Petugas kremasi membakar tumpukan kayu kremasi
Ashu Rai melakukan persiapan kremasi di krematorium Nigambodh Ghat di New Delhi, India. Semua foto oleh Suprakash Majumdar.
COVID-19

Ngobrol dengan Petugas Kremasi yang Bakar Lusinan Jenazah Covid Tiap Hari di India

Layanan krematorium India kewalahan menangani jasad pasien yang terus berdatangan akibat 'tsunami' Covid-19 jilid II di Negeri Sungai Gangga sebulan terakhir.
SM
New Delhi, IN
SM
New Delhi, IN

Di pagi hari ketika India melaporkan kasus Covid-19 tertinggi, Ashu Rai sedang sibuk menunjukkan tempat pembayaran kremasi kepada Himanshu — bocah 13 tahun yang kakaknya meninggal tertular virus. Setelah itu, Rai mondar-mandir mencari tempat untuk mengadakan kremasi.

Sudah tidak ada tempat kosong yang tersisa, sehingga dia menyusun kayu di sela-sela tumpukan kayu yang mengobarkan api. 

Pemakaman dan krematorium India sudah kewalahan menangani jasad pasien Covid-19 yang membludak. Rai bekerja nonstop di krematorium terbesar New Delhi, Nigambodh Ghat.

Iklan

“Pekerjaan kami meningkat drastis seminggu terakhir,” ungkapnya kepada VICE World News. “Saya dulu cuma mengkremasi tiga sampai lima jenazah setiap harinya, tapi sejak gelombang kedua, saya bisa mengkremasi lebih dari 15 jasad dalam sehari.”

Lelaki 20 tahun menyulut sebatang rokok sambil menyaksikan lusinan jenazah yang dibakar di tepi sungai Yamuna, New Delhi.

Tumpukan kayu yang mengobarkan api di Nigambodh Ghat, krematorium terbesar di New Delhi, pada 22 April 2021.

Tumpukan kayu yang mengobarkan api di Nigambodh Ghat, krematorium terbesar di New Delhi, pada 22 April 2021.

Negara berpenduduk hampir 1,4 miliar jiwa ini telah memecahkan rekor kasus harian tertinggi di dunia sejak 22 April. Lebih dari 320.000 orang dinyatakan positif Covid-19 pada Minggu, menjadikan total kasus di India menembus 17,6 juta.

Jumlahnya sangat mencengangkan, begitu juga dengan jumlah jenazah pasien Covid-19 yang dikremasi dan dikubur.

Situs pemantau kasus Covid-19 mencatat 2.771 orang meninggal pada Senin, menjadikan total kematian sebanyak 197.894 kasus. Ibu kota India, New Delhi, melaporkan lebih dari 1.795 kematian pekan ini. Pakar mengatakan, jumlah kematian sebenarnya melebihi angka yang dilaporkan.

Meski bekerja siang malam membakar jasad pasien Covid-19, petugas krematorium yang mayoritas orang Dalit menerima upah yang tidak seberapa. Berada di bagian terbawah sistem kasta, orang Dalit menjadi yang paling tidak dianggap di India.

Petugas krematorium seperti Rai bekerja 12 jam penuh, tapi hanya digaji Rs 10.000 (Rp1,9 juta) setiap bulan. Tak seperti keluarga yang berduka, mereka jarang memakai APD.

Iklan

“Kami sudah dikasih APD, tapi tidak dipakai. Kami berhadapan dengan tungku api, jadi akan sulit bernapas jika memakainya,” tutur Rai.

Rai mengaku tetap menjalankan protokol kesehatan setibanya rumah. “Saya langsung lepas baju dan mandi sebelum bertemu keluarga.” 

Tumpukan kayu yang membara di sepanjang tepi sungai Yamuna dekat krematorium Nigambodh Ghat pada 22 April 2021.

Tumpukan kayu yang membara di sepanjang tepi sungai Yamuna dekat krematorium Nigambodh Ghat pada 22 April 2021.

Ayah dan saudara Rai juga mencari rezeki dengan membakar mayat. “Saya baru 16 tahun ketika mengikuti jejak ayah,” terangnya. “Saya jadi tidak takut mati sejak bekerja di sini. Kematian adalah bagian dari hidup, dan kita tidak perlu takut menghadapinya. Karena itu jugalah saya tidak takut corona.”

