WTF

“Pulangnya Susah”: Begini Rasanya Tersesat di Alam Lain

Pemuda di Magelang pernah bikin geger karena hilang misterius. Warga yakin ia dibawa pergi ke jagat lelembut.
Lelaki berkaus biru dengan tas selempang di dada
Eksan Aji Saputra. Lelaki 30 tahun asal Magelang, Jawa Tengah, yang pernah hilang misterius pada 2020. Foto oleh Alfian Widi

Momen sambut Tahun Baru Islam dua tahun lalu merupakan hari yang tak terlupakan bagi Tri Noriyati sekeluarga. Sudah tradisi di tempat tinggal mereka, desa Pucang, Kabupaten Magelang, merayakan malam satu Sura bersama warga sekitar. Sehari sebelumnya pun, pada Rabu (19/8/2020), perempuan 55 tahun itu kebagian tugas masak-masak buat acara mujahadah yang akan diadakan di masjid nanti malamnya. 

Kenangan yang membekas bagi Tri bukan soal suguhannya dipuji tetangga maupun kegiatan doa bersama mendekatkannya pada Allah SWT. Hari itu, ia begitu panik mencari anak sulungnya yang tiba-tiba hilang.

Iklan

Satu per satu keganjilan mulai nampak ketika putranya, Eksan Aji Saputra, tak kunjung pulang ke rumah. Padahal, ia sudah berjanji mengantar ibunya melayat setelah merampungkan pekerjaan hariannya sebagai tukang parkir di Pasar Pucang. Ia terakhir kali terdengar kabarnya pukul 12 siang, saat pamit mandi di Sungai Grogolyudan.

“Duh panas banget e Bu, aku ngadhem mandi dulu di sungai ya!” pamit lelaki yang saat ini berusia 30, sebagaimana diingat Tri.

Di dekat sungai, ada pemandian umum yang sering didatangi warga. Jaraknya juga cuma 500 meter dari rumah mereka. Seharusnya tidak butuh lama membersihkan badan di sana. Tapi yang terjadi, Eksan membuat ibunya gelisah di rumah. Ia belum pulang hingga azan magrib berkumandang.

Area pemandian umum Sungai Grogolyudan yang bersebelahan langsung dengan sungai

Area pemandian umum yang bersebelahan langsung dengan Sungai Grogolyudan. Foto oleh Alfian Widi

Rencana Tri batal semua. Tetangga lantas melaporkan hanya menemukan pakaian dan ponsel Eksan, sedangkan pemiliknya tidak ada di sana. Kabar hilangnya Eksan segera disebar. Warga, tim SAR, polisi, Satpol PP, hingga relawan berbondong datang ke lokasi dan rumah Tri. “Rasanya kayak enggak percaya, masak sih anakku hilang? Apalagi di sungai itu, kan dia sudah biasa ke sana sejak kecil,” tutur Tri.

“Bapaknya Eksan masuk sungai, ngubek-ngubek air sambil nangis, apa mungkin Eksan jatuh atau dimakan ular?” lanjutnya.

Malam itu peserta mujahadah di masjid tak sebanyak biasanya. Sebagian besar warga memilih ikut mencari Eksan di sekitar Sungai Grogolyudan. Tapi nihil. Tim SAR dari kantor Basarnas Semarang yang semula menduga Eksan hanyut di sungai, menemukan kejanggalan sebab aliran air sungai hari itu sangat kecil, mustahil menghanyutkan orang dewasa. Warga dan relawan yang menyisir tepian sungai dan daerah sekitarnya hingga radius 3 km pun tak menemukan petunjuk apa pun. Eksan seperti begitu saja menghilang di udara.

Iklan

Berita ini sempat ramai di jagat maya, apalagi setelah Eksan ditemukan esok malamnya di depan MTs Ma’arif Pucang yang hanya berjarak 500 meter dari lokasi hilang. Jika sejak kemarin Eksan di sekitar sana, tak mungkin luput dari pencarian warga yang berkeliling di lokasi itu. Eksan ditemukan dalam keadaan lemas, linglung, dan tak memakai pakaian.

Karena susah dijelaskan secara nalar, warga kemudian menduga hilangnya Eksan melibatkan fenomena supranatural, diculik lampor (dipercaya sebagai hantu yang suka menculik orang) hingga pindah ke alam lain.

