FYI.

This story is over 5 years old.

Diskriminasi

Blokir Aplikasi LGBTQ di Ponsel, Pemerintah Motor Utama Kampanye Homofobia

Upaya mengkambinghitamkan komunitas seksual minoritas di Tanah Air memasuki ranah baru. Setelah polisi rutin menggerebek ruang privat, kini giliran Kominfo memblokir aplikasi LGBTQ di ponsel berbasis Android.
Ilustrasi oleh Dini Lestari.

Upaya terus memojokkan komunitas LGBTQ tampaknya tak hanya berhenti di sekitar penggerebekan ruang-ruang privat. Seakan tak puas dengan sejumlah razia dan penggerebekan, pemerintah kini menyasar dunia maya. Sejak tahun lalu pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir 79 aplikasi di Google Playstore dan 169 website yang berkaitan dengan komunitas LGBTQ hingga saat ini.

Upaya tersebut dilakukan bekerja sama dengan Google setelah ada permintaan tertulis dari pemerintah Indonesia. Sampai saat ini belum ada upaya pemerintah untuk memblokir aplikasi media sosial untuk gay di iOS. Meskipun Google selalu menyatakan bahwa perusahaan tersebut menjunjung tinggi kesetaraan, namun nyatanya raksasa internet tersebut bertekuk lutut juga di hadapan pemerintah.

Iklan

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, dalam siaran persnya, mengatakan bahwa upaya tersebut dilakukan sebagai pencegahan promosi gaya hidup LGBTQ dan penyebaran konten asusila. Rudiantara juga mengatakan bahwa langkah tersebut diambil untuk melindungi generasi muda dari pengaruh LGBTQ. VICE Indonesia mencoba menghubungi Google Indonesia, namun belum ada konfirmasi resmi terkait pemblokiran tersebut.

“Tidak boleh kalau ada unsur promosi yang mengajak orang untuk mengikuti gaya hidup seperti itu. Dari sisi kesehatan dan agama, itu sangat bertentangan. Sedangkan untuk yang bermuatan asusila, itu sudah jelas melanggar,” papar Rudiantara saat dihubungi media.

Juru bicara Kominfo Noor Iza, kepada VICE Indonesia, mengatakan pihaknya tidak akan berhenti pada sejumlah aplikasi dan situs yang sejauh ini sudah diblokir. Menurut Noor, Menkominfo telah bekerja dengan semua penyedia jasa telekomunikasi memblokir semua konten yang bermuatan negatif, termasuk menyangkut komunitas LGBTQ. Noor mengajak masyarakat juga berpartisipasi aktif dalam melaporkan berbagai situs dan aplikasi berkonten negatif.

“Pemblokiran merupakan bagian dari usaha menyediakan layanan internet sehat yang sesuai norma sosial-budaya. Kami sudah memberikan tenggat waktu kepada sejumlah provider untuk memblokir semua konten negatif,” ujar Noor saat dihubungi VICE Indonesia. “Untuk aplikasi lain nanti lagi, kita nanti akan membahas lebih lanjut dengan Google.”

Iklan

Salah satu aplikasi yang menjadi sasaran Menkominfo adalah Blued, sebuah aplikasi chatting asal Cina yang dikhususkan untuk gay. Aplikasi tersebut telah menjaring sekira 27 juta pengguna sejak pertama kali diluncurkan pada 2012. Aplikasi yang mirip Instagram tersebut menjadi favorit lantaran menawarkan fitur-fitur seperti Live, yang memungkinkan pengguna untuk mengunggah streaming kehidupan mereka; Grid, yang memungkinkan pengguna untuk menemukan teman dalam jarak terdekat; hingga Feed, yang memberikan keleluasaan pengguna untuk melihat foto.

Menkominfo sendiri mengatakan telah berupaya memblokir Blued sejak 2016. Namun menurut Menkominfo developer Blued selalu mengganti domain name system (DNS) setiap kali diblokir. Pemerintah pada akhirnya toh tidak kehilangan akal. Jika para developer terus membandel, pemerintah lantas menghubungi Google meminta mereka turun tangan dalam aksi pembasmian konten. Sejauh ini aplikasi media sosial untuk gay memang masih dapat ditemui di Playstore. Beberapa aplikasi seperti Hornet, Grindr, 9monsters, Romeo, dan Digsso masih bisa diunduh secara gratis.

Pemerintah Indonesia sedang sangat getol memblokir situs maupun aplikasi dianggap mengancam. Sebagai catatan, sepanjang 2017, Menkominfo memblokir 787.662 situs bermuatan negatif. Sembilan puluh persen di antaranya berisi konten porno.

