Mencicipi Kandidat Pizza Paling Tidak Enak Sedunia

FYI.

This story is over 5 years old.

Kuliner

Mencicipi Kandidat Pizza Paling Tidak Enak Sedunia

Hakim di Selatan Jerman bilang si pemilik restoran harus membenahi proses pembuatan pizzanya, kalau tidak dia masuk penjara. Apa rasanya kacau banget? Berikut hasil investigasi kami.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Germany

"Wah rasanya enak banget," ujar saya, tapi sang koki bisa melihat bahwa sesungguhnya saya ingin berteriak dan lari dari setengah potong sisa pizza Margherita di atas meja. "Saya sudah berusaha yang terbaik," katanya, "tapi emang ini terlalu ribet buat saya." Selagi saya menuju pintu keluar, saya menoleh kebelakang sesaat dan melihat sang koki berdiri di dapur, menatap lantai. Ngapain gue kesini ya?

Iklan

Emang seberapa parah sih restoran pizza yang dibenci banyak orang seantero Jerman itu? Juli 2017, hakim memvonis pemilik pizzeria ini hukuman percobaan 18 bulan karena berkali-kali melanggar regulasi kesehatan. Inspektur menemukan kamur, tuna yang sudah terkontaminasi, daging kedaluwarsa, talenan yang kotor, dan lantai yang penuh kotoran. Ketika mereka kembali ke restoran itu beberapa minggu kemudian, si pemilik masih belum membuang produk-produk kadaluwarsa tersebut—justru dikembalikan masuk ke dalam kulkas. Dia mengaku berusaha membuang mereka, tapi tetangga mengeluh tentang bau tidak sedap dari tong sampah. Aneh memang logikanya. Dia membuang sampah-sampah tadi, tetangga protes karena sampahnya bau, lantas dia mengembalikan semua produk tersebut ke dalam kulkas dalam restoran.

Tidak heran bila pengadilan menggap dia tak serius mengelola restoran. Apabila pelanggaran kesehatan serupa terjadi lagi, sang hakim memperingatkan si pemilik bakal dijebloskan ke penjara. Pengacara sampai merekomendasikan sang pemilik agar menjual saja bisnis pizza tersebut dan beralih ke bisnis lain. Dia menolak saran si penasehat hukum. Di pengadilan, lelaki ini berkukuh akan meneruskan bisnis pizzanya. Ya udah, kenapa juga gak kita coba makan di restoran yang sampai disebut pengadilan tidak layak disajikan ke manusia. Apa iya segitu susahnya bikin pizza yang rasanya biasa aja? Bukannya semua pizza pasti akan kerasa lumayan, asal gak pake daging busuk, ya kan?

Iklan

Ketika saya tiba di restoran itu di sebuah siang yang panas, pintu depan tertutup rapat dan tidak ada sama sekali tanda kehidupan di dalam. Saya menelepon nomor yang tertera di jendela; setelah beberapa kali berdering, akhirnya sebuah suara yang terdengar mengantuk menjawabnya.

"Halo?"
"Halo, saya di luar restoranmu dan ingin memesan pizza."
"Duh waktunya lagi gak ok, tapi ya udahlah. Mau pesen apa?"
"Medium Margherita."
"Ok, tunggu dulu ya. Saya ke restoran dalam 10 menit."
Selagi saya menunggunya, saya berdebat dengan diri sendiri apakah saya harus mengatakan padanya kalau saya seorang jurnalis. Dia pasti sudah letih dengan publikasi buruk, tapi di sisi lain, dia membahayakan kesehatan orang lain dengan tidak menjaga kebersihat makanan secara serius. Sebelum saya bisa memutuskan, saya melihatnya berlari menghampiri, penuh keringat akibat panas matahari. Saya hampir kepikiran untuk kabur, tapi dia lebih cepat dari yang saya kira.


VICE rutin melakukan liputan kuliner yang tidak lazim lho. Baca juga yang ini:

Si pemilik restoran pizza tak enak ini mantan supir truk berumur 49 tahun yang kabur dari Pakistan di 90-an. Dia kini berusaha berdagang makanan cepat saji sebaik yang dia bisa. Rambutnya terlihat sedikit abu-abu saat kami pertama bertemu. "Kamu yang pesen pizza?" dia bertanya penuh keraguan, seakan-akan kaget ada pelanggan beneran datang ke restorannya. Saya mengangguk. "Ok, mantap," katanya sambil tersenyum lebar. "Tapi kamu harus menunggu sebentar ya karena kamu pelanggan pertama hari ini."