Apakah benar Eksan dibawa ke alam gaib?

“Aku mikirnya mungkin yang kulihat itu api dari obor orang-orang yang mencari. Tapi karena aku sedang di ‘alam lain’, jadi enggak kelihatan, padahal ya [aku] di situ.”

Eksan mengaku tak ada yang aneh saat melangkah masuk ke kawasan Sungai Grogolyudan. Tapi siang itu memang tak ada siapa pun selain dirinya. Selesai buang air, Eksan sempat bermain ponsel, lalu melepas baju. Untuk berendam, Eksan mesti menuruni lima anak tangga di dekatnya.

Pemandian umum di sana terdiri dari tiga kolam seukuran 3x3 meter, pancuran bilas, dan area duduk yang langsung bersisian dengan sungai. Rimbun bambu menaungi hampir seluruh tempat ini membuatnya jadi sejuk dan dingin, meski siang tengah panas-panasnya. Eksan, seperti warga lain, biasanya mendinginkan badan atau mencuci baju sambil mengobrol tentang apapun.

Iklan

Pok!

Tepat satu langkah sebelum kaki Eksan menyentuh air di anak tangga terakhir, ia merasakan sebuah tepukan kasar di tengkuknya. “Lumayan banter (kencang), aku ingat rasanya dingin banget,” jelas Eksan kepada VICE yang menemuinya 3 Februari lalu di rumahnya.

Sejurus kemudian, ia merasa semua gelap.

Eksan tak tahu berapa lama ia tak sadar. Yang ia tahu, begitu membuka mata, ia sudah berada di sebuah barisan panjang berisi laki-laki dan perempuan yang berpasang-pasangan. “Aku panik banget, enggak tahu ini apa dan di mana,” ujarnya.

“Perempuannya itu (wajahnya) sama semua, tapi laki-lakinya beda-beda. Ada yang rambut panjang, ada yang cepak, ada yang rambut putih, ada yang berdarah, tapi tingginya sama semua.”

Ingatan Eksan tentang hari itu amat detail. Posisinya saat itu berada di paling kanan, berjejer dengan sosok perempuan cantik yang memakai kemben dan selendang halus warna krem muda dengan rambut terkuncir ke belakang. Ia sendiri memakai pakaian dari kain senada yang dililitkan ke badannya. Ada tiga pasangan lain di sisi kirinya.

“Dalam hati saya teriak-teriak minta tolong sambil nangis, ingat istri dan keluarga. Tapi mulut terkunci dan badan rasanya lemas banget tapi enggak bisa dikontrol, jadi badanku kayak otomatis ikut jalan,” ujarnya. Menurut Eksan, barisan itu amat panjang hingga ujung depan-belakangnya tak bisa ia lihat. Mereka berjalan di sebuah jalur jalan setapak berbatu.

Iklan

“Nah, di sekelilingnya itu enggak ada apa-apa. Kosong, benar-benar enggak ada apa-apa,” lanjut Eksan.

Meski terus berjalan, pemandangan sekelilingnya tak berubah. Ia juga tak tahu ke mana tujuan barisan itu. Hanya sekali Eksan melihat beberapa bola api menyala seperti mengikutinya, itu pun terlihat samar dan jauh. “Rasanya aku jalan sekitar dua jam, dan itu suasananya temaram gitu, kayak subuh atau magrib. Tapi sebenarnya di sana udaranya sejuk.”

Nyatanya, warga mencari Eksan selama kurang lebih 35 jam sampai ia ditemukan. Kelak ibunya juga bercerita bahwa malam itu, warga memang mencarinya di sepanjang sungai menggunakan obor sambil melakukan bleg-bleg-thing, yaitu membunyikan peralatan dapur seperti panci atau wajan dengan memukul-mukul sambil memanggil nama korban di lokasi hilang. Usaha ini umum dilakukan warga ketika kasus seperti ini terjadi.

“Aku mikirnya mungkin yang kulihat itu api dari obor orang-orang yang mencari. Tapi karena aku sedang di ‘alam lain’, jadi enggak kelihatan, padahal ya [aku] di situ,” kenang Eksan.

