Orang Narsis

Kita Gampang Apes Kalau Kelewat Narsis

Orang narsis bukan cuma dibenci, tapi juga berisiko terbongkar kebohongannya.
Kolase patung selfie
Kolase: VICE / Foto: Rawpixel.com via Adobestock  

Perkembangan media sosial yang begitu pesat telah mendorong para penggunanya berperilaku narsis. Mereka menjadikannya sarana untuk flexing, supaya jadi yang paling eksis.

Eddie Brummelman, Lektor Kepala Prodi Psikologi Perkembangan di Universitas Amsterdam, menulis dalam buku barunya, Kagumi Aku! Cara Bertahan Hidup di Dunia Narsistik, kehidupan manusia modern cenderung semakin individualis. 

Iklan

“Sekarang, kita mulai mengutamakan diri sendiri dibandingkan orang lain,” Brummelman memberi tahu VICE. “Sangat penting bagi kita untuk mengenal diri sendiri.”

Hasil riset menemukan kecenderungan perilaku narsistik pada populasi Amerika Serikat mengalami peningkatan sepanjang dekade 1970-an hingga 2008. Fenomena ini terus menurun sejak mencapai puncak pada 2009. Lalu, menurut studi tahun 2016, tingkat narsisme pasca krisis ekonomi di AS sebanding dengan sampel yang diambil antara 1980-an dan 1990-an. Itu artinya paham individualisme kian marak seiring pertumbuhan ekonomi.

“Narsisisme bukan bawaan dari lahir. Sifat itu bisa terbentuk dari didikan orang tua, pengaruh lingkungan pertemanan dan cara kamu bermasyarakat,” terang Brummelman. “Pola asuh dan pendidikan yang kamu terima di sekolah, misalnya, sangat dipengaruhi oleh kepercayaan budaya yang berkembang pada saat itu.”

Orang narsis sering kali digambarkan sebagai sosok yang atraktif dan terampil dalam budaya populer, sehingga kemudian menimbulkan kesan kita mesti narsis kalau mau sukses. Contohnya kayak Miranda Priestly dari The Devil Wears Prada.

Kamu, saya, dan seluruh umat manusia di muka bumi sejatinya memiliki jiwa narsis. Namun, seberapa parah tingkatannya dapat dilihat dari cara seseorang berperilaku. Pengidap Gangguan Kepribadian Narsistik (NPD) biasanya egois dan merasa paling segala-galanya. Kebanyakan orang tidak tahan berhubungan dengan mereka karena terlalu mementingkan diri sendiri.

Iklan

“Orang narsis merasa paling hebat, dan tidak peduli pada orang lain. Mereka cuma butuh orang lain demi kepentingan pribadi,” Brummelman menjelaskan. “Orang narsis suka merendahkan sesamanya, tapi sebetulnya masih butuh pengakuan mereka.”

Orang narsis kerap menciptakan realitas sesuai keinginannya sendiri, dan mereka percaya itu benar-benar terjadi. Mereka ingin selalu menjadi pusat perhatian pada saat berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. “Jika tidak diperhatikan, mereka akan mengenyahkan siapa pun yang mendapat perhatian tersebut,” lanjut Brummelman. Itulah sebabnya orang narsis bersikap agresif dan suka meremehkan.

Sifat mereka tidak hanya merusak kehidupan sosial, tetapi juga dapat berdampak buruk bagi diri sendiri. “Orang-orang yang mempunyai kecenderungan narsis yang kuat, seperti pengidap NPD, sering mengalami gangguan kecemasan atau depresi. Mereka juga berisiko menyalahgunakan zat terlarang,” kata Brummelman. Seperti yang terungkap pada penelitian tahun 2008, 40 persen pengidap NPD mengalami ketergantungan, 28,6 persen menderita gangguan suasana hati, dan 40 persennya mengalami gangguan kecemasan – angka ini jauh lebih tinggi daripada populasi umum.

Brummelman mengakui sifat narsis bisa mendongkrak kesuksesan orang. “Wawancara kerja lancar karena mereka pandai bicara. Mereka juga lebih cepat naik jabatan, meski belum berpengalaman,” tuturnya. Ia menemukan pelajar dengan kecenderungan narsistik sering diminta menjadi ketua kelas, padahal mereka tidak punya bakat memimpin.

Iklan

Persaingan yang semakin ketat memaksa kita berpura-pura menguasai sesuatu kalau ingin diakui. Makanya, beberapa memilih jadi narsis sekalian agar tidak kalah saing. Hanya saja kenikmatan yang mereka rasakan kerap cuma sementara. “Narsisisme dapat membantu seseorang mencapai posisi yang diinginkan, tetapi tidak menjamin kesuksesan jangka panjang,” ujar Brummelman.

Orang narsis juga dijauhi gara-gara sikap mereka yang menyebalkan. “[Di dunia kerja] mereka kurang jujur, mendorong kebiasaan berbohong pada karyawan, menguntungkan diri sendiri, dan kerap bertindak impulsif,” lanjutnya.

Mereka suka cari masalah, tapi tidak mau minta maaf. “Orang narsis tidak mau mengakui kesalahan mereka,” kata Brummelman. Akibatnya, satu demi satu orang akan meninggalkan mereka karena sudah muak berurusan dengannya. Dan ketika mereka terbukti tidak kompeten di bidangnya, hanya tunggu waktu sampai orang narsis kehilangan segalanya.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Netherlands.