Iklan

Dia menutup pintu restoran, menyalakan lampu dan langsung bergegas ke dapur selagi saya melihat-lihat sekeliling. Ada bau kari ayam yang sangat kuat. Restoran tersebut sangat kecil. Di sisi kiri, ada dapur dengan sebuah kulkas,di sisi kanan ada sebuah sofa dengan meja, dan kulkas berisikan minuman bersoda. Dindingnya didekorasi wallpaper dan beberapa foto dari India. Lantainya bersih, menunjukkan adanya usaha berubah sejak jatuhnya vonis pengadilan. Saat melongok ke dapur, hmm, lumayan berantakan—panci dan wajan berserakan dimana-mana, tergeletak di antara kardus karton dan seember garam.

Ada sekitar 100 hidangan yang ditawarkan menu restoran tersebut. Berbagai pilihan pizza seharga Rp94 - Rp125 ribu, bermacam-macam kari, pasta, somay dan beberapa hidangan oseng-osengan. Di bawah rak botol vodka dan anggur, terlihat sertifikat dari jasa pengiriman online yang menyebut restoran ini sebagai yang terbaik di 2015. Kok bisa?

Sertifikat penghargaan dari perusahaan layanan antar setempat, yang bilang restoran ini punya pizza paling enak di kota tersebut. Ironis bukan?

Si koki keluar dari dapur sesaat untuk memberi tahu saya pizzanya masih butuh waktu sebelum matang. Dia kembali menghilang ke dalam dapur. Saya ingin menggunakan toilet, tapi pintunya dikunci. "Lagi mampet, maaf ya," teriaknya dari dapur. Ketika saya hendak mengambil minuman dari kulkas, saya melihat jamur, salad, dan potongan ayam mentah di rak terbawah. Saya ingin mengecek tanggal kadaluwarsa mereka, tapi takut dianggap penyelidik kebersihan restoran.

Beberapa saat kemudian, dia keluar dari dapur dan bergabung bareng saya di meja. Dia orang yang baik, tapi ini saatnya membahas semua berita buruk seputar restoran yang memenuhi media akhir-akhir ini. Saya menanyakan tentang semua berita tersebut dan apabila dia sudah membuat perubahan di restoran. Dia sok-sok kaget. "Hah? Saya masuk koran?" jawabnya. Sulit untuk tahu apakah dia benar-benar lupa tentang liputan-liputan media yang menyerangnya atau dia hanya berusaha membodohi pelanggan baru. Saya mengingatkan dia tentang keputusan pengadilan. "Oh itu," jawabnya cepat.

Iklan

Dia berbalik dan menatap kakinya. Dia tidak lagi tersenyum. "Sekarang udah gakpapa kok," dia berusaha meyakinkan saya. "Saya sudah bersih-bersih. Waktu itu inspektur datang pagi di hari yang sibuk, jadi saya belum punya waktu buat merapikan restoran. Tapi sekarang, semuanya baik-baik saja." Dari nada suaranya saja, anda bisa tahu betapa inginnya dia semua itu menjadi kenyataan dan seberapa pentingnya restoran ini baginya. Ketika saya mengatakan restoran terlihat bersih dan menanyakan apabila para inspektur akan kembali datang, dia menatap saya dari atas sampai bawah, berusaha memastikan apakah saya seorang agen yang sedang menyamar, sebelum akhirnya tertawa. "Kebersihan itu kayak laut," ujarnya. "Anda bisa bersih-bersih semaunya, tapi debunya akan selalu datang lagi, seperti ombak. " Saya tersenyum sambil membayangkan dia surfing di atas laut penuh minyak dan lemak, melawan ombak jamur dan ayam kadaluwarsa.

"Saya seorang jurnalis," kata saya, akhirnya berusaha jujur. "Saya ke sini dalam rangka menjajal rasa pizza buatanmu." Dia menatap saya dalam keheningan selama beberapa detik, tersenyum, tanpa membalas apa-apa. Tiba-tiba dia berlari ke dapur. "Anjing," teriaknya. Saya mencium bau gosong.

Pizza yang saya cicipi hari itu.

Beberapa menit kemudian, dia datang dengan pesanan saya. Toppingnya hanya sedikit gosong, tapi pizzanya terlihat seperti pizza Margherita pada umumnya. Saya mencicipi pizza tersebut. "Enak?" tanyanya. Saya mengangguk. Sejujurnya toppingnya asin banget, rotinya terlalu lembek, dan hanya keraknya yang benar-benar matang. Dia tersenyum dan menatap saya lagi—saya gak tahu dia mau nonton saya makan berapa lama. Dia kemudian sadar bahwa saya membawa kamera.

