Para Pemburu Gurita di Pulau Ujung Barat Indonesia
Semua foto oleh penulis.

FYI.

This story is over 5 years old.

Seri Foto

Para Pemburu Gurita di Pulau Ujung Barat Indonesia

Kontributor VICE Hendri Abik beberapa kali mengunjungi Pulau Nasi, Kabupaten Aceh Besar. Dia memotret aktivitas perburuan gurita tradisional yang masih dilakukan segelintir nelayan lokal.

Pemandangan seperti inilah yang akan kalian dapati pagi-pagi di Pulau Nasi, Kabupaten Aceh Besar, saat cuaca sedang baik untuk melaut. Kalian bakal menyaksikan garis pantai yang panjang sekali terhampar di depan mata. Belasan kapal tradisional tertambat di tepian. Di samping tiap perahu itu, sejumlah nelayan memancing, menjaring, dan ada juga melempar jala ke laut yang biru kehijau-hijauan.

Pagi itu tampak dua pemuda menyiapkan peralatan menyelam, mulai dari masker dan gancu, alias besi yang ujung telah dibekokan dan ujungnya tajam. Keduanya bernama Maulidan (35) dan Rahmat (30). Mereka beprofesi sebagai pencari gurita tradisional. Sabtu 3 Maret lalu saat ditemui VICE, Maulidan dan Rahmad sangat bersemangat melihat air laut—yang jaraknya sekira 20 meter dari rumah mereka—sedang surut. Karang-karang terlihat jelas. Bila laut sedang seperti ini, gurita bakal mudah ditemui di sela-sela karang. Maulidan dan Rahmad bergegas masuk ke dalam air. Seluruh berbatuan karang dalam laut, tak luput dari pengliatan dan pencarian mereka. Tanpa kemahiran khusus, tidak mudah untuk menjumpai hewan laut yang serupa monster itu. Selain pandai bersembunyi, mereka mahir bersalin rupa jadi serupa batu atau benda-benda lain di dalam laut.

Iklan

Rahmad (kiri) dan Maulidan (kanan) bersiap mencari gurita

Namun, karena sedari anak-anak mencari gurita, Maulidan dan Rahmad tak mudah dikelabui. Di mata mereka, gurita tampak jelas walau bersembunyi dalam karang dan sering berkamuflase.

Bahkan, tak butuh waktu lama, mereka bisa langsung melihat seekor gurita. “Tups”, seekor gurita langsung ditombak dengan gancu. Setelah berhasil dilumpuhkan, gurita itu langsung dimasukan ke dalam keranjang yang mereka ikat di pinggangnya.

Setelah berenang dan menyelam 1 kilometer jauhnya dari bibir pantai, berada di air selama lima jam, Maulidan dan Rahmad berhasil mendapatkan 12 ekor gurita berbagai ukuran. Gurita-gurita hasil tangkapan itu langsung dijual pada pengepul yang berada di Kampung Pasi Jadeng yang berjarak jarak 500 meter dari tempat mereka menyelam. Mereka mendapatkan uang Rp 849.000 setelah menjual ke-12 gurita itu. Uang itu akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup masing-masing. “Kami mencari gurita, biar ada kegiatan, jangan dikata malas oleh istri dan tetangga,” ujar Mauildan sembari menikmati kopi di sebuah kedai tak jauh dari tempat menjual gurita.

Nasi adalah satu dari sekian banyak pulau di Kecamatan Pulo Aceh. Pulau-pulau itu letaknya di barat laut Banda Aceh. Nasi letaknya tak berapa jauh dari Sabang, area terluar di wilayah barat Indonesia. Siapapun yang hendak ke sana, bermodal duit Rp20 ribu, mereka bisa menumpang kapal penumpang atau kapal nelayan yang bertolak dari pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh. Butuh waktu sekitar dua jam untuk kapal mengarungi selat sampai akhirnya tiba di Pulau Nasi.

Iklan

Maulidan, Rahmad, dan juga teman-temannya yang lain mencari gurita hampir setiap hari. Namun, kalau cuaca buruk, mereka pergi ke gunung mencari rotan. Khusus dari mencari gurita, mereka bisa mendapatkan uang rata-rata Rp 200.000 per hari. “Laut dan gunung merupakan ladang nafkah kami Di laut ada ikan dan di gunung ada rotan. Itulah pekerjaan kami setiap hari,” ucapnya.

Maulidan menuturkan, ia lebih tertarik mencari gurita karena tak bergantung pada orang lain. Walaupun sering kembali dengan tangan hampa, tetapi ia tetap merasa puas. “Rezeki di laut, seperti rezeki harimau, terkadang dapat banyak dan banyak sering juga tak dapat. Bagi kami itu sudah biasa karena inilah keadaan kami warga Pulo Aceh,” katanya.

Untuk saat ini, harga gurita hasil tangkapan Maulidan dihargai Rp47.000 per kilogram. Gurita-gurita itu dijual pada Sayed Saidi (53), pengumpul gurita setempat. Saat dijumpai di kiosnya, Saidi mengutarakan harga gurita terus naik sejak 2017. Sebelumnya, harga gurita hanya Rp27.000 per kilogram. Sekarang pasarannya mencapai Rp50.000 per kilogram. Dalam satu hari, lanjut Saidi, gurita yang ditampungnya mancapai 200 kilogram. Namun kalau cuaca buruk, ia hanya bisa menampung 50-80 kilogram. Rata-rata gurita tangkapan nelayan lokal dijual Saidi ke pasar luar negeri, misalnya Arab Saudi, yang menampung 4 ton gurita Aceh saban pekan.

Tokoh masyarakat di Desa Deudap, Pulo Aceh, Abdullah Jusuf (45) menuturkan, hanya sebagian kecil warga yang berprofesi sebagai pencari gurita. Lebih banyak mereka jadi nelayan ikan. “Bagi kami isi dalam laut merupakan uang, karena apapun yang kami dapatkan menjadi uang, seperti gurita dan lainnya,” ujarnya.

Di sela menikmati kopi hitam, Abdullah menceritakan bila nasib pencari gurita sekarang sudah terancam. Banyak masyarakat luar pulau menangkap gurita dan ikan menggunakan bom. “Ada pula yang meracuni gurita. Akibatnya, gurita sudah sedikit kami dapatkan. Kalau mereka datang ke sini, gurita-gurita itu bersembunyi. Itulah yang buat kami sedih,” ucapnya.

Gurita tangkapan Maulidan saat ditimbang pengepul setempat.