Juli tahun lalu Menkominfo sempat memblokir Telegram karena dianggap sebagai sarang teroris, sampai-sampai bos Telegram harus ke Indonesia memohon pencabutan pemblokiran. November tahun lalu, Menkominfo kembali mengancam akan memblokir WhatsApp jika tak segera membersihkan layanan GIF dari konten berbau pornografi. Ancaman tersebut tak menjadi kenyataan lantaran WhatsApp berjanji akan menghapus semua GIF dari pornografi.

Iklan

Sentimen negatif terhadap komunitas LGBTQ terus menguat dalam lima tahun terakhir. Meski saat ini bukanlah hal ilegal, pemerintah dan golongan konservatif terus menyasar kelompok LGBTQ. Deretan kasus yang muncul dalam kurun dasawarsa terakhir adalah potret kelam bahwa negara sebetulnya menjadi sponsor di balik bermacam diskriminasi yang menyasar kelompok LGBTQ. Sayangnya, tak banyak yang bisa dilakukan oleh komunitas LGBTQ selain memperkuat solidaritas kelompoknya.

Baru-baru ini Wakil Gubernur Sumatera Barat Nasrul Abit tengah menyiapkan langkah untuk memberantas LGBTQ yang disebutnya sebagai “seks menyimpang” dan penyebar HIV/AIDS. Sementara itu pekan lalu kepolisian di Kabupaten Aceh Utara, menggelar razia waria di beberapa sudut kota. Kapolsek Aceh Utara bahkan membuat sebuah program ‘Bikin Macho Waria, "sebagai cara untuk ‘mengembalikan mereka ke jalan yang benar." Sebelumnya, komunitas trans di Makassar, Sulawesi Selatan juga masih kerap mengalami diskriminasi dari pemerintah, hingga puncaknya berbagai macam kegiatan komunitas mereka kerap dibubarkan secara sepihak oleh kepolisian.

Direktur eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan langkah pemblokiran situs dan aplikasi LGBTQ tersebut menunjukkan bahwa pemerintah mengidap homofobia akut. Ia mengatakan bahwa secara prosedural langkah pemblokiran tersebut menyalahi aturan karena seharusnya diputuskan oleh pengadilan.

Iklan

“Isunya masih sama bahwa kelompok minoritas selalu menjadi kambing hitam,” ujar Usman saat dihubungi VICE Indonesia. “Ketika kelompok masyarakat memiliki berbagai masalah sosial, amat mudah menunjuk kelompok minoritas yang dianggap menyimpang sebagai penyebab utamanya.”

Usman menambahkan keberhasilan kelompok tertentu dalam memainkan isu sensitif SARA dalam pemilihan presiden 2014 lalu, membuat elit politik terpacu mereproduksi narasi serupa di panggung politik praktis. Selain isu SARA, menurut Usman, sekarang giliran kelompok LGBTQ disasar karena mudah jadi kambing hitam berbagai masalah sosial negara ini.

“Para politisi tentu mudah mengeksploitasi minoritas. Ini demi memobilisasi dukungan politik dalam pilpres mendatang. Isu agama sudah dimainkan, sekarang isu LGBTQ digunakan,” kata Usman. “Ini cuma retorika lama sebenarnya, tentang ‘kita melawan mereka’.”

“Ini politik demonisasi,” tambah Usman. “Menggunakan sentimen kebencian dan ketakutan untuk memecah kohesi sosial. Yang harus diwaspadai adalah pemanfaatan gelombang konservatisme dan intoleransi oleh politisi.”

Apa yang disampaikan Usman memang tak berlebihan. DPR saat ini masih terus membahas revisi KUHP yang berpotensi semakin menekan hak dan kebebasan komunitas LGBTQ. Dari 10 fraksi partai yang ada di panitia kerja revisi,tujuh partai di antaranya setuju untuk mengkriminalisasi LGBTQ.

Aktivis LGBTQ dari Suara Kita Hartoyo tidak terkejut dengan langkah pemerintah tersebut. Ia justru menyayangkan bahwa pemerintah masih bersikap kekanak-kanakan tanpa melihat permasalahan secara menyeluruh. Menurutnya langkah pemerintah adalah sia-sia belaka karena tidak akan berpengaruh banyak dalam komunitas LGBTQ. Ia juga menambahkan bahwa komunitas LGBTQ bisa berinteraksi dengan cara lain, selain mengandalkan aplikasi media sosial.

“Ini adalah konsekuensi demokrasi di era keterbukaan,” ujar Hartoyo kepada VICE Indonesia. “Jika ada resistensi dari masyarakat dan pemerintah itu wajar. Ini adalah proses yang harus kami lalui. Kami tidak akan menjadi paranoid. Kami yakin pengetahuan rasional akan menang pada akhirnya.”