Ketidakadilan di Penjara

Mirisnya Anggaran Kesehatan Napi Indonesia, Per Orang Cuma Cukup Buat Beli Paracetamol

Napi Nusakambangan cuma dapat Rp30 ribu per tahun. Ombudsman sampai ICJR mengecam sikap Kemenkum HAM memangkas anggaran kesehatan lapas, karena bertentangan dengan prinsip kemanusiaan.
Mirisnya Anggaran Kesehatan Napi Indonesia, Per Orang Cuma Cukup Buat Beli Paracetamol
Kondisi narapidana di Lapas Kerobokan, Bali. Foto oleh Sonny Tumbelaka/AFP

Jadi narapidana di Indonesia hukumannya berganda. Selain hak kemerdekaannya dirampas negara sesuai putusan peradilan, sisa hak mengakses kesehatan yang seharusnya masih mereka peroleh ikut dibabat. Bayangkan saja, anggaran kesehatan di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, ambil contoh, tak lebih dari Rp30 ribu per tahun untuk tiap penghuninya. Bayangkan saja, duit segitu paling cuma bisa beli dua strip obat sakit kepala paracetamol. Itu sekali lagi anggaran selama setahun.

Iklan

Kabar itu menyeruak ketika rombongan Ombudsman RI berkunjung ke lapas Nusakambangan Kamis pekan lalu. Anggota Ombudsman RI, Adrianus Meliala, mengatakan informasi minimnya biaya kesehatan itu disampaikan langsung oleh dokter lapas. Dia juga mengatakan Ombudsman bakal bertemu dengan Kemenkumham, Ditjen Pemasyarakatan, dan Kementerian Keuangan guna membahas soal anggaran.

"Negara sudah menahan mereka, maka negara juga harus menanggung biaya kesehataan mereka," kata Adrianus dikutip media lokal.

Adrianus menambahkan selama ini napi yang sakit mendapat rujukan ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cilacap, yang berjarak sekira 15 kilometer. Namun lantaran tidak adanya alokasi anggaran kesehatan dari Ditjen Pemasyarakatan, alhasil tagihan pasien tidak terbayar. Tunggakannya, kata Adrianus, mencapai Rp138 juta sejak 2017 untuk sekira 35 napi pasien. Itu baru di Nusakambangan saja.

"Ini krusial karena sebagai warga binaan tentu biaya kesehatan juga harus ditanggung oleh negara, dan bukan dari pemda tingkat II yang menanggung beban biaya kesehatan," kata Adrianus.

Perkara minimnya biaya kesehatan di lapas ini ikut disorot oleh Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) awal Oktober 2019. Dari temuan KontraS, anggaran perawatan kesehatan narapidana hanya Rp10 juta per tahun untuk masing-masing lapas. Artinya, masing-masing lapas hanya punya anggaran kesehatan Rp27.400 per hari.

Iklan

Salah satu terpidana mati yang diwawancara dalam laporan KontraS mengaku tersiksa akibat minimnya anggaran. "Saya menderita diare. Mereka memberi saya paracetamol karena mereka tidak punya obat lain," ujarnya seperti dikutip oleh Tirto.

Dari laporan KontraS, ada juga narapidana yang melapor bila staf lapas menolak memberi obat yang diperlukan untuk mengobati gangguan tekanan darahnya. Dalam kasus lain, staf lapas memberikan obat kepada seorang tahanan hanya beberapa kali sebulan, padahal resep dokter menyatakan dia harus mendapatkannya saban hari supaya penyakitnya tidak memburuk.

Masalah lain adalah akses ke layanan kesehatan mental juga belum memadai. Alih-alih mendapat layanan konseling, narapidana yang mendapat gangguan mental justru dialihkan ke pendekatan agama. Dari pantauan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), pangkal persoalan ini adalah pemangkasan anggaran kesehatan lapas secara nasional yang dilakukan Kementerian Hukum dan HAM sejak 2013. ICJR memandang bahwa pemerintah telah tidak konsisten dalam mengatur kebijakan pemidanaan.

"Di satu sisi kebijakan pemidanaan yang dianut oleh pemerintah memiliki kecenderungan tinggi untuk memasukkan sebanyak mungkin orang ke dalam Lembaga Pemasyarakatan namun pada saat yang sama pemerintah tidak memiliki kebijakan pemasyarakatan yang memadai khususnya yang terkait dengan perawatan Narapidana," demikian dikutip dari laporan lembaga swadaya masyarakat tersebut.

Iklan

Indonesia memang belum punya sistem pemasyarakatan yang memadai, selain setumpuk persoalan di atas, Indonesia masih ditantang untuk menyelesaikan persoalan kelebihan beban di penjara (overcrowding).

Pengamat hukum pidana dari Universitas Riau, Erdianto Effendi, mengatakan hampir semua undang-undang di Indonesia memiliki konsekuensi pidana penjara. Maka reformasi tak cuma soal sistem pemenjaraan tapi juga reformasi peradilan dan undang-undang.

"Tidak semua persoalan dapat diselesaikan dengan penerapan pidana," ujar Erdianto pada VICE. "Lapas itu tempat pembinaan, bukan tempat pembuangan."

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pernah menyebutkan penghuni lapas meningkat sekitar 22 ribu setiap tahun, sementara kapasitasnya tak bertambah. Alhasil, kelebihan kapasitas lapas mencapai 203 persen. Berdasarkan data Kemenkumham, jumlah penghuni lapas di seluruh Indonesia pada 2018 mencapai angka 256.273 orang. Sedangkan kapasitas hunian lapas hanya untuk 126.164 orang. Nusakambangan sendiri saat ini menampung sekurangnya 1.700 napi.