Dipanshu Rathore, aktivis HAM dari Asia Dalit Rights Forum, mengungkapkan, banyak anak yang mengikuti jejak ayahnya jadi petugas kremasi. Alasannya karena peluang kerja untuk komunitas Dalit sangat terbatas.

Keluarga pasien membakar tumpukan kayu.

Keluarga pasien membakar tumpukan kayu.

“Siapa yang akan melakukan semua pekerjaan kotor dan berbahaya? Tentu saja orang Dalit. Orang lain tidak mau mengotorkan tangannya, jadi mereka menyuruh orang Dalit untuk melakukannya,” kata Rathore kepada VICE World News.

Setelah selesai menyusun kayu untuk mengkremasi kakak Himanshu, dia mulai membacakan doa atau mantra Hindu dan meminta bantuan keluarga mengangkat jasadnya ke atas tumpukan kayu.

Bersimbah peluh, Rai meletakkan kayu terakhir di atas tubuh. Dia lalu membungkus kepala dan wajahnya dengan selembar kain.

“Kain ini punya dua fungsi. Pertama, untuk menyerap keringat. Yang kedua, orang-orang akan mengira saya pendeta Brahmana jika menggantungnya di pundak,” ucapnya, menertawakan ironi itu.

Iklan

Kaum Brahmana memiliki kedudukan paling tinggi di India.

Ashu Rai melakukan persiapan kremasi di krematorium Nigambodh Ghat di New Delhi.

Ashu Rai melakukan persiapan kremasi di krematorium Nigambodh Ghat di New Delhi.

Krisis Covid-19 menciptakan ruang unik bagi kremator Dalit India. Di situasi normal, pembacaan doa dalam acara pemakaman pasti dilakukan oleh Brahmana.

“Hampir semua orang menanyakan kasta saya. Mereka ingin ritualnya dipimpin Brahmana, bukan orang Dalit. Tapi masalahnya tidak ada Brahmana [di krematorium,” ujarnya. “Hanya ada kami.”

Rathore menjelaskan, petugas kremasi kerap dipandang sebelah mata oleh kaum Dalit lainnya. “Mereka tidak mau berjabat tangan atau memberikan air kepada kremator karena takut kena sial.”

Bezwada Wilson merupakan pendiri Safai Karamchari Abhiyan, organisasi yang memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan petugas kebersihan. “Tidak ada yang tahu seberapa banyak petugas kremasi yang positif tertular penyakit. Tak ada yang tahu berapa banyak yang meninggal karenanya. Pemerintah memperlakukan petugas kremasi dan kebersihan layaknya mereka bukan manusia.”

Tanggung jawab petugas kremasi tak hanya sebatas mengkremasi jenazah. Beberapa juga menghibur anggota keluarga yang berduka. 

Ashu Rai membantu bocah 13 tahun Himanshu membakar tumpukan kayu kremasi.

Ashu Rai membantu bocah 13 tahun Himanshu membakar tumpukan kayu kremasi.

Himanshu tampak ketakutan sepanjang ritual kremasi kakaknya. Rai menggandeng tangan anak lelaki itu, sembari membisikkan kata-kata menenangkan kepadanya.

“Saya memberitahunya jiwa kakak yang terjebak dalam tubuh harus dibebaskan. Jika tubuhnya tidak dibakar, mendiang kakak takkan bisa bertemu tuhan dan akan terjebak di sini selamanya,” Rai menuturkan.

Setelah ritualnya selesai, dia mengajak anggota keluarga untuk mengisi berkas-berkas lain. Dia paham mereka membutuhkan bimbingan selama proses kremasi. “Banyak yang buta huruf dan kesulitan mengisi formulir. Dalam kasus seperti itu, saya yang akan mengisi formulir dan menyelesaikan prosedur kremasi yang sulit,” lanjutnya.

Rai menyalakan rokok di tepi sungai, niatnya ingin istirahat. Tapi tak lama kemudian, dia diminta untuk kembali ke krematorium secepatnya. Ada delapan jasad baru yang harus dibakar.

Follow Suprakash Majumdar di Twitter.