FYI.

This story is over 5 years old.

Kehidupan di Papua

Alasan Pemuda Papua Sulit Menerima Slogan 'NKRI Harga Mati'

Papua terus bergejolak dan dilabeli kawasan separatis. Kami berbicara dengan anak muda asal Nabire, yang menceritakan alasannya tak merasa jadi bagian dari Republik Indonesia.
Alasan Pemuda Papua Sulit Menerima Slogan 'NKRI Harga Mati'
Mikael Kudiai dan kawan-kawan KNPB. Foto dari arsip pribadi

Slogan "NKRI harga mati" dipahami harfiah oleh Mikael Kudiai sejak kecil. Usianya baru tiga tahun kala menyaksikan keluarganya meregang nyawa karena menuntut perbaikan nasib orang-orang Papua pada pemerintah. Harga yang harus ditebus untuk menjaga "persatuan" itu adalah nyawa orang-orang Papua. "Saya melihat dengan mata kepala sendiri Paman saya ditembak mati tentara Indonesia," kata Mikael.

Hari itu, 1 Desember 2001, puluhan warga sedang melakukan aksi di lapangan pusat Kabupaten Nabire. Satu batalion tentara berjaga di sekitar lokasi unjuk rasa. Pada saat warga mengibarkan bendera Bintang Kejora, situasi memanas. Tentara melepas tembakan, menewaskan dua orang, termasuk Paman Mikael.

Iklan

Mikael memilih memendam kemarahannya pada aparat Indonesia sejak saat itu. Dia yakin banyak orang Papua merasakan hal serupa dengannya. Mereka ingin hidup damai bersama aparat Indonesia, tapi dengan satu syarat mutlak. "Kemarahan jelas ada, tapi untuk bisa berdamai harus ada rekonsiliasi dari pemerintah, agar sejarah bisa diluruskan," kata Mikael.

***

Orang tua Mikael berasal dari suku Mee di Kabupaten Paniai, sebuah daerah pedalaman dengan ketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut. Orang tuanya pindah ke Nabire, Provinsi Papua, pada 1980-an.

Mikael, yang saat ini kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta mengambil jurusan Sosiologi, menghabiskan masa kecilnya dan tumbuh di Kabupaten Nabire. Seperti kebanyakan bocah Papua lain, Mikael mengakrabi alam sekitar. Dia bakal menghabiskan waktu selepas sekolah menelusuri hutan dan pegunungan yang jaraknya cukup dicapai berjalan kaki dari rumahnya.

"Hampir setiap hari saya sering bermain di hutan mencari buah dan main di air terjun bersama teman-teman. Dulu saya jarang belajar, lebih sering bermain sepakbola," tutur Mikael. Saat menginjak bangku SMP, gaya hidup Mikael sedikit berubah, bersama teman-temannya Mikael sering nongkrong di luar rumah demi menghabiskan waktu.

"Kondisi lingkungan di Nabire tergolong parah. Anak-anak muda dari umur 10 tahun di sana sudah mengenal minuman keras lokal, biasa dikenal dengan nama Bobo. Bahkan pada menghirup lem Aibon juga. Saya juga pernah ikut-ikutan [tertawa]. Tapi setelah SMA saya tak pernah lagi," kenang Mikael.

Iklan

Sewaktu kecil, nyaris tiga hari dalam seminggu, Mikael bersama teman-temannya akan memulung kaleng bekas di sekitaran kota. Hasil menjual barang bekas ini digunakan untuk membayar ongkos sekolah dan menambah uang saku. Satu kilogram kaleng dihargai Rp5.000 waktu itu.

"Pernah sewaktu kami memulung kaleng, kami didatangi anggota polisi. Kami dituduh mencuri dan dipukuli sebelum dibawa ke kantor polisi," kata Mikael.

Selepas lulus dari SD Negeri 2 di Nabire, Mikael melanjutkan sekolah ke SMP Katolik Santo Antonius, kemudian masuk SMA Adi Luhur yang dikelola oleh Yayasan Jesuit. Mikael termasuk warga Papua yang beruntung bisa menikmati pendidikan tinggi. Kebanyakan anak muda sepantarannya hanya lulus SMP dan terpaksa langsung bekerja.

Sejak SMP, Mikael merasa begitu banyak ketimpangan di berbagai sektor terjadi di Papua. Suasana pun seringkali mencekam. Pemicunya adalah kehadiran militer yang kerap melakukan intimidasi terhadap para pemuda. Represi aparat menurutnya jadi pemandangan lumrah.

"Ada beberapa teman saya dibayar oleh aparat untuk menjadi mata-mata [gerakan pembebasan Papua]. Saya tidak tahu jumlahnya. Tapi yang jelas, mereka mengalami tekanan batin. Mereka terpaksa melakukannya karena diintimidasi."

Tak cuma represi dari aparat, masyarakat Papua tertinggal dari segi pendidikan dari provinsi lain. Pendidikan masih jauh dari standar nasional. Infrastruktur pendidikan di Papua yang disediakan pemerintah, seperti gedung dan alat peraga, masih jauh dari kata layak.

Iklan

Baru ketika menginjak bangku SMA, Mikael bisa menikmati pendidikan lebih memadai. "Saudara-saudara saya dan mungkin banyak orang lain sampai usia 20 tahun ada yang belum bisa baca tulis," ungkapnya.

Orang tua Mikael, adalah satu dari segelintir masyarakat yang setidaknya mengakui manfaat dari pendidikan diberikan pemerintah Indonesia. Orang tuanya menekankan bahwa pendidikan penting untuk menambah wawasan dan pemberdayaan masyarakat.

"Di dalam kehidupan suku-suku tradisional, jauh sebelum modernisasi, mereka masih menjunjung tinggi pendidikan berbasis kearifan lokal. Mereka belajar cara berkebun, bercocok tanam," ujar Mikael.