Kisahnya terdengar seperti adegan film-film sci-fi populer, seperti Spirited Away (2001), Stranger Things (2016), Marvel Cinematic Universe (2008-sekarang), hingga yang teranyar Everything Everywhere All At Once (2022). Tidak masuk akal menurut sebagian orang, walau eksistensi alam lain ini telah jadi salah satu pertanyaan paling besar umat manusia.

Iklan

Dalam studi sains, fenomena “pindah alam” bisa dikaji lewat konsep parallel universe yang muncul dari teori Multiverse. Konsep ini menyebutkan alam semesta kita hanyalah satu dari sekian banyak alam semesta yang ada dan beriringan. Dalam jurnalnya yang berjudul Parallel Universes, Max Tegmark, fisikawan dan profesor di Massachusetts Institute of Technology (MIT) bahkan telah membuat empat jenis “semesta alternatif”. Menurutnya, pertanyaan besarnya sudah bukan lagi ada atau tidak, melainkan membangun alat pembuktiannya.

Dalam Teori Dawai (String Theory) yang dijelaskan di Futurism, kita diasumsikan hidup dalam semesta dengan begitu banyak dimensi, namun indra kita hanya sanggup mengalami dunia dalam 4D (panjang, lebar, ruang, waktu). Bukan berarti dimensi lain tak ada.

Distorsi, terutama pada waktu dan ruang memang menjadi salah satu pengalaman paling mencolok dari kasus serupa.

Ani Yuliarti, seorang pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) di Desa Cikuya, Cilacap menjadi saksi pencarian anggotanya yang juga diduga hilang ke alam lain Kamis, 3 November 2022 lalu. Siti, 58 tahun, terakhir terlihat mengikuti agenda perkumpulan ibu-ibu bersama Ani. Acara yang diadakan di salah satu rumah warga itu selesai pukul 10 pagi, jaraknya pun cuma 15 menit dari rumah Siti. Namun sampai pukul 9 malam, Siti tak kunjung pulang hingga pihak keluarga melaporkan ke polisi.

Iklan

Siti ditemukan di desa lain sehari kemudian, tengah berjalan kebingungan dengan kondisi basah kuyup. Jarak rumah ke Karangpucung, tempatnya ditemukan, kurang lebih 1,5 jam perjalanan motor. Seperti pencarian Eksan, sebelumnya warga juga tak menemukan petunjuk apa pun. Siti lenyap bak tertiup angin, tanpa jejak sedikit pun.

“Ketika ditanyai, dia bilang saat pulang dia tahu-tahu diajak naik bus warna hijau. Di dalamnya isinya anak pakai seragam sekolah semua, tapi diam saja nggak ada yang ngomong,” cerita Ani, perempuan 36 tahun yang ngobrol bersama VICE. “Pemandangannya katanya lihat banyak pohon kecombrang, lalu berkelok-kelok masuk hutan, baru diturunkan entah di mana itu. Baru deh dia ketemu warga minta diantar pulang.” 

Menurutnya, Siti merasa hanya pergi selama 30 menit, tak lama. Untuk jangka waktu sepanjang itu, terbukti Siti juga tak merasa lapar atau kehausan.

Kasus lain dituturkan oleh Mahmudi Klampok, pria paruh baya 55 tahun asal Desa Giring, Kab. Gunungkidul. “Tetangga saya langganan hilang ke alam lain, sudah tiga kali,” ia terkekeh, namun serius.

Pencarian paling heboh ia lakukan bersama warga dari dua desa pada 1999 lalu. Hari itu Kamis, pemuda bernama Supiyo diketahui baru saja bertengkar dengan sang istri, lalu pamit mencari rumput pakan ternak ke ladang. Hingga malam Supiyo tak pulang, warga hanya menemukan keranjang bambu dan arit di lokasi. “Ditanyakan ke orang pintar, katanya si Supiyo ada di lokasi itu tapi di ‘seberang’. Masih hidup, cuma sedang ‘dipinjam’. Pas itu juga lapor polisi, tapi polisinya juga bingung cari ke mana,” tutur Mahmudi.

Iklan

Bleg-bleg-thing dilakukan warga setiap malam, sampai lelaki 25 tahun itu muncul hari Minggu malam, nampak berdiri linglung di atas bak Penampungan Air Hujan (PAH) di belakang rumahnya.

