FYI.

This story is over 5 years old.

Imigran

Pengungsi Suriah Bikin Game Berdasarkan Pengalamannya Melarikan Diri ke Eropa

Dana kabur dari kota kelahirannya Damaskus guna mencari suaka di Jerman. Kini, perempuan berumur 25 tahun tersebut berbagi pengalamannya lewat game “Bury Me, My Love.”

Artikel ini pertama kali tayang di Broadly.

Dalam dua minggu terakhir, saya sibuk bertukar pesan dengan Nour, seorang pengungsi Suriah yang sedang menelusuri jalur berbahaya berusaha masuk ke Eropa. Saya mengikuti perjalanannya semenjak dia melewati kota yang dihujani bom, Harasta. Saya memperingatkannya agar tidak mempercayai orang yang tidak dikenal di Damaskus, dan bahkan mengirim selfie untuk membuat dia tertawa.

Iklan

Eits, tapi jangan salah: Nour itu sebetulnya tidak nyata. Dia adalah karakter protagonis virtual dari Bury Me, My Love, sebuah game ponsel yang kini bisa diunggah lewat Google Play dan App Store. Saya memainkan Majid, suaminya yang setia dan konyol, yang memilih untuk tinggal di belakang guna menjaga anggota keluarga yang tua. Tugas saya adalah mendukung dan memberi nasihat kepada Nour selagi dia mencari jalan keluar dari Suriah lewat opsi aplikasi pesan mirip dengan WhatsApp yang memang menjadi aplikasi pesan favorit imigran di seluruh dunia.

Dana, seorang pelajar kelahiran Damascus yang kini tinggal di Jerman, juga pernah memainkan game tersebut. “Saya pertama kali memainkannya dengan saudara perempuan saya,” jelas perempuan berumur 25 tahun tersebut lewat telepon. “Kami senang sekali ketika memilih keputusan yang tepat, seperti ketika Nour menyeberang laut. Tapi belum tamat sampai sekarang. Saya akan menyelesaikannya nanti.”

Perbedaannya, Dana memang benar-benar pernah mengalami peristiwa-peristiwa yang ditampilkan Bury Me, My Love. Dia bepergian dari Suriah ke Jerman sebagai satu dari jutaan imigran yang menyerang Mediterania untuk menemukan keamanan di Eropa. (Nama belakang Dana tidak diungkap untuk menjaga privasinya). Ketika studio produksi Perancis, The Pixel Hunt dan jurnalis Pierre Corbinais mulai menulis cerita game tersebut, Dana diundang sebagai konsultan editorial untuk memastikan game tersebut benar-benar menggambarkan perjalanan banyak imigran lainnya secara akurat.

Iklan

Screenshot via "Bury Me, My Love"

Game ini memiliki beberapa akhir yang berbeda—termasuk yang tragis—berdasarkan nasihat yang Majid berikan ke Nour, membuat setiap keputusan terasa sangat penting. Peristiwa yang terjadi dalam game juga terjadi dalam real time, yang artinya dampak dari keputusan yang saya ambil dalam game juga akan terasa dalam real time. Artinya saya harus menunggu berjam-jam sebelum mendapat notifikasi dari ponsel tentang Nour untuk mengetahui apakah keputusan saya menyuruhnya naik bis atau kabur dari kamp pengungsi berakhir sukses atau tidak.

Dana, di sisi lain, berhasil masuk ke Jerman bersama kakak tirinya setelah melewati Suriah dan Lebanon. Dari sana, mereka diselundupkan ke Lesvos di Yunani menggunakan sebuah perahu dan melewati beberapa perbatasan darat agar bisa masuk dengan aman. “Saya membutuhkan waktu dua minggu,” jelas Dana. “Kami menghabiskan biaya $1.500 untuk saya dan kakak tiri.”