Namun mau tidak mau, masyarakat 'dipaksa' untuk mengikuti model pembangunan ala pemerintah Indonesia. "Kami dipaksa mengikuti meski tidak sesuai dengan apa yang kami inginkan. Salah satu yang kami inginkan adalah pendidikan yang memanusiakan manusia. Bapak saya selalu bilang, kita tidak bisa menolak arus informasi yang masuk begitu cepat. Orang tua saya, meski dalam hati menyimpan trauma dan kemarahan terhadap Indonesia, tetap menerima sistem pendidikan Indonesia, bahkan mampu menguliahkan saya," tuturnya.

Saat ini arus perkembangan di Provinsi Papua, khususnya di kota Nabire begitu cepat, apalagi setelah ada otonomi khusus pada 2001. Namun permasalahan klise seperti infrastruktur yang kurang memadai tetap belum terpecahkan.

1490264641290-Screen-Shot-2017-03-23-at-40315-PM

Mikael menyaksikan langsung proses modernisasi yang dilakukan oleh pemerintah masih berbenturan dengan tradisi masyarakat. "Arus kapital baik dari investor swasta maupun pemerintah selalu bergesekan dengan tradisi komunal," tutur Mikael. "Para orang tua seperti dipaksa untuk maju, modern, padahal sejak zaman dulu masyarakat Papua itu bersifat kesukuan. Kami bukannya tak ingin maju, tapi tekanan untuk modernitas itu begitu cepat, tak diimbangi dengan dialog dengan masyarakat."

Iklan

Dia mencontohkan ketika pemerintah memberikan fasilitas seperti komputer di pegunungan yang tragisnya tidak bisa digunakan oleh masyarakat. "Ini kan tidak berguna, yang penting kita diberi pendidikan yang layak dulu lah. Kita tidak bisa dipaksa menggunakan sistem seperti itu," imbuh Mikael.

Isu tentang Papua sangat kompleks dan dilematis bagi Indonesia. Papua menjadi arena pertarungan kepentingan pemerintah dan para investor sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Sejarawan sampai sekarang masih memperdebatkan apakah proses jajak pendapat yang menentukan bergabungnya Papua ke dalam Republik Indonesia saat itu sudah adil bagi rakyat Papua. Beberapa saksi hidup menyatakan ada ancaman agar utusan Papua memilih bergabung. Selanjutnya, setelah bergabung, persoalan minimnya pembangunan menumbuhkan benih-benih separatisme. Mikael merasa warga lokal Papua dibiarkan menjadi penonton di wilayahnya sendiri tanpa pernah diajak berdialog hingga saat ini. Pemerintah Indonesia mengedepankan pendekatan militeristis untuk menangani gejolak ketidakpuasan ekonomi yang dialami orang asli Papua, yang seringkali berujung pada keinginan merdeka. Penangkapan dan pemenjaraan aktivis di Papua rutin terjadi saban tahun. Pegiat internasional mengecam berbagai bentuk pelanggaran HAM yang masih kerap terjadi di Bumi Papua.

"Pemerintah memberi label masyarakat yang ingin referendum untuk penentuan nasib sebagai anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM), padahal ini cuma label agar masyarakat dicap separatis dan melegalkan pasal makar. Gerakan kemerdekaan Papua itu tidak muncul begitu saja, ini sudah terjadi sejak zaman kolonial. Bahkan di era reformasi ini pun pelanggaran HAM masih terjadi secara struktural," ungkap Mikael yang bercita-cita menjadi wartawan.

Iklan

Saat ini Mikael tergabung dengan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Yogyakarta yang terus memperjuangkan hak rakyat Papua menentukan masa depannya sendiri. Mikael bersama 29 mahasiswa mengorganisir aksi pada 19 Desember 2016 mendukung Komite Nasional Papua Barat (KNPB).

Pada saat berjalan kaki dari asrama mahasiswa Papua di Jalan Kusumanegara menuju titik nol Malioboro, para demonstran ditangkap aparat kepolisian. Aparat berjumlah ratusan, turun dari tiga truk. Aksi tersebut awalnya mendapat izin dari pihak kepolisian. Kawan-kawan Mikael dipukul dan dituduh melakukan aksi makar.

"Kami dipaksa memberikan data. Saya menolak karena tak bisa begitu saja memberikan data, harus didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH)," kata Mikael. "Saya cuma ditahan setengah hari sebelum dibebaskan malamnya."

Mengingat semua perjuannya sejauh ini, Mikael tak menampik bahwa Papua bisa berdampingan dengan Indonesia selama dialog dan niat baik ditunjukkan elit-elit Jakarta. "Berdamai dengan Indonesia itu dalam konteks apa dulu?" tanya Mikael. "Apa dengan cara pengiriman militer terus menerus secara damai?"

Mikael bilang persepsi positif orang Papua sempat membuncah saat sosok Gus Dur (Presiden RI ke-4) berkuasa. Hanya dia pemimpin Indonesia, dalam pandangan Mikael, yang berhasil memanusiakan orang Papua. "Beliau mengajak dialog masyarakat secara terbuka, 'Kalian maunya gimana'. Tapi nyatanya beliau dilengserkan. Sampai sekarang di era Presiden Joko Widodo belum ada lagi dialog seperti itu. Jokowi ke Papua cuma untuk pencitraan."

Bagi Mikael, dia saat ini adalah manusia yang ingin merdeka, namun terjebak dalam birokrasi dan cengkeraman sosial-politik sebuah negara bernama Indonesia. "Kami masih berada di dalam negara Indonesia. Namun saya, dan mungkin warga Papua lain, tidak merasa seperti bagian dari Indonesia."