyelesaikan pekerjaannya. 

Aku mencari kenangan tentang ayah di internet, membayangkan ayah sebagai kolumnis di koran kampus, dan mengarsipkannya secara online. Aku membayangkan pidato penuh semangat yang disampaikan ayah selama pawai anti-Perang Vietnam atau pidato lemah lembut dalam konferensi profesional masuk ke YouTube. Aku membayangkan ada lebih banyak informasi yang bisa dipelajari dan disimpulkan. Aku membayangkan ada rekaman suara, wajah dan tingkah laku ayah yang bisa kuputar berulang kali. Aku mencari ayah belasan tahun lamanya di antara berbagai generasi web. Aku tahu hasil pencariannya itu-itu saja, tapi selalu berharap bisa menemukan lebih banyak data.