“Pas sudah sadar, dia bilang katanya tadi melihat kami (warga), sudah dipanggil-panggil tapi kami katanya tidak menyahut,” cerita Mahmudi. “Dia bilang, dia sedang rewang (membantu) di rumah juragan yang bagus banget, dia disuruh cuci piring.”

Setelahnya, Supiyo sempat hilang lagi sebanyak dua kali.

Satu kesamaan yang ditemukan pada para survivor ini adalah kondisi linglung setelah ditemukan. Ini membuat banyak orang berasumsi mereka berhalusinasi belaka.

“Alam lain itu ada juga, ya saling jaga aja. Kalau ke mana-mana uluk salam (memberi salam), permisi ke yang punya tempat.”

VICE bertanya tentang hal ini pada Lucia Peppy, psikolog klinis yang mendirikan Wiloka Workshop di Yogyakarta. “Kalau secara psikologis, mungkin ada suatu proses kognitif maupun emosional yang membuat kontrol realitas seseorang berkurang, jadi kesadaran terhadap ruang dan waktunya juga kacau,” ujarnya. 

Meski begitu, Lucia Peppy tak mengklaim pengalaman “hilang ke alam lain” mutlak sebagai halusinasi atau bagian dari gangguan mental. “Kemungkinannya bisa banyak sekali, tapi kalau dari perspektif psikologis pandangan saya begitu.”

Perspektif yang barangkali tidak menyangkal fenomena ini VICE temukan dari perspektif tradisi. Dalang Gibran Kawipujo dari Yogyakarta menuturkan, dalam kawruh (ilmu) tradisional Jawa, orang mengamini alam itu ada tiga lapis: alam atas, alam tengah, dan alam bawah. Meski belum bisa dibuktikan dengan sains, menurutnya bukan tak mungkin setiap makhluk hidup dapat berpindah alam atau dimensi. “Kayak rel kereta itu lho, jalan beriringan tapi di satu titik mereka bersilangan,” ujarnya. “Kalau soal orang hilang ke alam lain, mungkin ada dua jenis: yang diculik (dipaksa) atau sukarela.”

Iklan

Kasus Eksan, Siti, dan Supiyo adalah contoh kasus hilang dipaksa. Sementara hilang secara sukarela mungkin dicapai seseorang yang telah menguasai ilmu tertentu, setidaknya begitulah menurut Gibran. “Tapi yang ngelmu gitu banyaknya zaman dulu, ilmunya ngesthi (menghayati) sifat-sifat Tuhan di alam, jadi pindah alam itu mungkin sekali,” tandasnya.

Pasca kejadian hilang itu, Eksan belum pernah mandi atau sekadar mengunjungi Sungai Grogolyudan lagi. “Takut ‘kena’ lagi, pulangnya susah,” ia tertawa.

“Setelah berjalan lama, ada sosok laki-laki tua membagikan makanan. Aku disodori daun jati, di atasnya ada buletan bening, segini,” lanjut Eksan seraya membentuk lingkaran dengan jempol dan jari telunjuknya. Ia bilang rasanya tawar.

Penampakan Sungai Grogolyudan yang airnya dangkal.

Penampakan Sungai Grogolyudan yang airnya dangkal. Foto oleh Alfian Widi

Eksan merasa tubuhnya sedikit lebih kuat usai menelan benda itu. Ia mencoba menggerakkan kaki kanan keluar dari jalan setapak batu tadi, dan kali ini berhasil. “Wah itu, enggak banyak mikir, saya langsung lari.”

Eksan merasa dari awalnya kosong. Ia yang masih setengah sadar mulai bisa melihat lingkungan sekelilingnya meski sangat kabur. “Seperti ada batasnya gitu lho, susah ditembus,” ujarnya.

Kesadaran lelaki itu baru sepenuhnya pulih saat ia membuka mata, terbaring di lantai ruang tamu rumahnya, dikerubungi banyak orang. “Abis diruqyah baru mata dan perasaan plong.”

Ia bersyukur pengalamannya “hilang ke alam lain” tak memberi efek buruk pada kondisi fisik maupun psikisnya.

“Setelah hilang itu, aku malah jadi lebih mantep. Karena aku tahu dan sudah mengalami, emang alam itu enggak cuma [satu] ini. Alam lain itu ada juga, ya saling jaga aja. Kalau ke mana-mana uluk salam (memberi salam), permisi ke yang punya tempat,” pungkasnya.