Legalitas Kratom

Penjualan Ekstrak Daun Kratom di Indonesia Hendak Dilarang BNN, Pakar Tidak Setuju

Selain menghidupi 300 ribu petani di Kalimantan Barat, peneliti bilang efek negatif kratom tidak signifikan dan belum terbukti sering disalahgunakan
Penjualan Ekstrak Daun Kratom di Indonesia Ingin Dilarang BNN, Pakar Tidak Setuju
Kolase oleh VICE Staff. Foto ilustrasi daun kratom dari Wikimedia Commons/lisensi CC 3.0

Sejak terakhir VICE menuliskan debat legalitas daun Kratom, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) belum mengambil langkah konkret, apakah akan memasukkan tanaman tersebut dalam Narkotika Golongan I atau tidak. Para petani kratom, khususnya di beberapa provinsi Kalimantan was-was. Badan Narkotika Nasional (BNN) masih ngotot mengharamkan kratom. Padahal, sejak harga tanaman karet anjlok, kratom adalah penyelamat ekonomi keluarga petani Kalimantan. Kini, petani memiliki sekutu baru tak disangka-sangka: peneliti yang menganggap ambisi BNN mengharamkan kratom berlebihan.

Iklan

Hari Nugroho, peneliti dan pakar adiksi Institute of Mental Health Addiction and Neuroscience Jakarta, termasuk yang berpihak pada petani. Ia menganggap BNN hanya ikut-ikutan sikap pemerintah Amerika Serikat semata, dalam usaha mengkategorikan kratom sebagai narkotika.

"Saya pribadi, sebagai peneliti dan seterusnya, [efek adiksi kratom] tidak signifikanlah. Memang punya potensi untuk disalahgunakan tapi ya itu kasus-kasusnya lebih jarang ada dibandingkan dengan drug lain seperti metafetamin atau ganja," kata Hari saat dihubungi Kompas. Dia berujar dalam lima tahun terakhir, persoalan Kkatom emang sudah jadi polemik antara para peneliti dengan para pembuat kebijakan.

Hari menambahkan, Indonesia harus punya riset sendiri soal bagaimana fakta kratom digunakan di negara ini mengingat kebijakan negara lain juga berbeda-beda. Di Thailand misalnya, kratom termasuk golongan rendah yang berarti tidak dilarang karena bisa dimanfaatkan untuk kepentingan medis. Di Amerika Serikat pun, kondisinya kurang lebih sama dengan Indonesia: pelarangan yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) masih ditentang banyak peneliti.

Misalnya, klaim riset FDA yang mengatakan ada 44 kasus kematian di AS akibat penggunaan kratom dianggap tidak valid dan terbukti salah menurut Ryan Leung, juru bicara pelobi legalitas kratom Botanical Education Alliance. Menurutnya, kratom bukanlah penyebab tunggal kematian dalam 44 kasus penyalahgunaan obat tersebut.

Iklan

"Dalam 44 kasus tersebut, korban adalah pengguna berbagai macam obat. Peringatan kesehatan kratom dari FDA tidak terbukti benar," ujar Leung, dilansir Detik. Ucapan Leung diamini Kepala Departemen Farmasi Terapan Michael White dari University of Connecticut. Menurutnya, kratom mempunyai lebih banyak manfaat dibanding kerugiannya, salah satunya sebagai obat antinyeri yang mudah diakses.

Meski sudah berlangsung lama, perdebatan soal kratom di Indonesia memasuki babak baru ketika 25 Juli lalu, BNN merayu Kemenkes untuk melarang peredaran kratom. Padahal, Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) sudah mengkategorikan kratom sebagai tanaman endemik.

"Saat ini kami sedang meminta Kemenkes untuk memasukkannya ke golongan I. Bahayanya 10 kali lipat dari kokain atau ganja," ujar Yunis Farida, Deputi Bidang Rehabilitasi BNN, merujuk laporan Kumparan. Kalau dimasukkan ke golongan I, artinya kratom setara opium, daun koka, kokain mentah, heroin, metafetamina, dan ganja. Ancaman pidananya serius, 20 tahun penjara untuk sekadar penyalahgunaan.

Gubernur Kalimantan Barat Sutardmiji menanggapi polemik ini dengan berkonsolidasi dengan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Pemimpin salah satu daerah penghasil krotum terbesar ini (sepanjang 2018 Kantor Pos Kota Pontianak mencatat 90 persen kiriman luar negeri adalah kratom) posisinya pro-petani.

"Saya berani mengatakan jika kratom memang memiliki dampak positif, kenapa ada negara seperti Amerika yang mau menerima pemasaran kratom tersebut, bahkan ini tidak dilarang masuk ke negara tersebut, sehingga kratom Kalbar menjadi salah satu komoditi ekspor yang banyak dipesan oleh Amerika," ujar Sutardmiji kepada Antara. Benar-benar argumentasi khas politisi: terdengar bagus, tapi tidak menyelesaikan masalah karena kita semua ya udah tahu.

Perputaran ekonomi kratom memang menjanjikan. Merujuk data yang dilansir Detik, impor kratom dari Indonesia ke AS mencapai 400 ton tiap bulannya dengan harga US$30 per kilogram. Sedangkan BBC Indonesia melihat fakta lapangan bahwa kratom jadi sumber pendapatan utama dari 300 ribu petani di Kalimantan yang pendapatannya bisa mencapai Rp600 ribu sehari.