Apakah aneh untuk memainkan Bury Me, My Love, mengingat dia benar-benar mengalami beberapa kejadian yang ditampilkan? “Enggak tuh, karena saya tahu ada 19 cara untuk mengakhiri game ini. Saya sadar akan hal ini, dan cerita saya tidak persis sama.

“Saya berharap orang tidak akan melihat game ini sebagai cerita saya saja, tapi cerita dari semua warga Suriah,” tambahnya. “Sembilan belas ending yang berbeda itu tidak banyak kok.”

Hingga tahun lalu, Dana tengah menjalani tahun ketiganya belajar menerjemahkan bahasa Inggris di sebuah universitas setempat. Seiring perang saudara Suriah yang brutal terus berlanjut hingga 2016, dunia Dana menyusut menjadi rumah berkamar tiga tempat dia besar—kamar tamu di lantai dasar adalah tempat paling aman dari kekerasan di jalanan. “Rumah saya sangat berarti bagi saya,” jelasnya. “Saya kangen banget—saya kangen ranjang kamar.”

Kehidupan Dana dan keluarganya di Suriah sangat sulit, jauh sebelum konflik perang yang telah merenggut hampir setengah juta nyawa terjadi. “Keluarga saya menentang rezim,” jelasnya. “Kami sudah bermasalah dengan tentara dan polisi khusus.” Dana memutuskan untuk kabur setelah ibunya ditangkap dan dimasukkan ke penjara selama dua minggu tanpa tuntutan yang jelas. “Kami tidak tahu apa-apa. Itulah saatnya kami memutuskan untuk meninggalkan kota ini.”

Dengan restu ibunya, Dana dan kakak tirinya meninggalkan Suriah; dua saudara kandungnya sudah berada di Jerman. Mereka masih berbicara dengan ibu dan nenek di Damaskus secara reguler. “Mereka jarang mengeluh karena mereka tidak mau kami khawatir, tapi kami tau tentang situasinya,” jelasnya. “Di sana tidak ada listrik—selama enam jam sehari. Semuanya serba mahal.” Dana sangat berharap bisa membawa ibunya ke Jerman, tapi semua permohonan visanya telah ditolak.

Bury Me, My Love sama sekali berbeda dengan semua game yang pernah saya mainkan, dan saya pun awalnya skeptikal. Ide membuat game berdasarkan krisis kemanusiaan dan perang saudara penuh darah rasanya aneh, tapi ada sesuatu tentang game ini yang benar-benar menarik saya. Mungkin ini interface applikasi pesan sederhana yang secara akurat memimik applikasi yang digunakan migran di dunia nyata. Mungkin juga ini dialog manis dan lembut antara Nour dan Majid yang sangat mirip dengan percakapan saya dengan pacar, penuh dengan lelucon internal, bahasa sehari-hari, dan memori masa lalu. (“Bury me, my love” adalah sebuah frasa Arabik yang apabila diterjemahkan kurang lebih menjadi “Hati-hati,” atau versi lebih ngerinya, “Jangan mati duluan ya.” Ini adalah pesan yang dikirim Majid ke Nour di awal game ini.) “Game tidak harus selalu melulu menyenangkan dan trivial,” jelas produser Bury Me, My Love, Florent Maurin ke Endgadget ketika game ini dirilis awal November. Maurin, yang juga pendiri dari The Pixel Hunt, bukanlah seorang imigran dan mengatakan game ini telah mengubah pemikirannya: “Saya seperti medium lain, game bisa membahas topik apapun. Menciptakan game ini telah mengubah cara saya berpikir tentang migran. Saya berharap para pemain akan merasakan dampak yang sama.”

Dari rumah barunya di Jerman, Dana mengungkapkan ambisinya yang jauh lebih rendah tentang game ini. “Bagi mereka yang tidak pernah bertemu orang Suriah, saya berharap game ini akan menggugah mereka untuk berbicara ke para pengungsi dan mengatakan, “Siapa namamu? Gimana kamu bisa berakhir di sini?”, dan tidak melihat mereka dengan penuh ketakutan.”