Pencegahan Kekerasan Seksual

Fraksi PKS Terus Menolak RUU Kekerasan Seksual Pakai Alasan Legalkan Zina dan LGBT

Selain PKS yang menolak, Golkar meminta pembahasan RUU TPKS ditunda dulu. Mayoritas anggota panja DPR sepakat membawa beleid ini menuju pengesahan.
Fraksi PKS DPR RI menolak pembahasan RUU TPKS dengan alasan melegalkan zina dan LGBTQ
Aktivis menggelar aksi di depan Gedung DPR RI pada 25 November 2021, mendesak parlemen mengesahkan RUU pencegahan kekerasan seksual. Foto Anton Raharjo/Anadolu Agency via Getty Images

Rapat Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dari Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, memutuskan naskah beleid tersebut bisa maju ke tahap pembahasan lanjut menuju pengesahan. Pada rapat pleno yang digelar di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, pada Rabu (8/12), tujuh fraksi setuju, satu fraksi meminta penundaan, dan satu fraksi menolak. Suara penolakan terhadap RUU TPKS disampaikan fraksi Partai Keadilan Sejahtera. 

Iklan

Berdasar keputusan panja, RUU TPKS akan tetap menjadi satu dari 26 RUU usulan DPR RI yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022 untuk segera dibahas dan disahkan. Beleid tersebut menggenapi 40 RUU Prolegnas ada 12 RUU usulan pemerintah dan 2 RUU usulan DPD.

Partai Keadilan Sejahtera berkeras bahwa pengesahan RUU TPKS akan melegalkan seks bebas, sekaligus mempromosikan perzinahan di Indonesia. Diskusi senada, juga dipicu argumen petinggi PKS, sempat ramai di internet beberapa minggu lalu, saat para tokoh partai berlambang bulan sabit itu bahu-membahu menolak Permendikbud 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Publik, termasuk Mendikbudristek Nadiem Makarim, berkali-kali menjelaskan bahwa beleid hanya fokus pada perlindungan korban dan memberi keamanan kepada khususnya perempuan dan anak.

Namun, di mata PKS, aturan pencegahan kekerasan seksual harus dibarengi dengan pelarangan perzinahan dan orientasi seksual yang berbeda dari kelaziman. Pendapat macam itu disuarakan oleh anggota Baleg Fraksi PKS Al Muzzammil Yusuf, dalam rapat pleno Baleg.

“Kami menyimpulkan bahwa RUU ini, jika berdiri sendiri tanpa adanya aturan hukum Indonesia yang melanggar perzinaan, yaitu perluasan Pasal 28 KUHP, dan larangan LGBT, yaitu perluasan Pasal 29 (2) KUHP, maka muatan RUU TPKS berisi norma sexual consent, yakni sejauh tidak ada kekerasan, hubungan seksual dibolehkan,” kata Yusuf, dilansir Detik.

Iklan

“Padahal, hal tersebut [sexual consent] tidak sesuai dengan nilai Pancasila, budaya, dan norma agama yang dianut bangsa Indonesia. Maka, Fraksi PKS menolak RUU TPKS sebelum didahului adanya pengesahan larangan perzinahan dan LGBT yang diatur dalam UU yang berlaku.”

PKS terhitung konsisten menolak sejak naskah RUU TPKS—dulu bernama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS)—muncul. Pada 2019, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR RI kala itu, Jazuli Juwaini, menuding RUU PKS mempunyai perspektif liberal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya ketimuran. 

Anggota DPR RI dari Fraksi PKS Bukhori Yusuf, pada Maret 2021, di depan Komnas Perempuan, menuduh  RUU PKS sengaja mengabaikan logika agama. Bukhori yakin bahwa agama lah yang paling punya kredibilitas dalam mengatur urusan seksualitas.

Dalam bingkai argumen berbeda, anggota Baleg DPR Fraksi Golkar Ferdiansyah meminta RUU TPKS dibahas pada masa sidang selanjutnya. Pihaknya mengaku bakal melakukan audiensi dengan tokoh agama untuk menyerap masukan lanjut dari kelompok tersebut. Harapannya, agar RUU TPKS lebih sempurna dan tak ada celah dilakukan judicial review. Meski diwarnai suara kontra, penolakan dari Partai Keadilan Sejahtera dan kebimbangan Golkar tidak membuat pembahasan tingkat lanjut RUU TPKS berhenti.

Iklan

Pandangan soal masalah basi pelegalan zina udah sempat diluruskan Ketua Komnas Perempuan Azriana R. Manalu. “RUU ini tidak bicara soal kejahatan terhadap kesusilaan, hanya bicara soal kekerasan seksual. Yang bukan kekerasan seksual itu bisa dibahas di UU lain,” kata Azriana kepada Kompas.

Sementara, aktivis perempuan dari Jaringan Gusdurian Inayah Wahid menyebut RUU PKS hanya fokus menjamin keamanan dan hak-hak korban kekerasan seksual. “Jangan karena tidak menyebutkan LGBT atau zina, kemudian disebut RUU ini mendukung LGBT dan pro-zina. Jangan dibalik-balik berpikirnya,” kata Inayah dikutip dari CNN Indonesia.

Komisioner Komnas Perempuan Imam Nahe’i merespons dengan lebih keras, mengatakan pihak yang sulit menerima RUU PKS karena mereka khawatir banyak jenis kekerasan seksual yang akan terungkap sehingga semakin banyak pelaku yang tertangkap. “Makanya banyak orang yang gemetaran juga,” kata Imam.

Merujuk data situs Amnesty International Indonesia, Catatan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2019 milik Komnas Perempuan melaporkan peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan hampir 8 kali lipat sepanjang 12 tahun terakhir. Kekerasan seksual terhadap anak perempuan juga meningkat, dari 1.417 kasus pada 2018 menjadi 2.341 kasus pada 2019 atau naik hampir 2 kali lipat. Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan untuk Keadilan (LBH Apik) turut mencatat ada 97 kasus kekerasan seksual sepanjang Maret-April 2020.