Iklan

"Kamu kerja buat koran?" tanyanya. Saya menaruh kembali potongan pizza ke atas piring. "Kamu nulis tentang pizza?" Saya tidak memberikan jawaban yang pantas. Dia bertanya lagi tentang pizza yang sedang saya makan. "Saya mulai jago kok," katanya. "Saya sudah berbisnis pizza selama tiga tahun. Sekarang saya sudah berpengalaman. Saya dulu supir truk, tapi setelah mikir-mikir, mendingan jualan pizza," jawabnya sambil tertawa memukul perutnya. Dia mengatakan bahwa dia tidak pernah mendapatkan pelatihan masak pizza yang benar. "Saya bisa apa lagi? Saya akan mencoba lebih bersih dan meningkatkan kemampuan memasak saya," jawabnya. "Jumlah pelanggan yang datang cukup kok—saya tidak butuh banyak."

Saya kembali menyantap pizza. Emang gak enak sih, tapi benarkah ini pizza terburuk di Jerman atau malah dunia? Gak juga. Pintu restoran masih terbuka, dan udara panas kini bercampur dengan aroma kari. Saya meminta bill dan meninggalkan setengah pizza di atas piring. "Apa kamu benar-benar menikmati pizza barusan? Dia tanya lagi, seakan dia tidak bisa percaya ada orang yang bisa menikmati masakannya. "Tentu saja," jawabku.

"Mau dibungkus gak sisanya?" Saya sadar saya tidak akan memakan sedikitpun pizza itu lagi, tapi saya tidak tega mengatakan tidak, jadi kemudian dia membungkus sisanya dengan tinfoil. Selagi saya mengambil beberapa foto sebelum pergi, dia bertanya: "Apa kamu akan menulis hal-hal positif tentang saya di artikelmu?" Saya terdiam sesaat, sebelum mengatakan bahwa saya tidak akan menyebutkan nama aslinya dalam artikel—satu-satunya jawaban jujur yang bisa saya berikan. Dia kembali menatap kakinya. "Jadi kamu gak suka ya dengan pizzanya?" Ruangan itu tiba-tiba terasa hangat dan mengecil. Saya hanya bisa mengucapkan "tidak" dengan suara kecil. "Saya berusaha sebaik mungkin dan belajar ilmu baru setiap hari," katanya, "tapi emang ini terlalu ribet buat saya." Kemudian dia berbalik badan sembari saya keluar dari restoran.

Iklan

"Orang-orang tak suka pizza buatan saya. Ada yang bilang kurang asin, ada yang bilang terlalu asin—sama seperti kamu. Saya tidak tahu lagi harus berbuat apa."

Saya merasa bersalah sembari berjalan ke stasiun kereta. Dia ditekan habis-habisan oleh inspektur pengawas kebersihan dan pengadilan. Dia mungkin tidak butuh lebih banyak tekanan dari saya. Paling tidak saya harus memberikan dia kritik yang membangun—mungkin ini akan membantunya menyelesaikan beberapa masalah. Esok harinya, saya menelpon dia.

"Halo?"
"Halo, saya yang ngetes pizza kemaren di toko."
"Saya ingat."
"Saya ingin ngobrol lagi…um…"
"Ya?"
"Kamu bertanya apabila pizzanya enak…"
"Iya."
"Rasanya gak enak. Terlalu asin."
"OK, makasih. Makasih udah nelpon."

Dia kemudian mengaku bahwa dia juga tidak sepenuhnya jujur. Dia hampir tidak mendapatkan pelanggan sama sekali sekarang. Restorannya kesulitan keuangan. Dia memiliki utang senilai Rp157 juta. "Hidup saya sedang susah," katanya. "Susah sekali."

Dia dulu bekerja sebagai pengantar barang tapi berhenti karena pekerjaan itu "menyakiti punggungnya." Suatu hari, dia mengunjungi teman yang memiliki bisnis pizza sendiri dan langsung tertarik. Dia mengambil pinjaman uang dan membuka restorannya sendiri. Awalnya semua baik-baik saja, tapi di satu titik, dia mulai kehilangan pelanggan.

Apa alasannya? "Orang tidak suka pizza saya," katanya. "Ada yang bilang kurang asin, ada yang bilang terlalu asin—sama seperti kamu. Saya tidak tahu lagi harus berbuat apa." Dia ingin berhenti memasak pizza, tapi tidak bisa karena dia terlilit hutang. Dia tidak tahu apa yang dia bisa lakukan selain menyetir truk dan memasak pizza, tapi dia mencari alternatif lain.

Sebelum saya menutup telepon, dia melempar satu pertanyaan terakhir: Ada saran ga supaya dia bisa membuat pizzanya lebih enak? "Coba kasih kemangi dan mozzarella," ujar saya, "Kayak di Italia gitu." Wah ide bagus tuh, katanya. Sebelum kami berpisah, dia mengatakan istrinya sedang hamil delapan bulan, mengandung anak ketiga mereka. "Hidup gak sengsara-sengsara amat kok," ujarnya sambil tertawa.