The VICE Guide to Right Now

Penelitian: Kaum Anti-Masker 'Kemungkinan Penderita Sosiopat'

Orang dengan gejala sosiopat cenderung mengabaikan hukum, kurang lebih mirip dengan kelakuan orang-orang yang ogah mengenakan masker dan menyepelekan risiko Covid-19.
Kaum Anti-Masker di berbagai negara 'Kemungkinan mengidap gejala gangguan jiwa Sosiopat'
Foto ilustrasi pakai masker semasa pandemi Covid-19 oleh Adam Nieścioruk / Unsplash

Penggunaan masker awalnya memang menimbulkan perdebatan. Dulu pakar kesehatan dan ilmuwan berpandangan masker tidak efektif mencegah penularan virus corona, tapi sekarang mereka menegaskan pentingnya menggunakan masker saat keluar rumah.

Meskipun sebagian besar negara kini telah mewajibkan pakai masker, masih banyak yang menentangnya habis-habisan. Bahkan di Inggris, segelintir warga sampai bela-belain keluar rumah buat demo menentang peraturan wajib bermasker.

Iklan

Ada berbagai macam alasan kenapa orang malas pakai masker. Namun, biasanya karena mereka merasa masker membatasi ruang gerak dan tidak nyaman dipakai, menginginkan “kebebasan bagi wajah mereka”, atau malah mereka yakin kewajiban ini hanyalah sebuah konspirasi.

Belum lama ini, sejumlah peneliti Universidade Estadual de Londrina di Brasil menemukan para pelanggar protokol kesehatan COVID-19 cenderung menunjukkan sifat-sifat yang umumnya dimiliki sosiopat, seperti tidak berperasaan, suka berbohong dan menipu orang lain. Peneliti juga melihat tipe kepribadian “Dark Triad” — narsisme, Machiavellianisme dan psikopat — pada orang-orang yang meremehkan pandemi, malas mencuci tangan dan tidak menerapkan social distancing. Kesimpulannya diperoleh lewat survei yang melibatkan hampir 1.600 orang di Brasil, yang saat ini memiliki 3,9 juta kasus COVID-19. Temuan ini kemudian diterbitkan dalam jurnal Personality and Individual Differences.

Surveinya dimulai pada 21 Mei, dan berakhir pada 29 Juni. Selama sebulan lebih, para peneliti menanyakan 1.578 orang dewasa di Brasil tentang kepatuhan mereka terhadap protokol kesehatan COVID-19. Peserta juga diminta mengakui apakah mereka rajin pakai masker dan cuci tangan, serta menerapkan social distancing.

Mereka lalu dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama — kelompok “empati” — terdiri dari sekitar 1.200 orang yang menunjukkan kepedulian dan memahami perasaan orang lain. Peserta dalam kelompok ini cenderung tertarik “mengembangkan interaksi sosial positif” dengan orang lain.

Iklan

Setidaknya 400 orang yang ada di kelompok kedua menunjukkan tanda-tanda gangguan kepribadian antisosial, atau yang biasa disebut sosiopat dan psikopat — kedua istilah ini sering digunakan secara bergantian dan diyakini memiliki ciri-ciri serupa. Peserta kelompok kedua memiliki kecenderungan “terpisah dari kehidupan sosial” dan sifat memusuhi. Menurut peneliti, mereka lebih mungkin menolak pakai masker atau mematuhi peraturan social distancing. Mereka memiliki skor yang lebih tinggi daripada kelompok empati dalam hal tidak berperasaan, suka berbohong, kebiasaan memusuhi, impulsif, tidak bertanggung jawab, manipulatif dan kerap mengambil risiko.

Peneliti juga membagi peserta dalam empat kelompok berdasarkan kepatuhan mereka terhadap protokol kesehatan.

Studi mengungkapkan orang dengan kecenderungan antisosial dan tingkat empati rendah kerap memaparkan diri dan orang lain terhadap risiko penularan, padahal sebenarnya mereka bisa menghindari itu. “Ciri-ciri ini setidaknya menjelaskan kenapa masih ada yang mengabaikan protokol kesehatan, bahkan di saat kasus penularan dan kematiannya terus meningkat,” simpul peneliti.

Temuan ini sejalan dengan penelitian serupa, yang menunjukkan orang-orang dengan sifat psikopat atau narsistik lebih cenderung menimbun benda macam tisu gulung dan tidak mematuhi peraturan yang bisa memutus rantai penyebaran virus.

Follow Satviki di Instagram.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE India.