Legalisasi Ganja

Koalisi Sipil Minta Pemerintah Buka Alasan Tolak Ganja Medis, BNN-Polri Menolak

Polri mengklaim punya penelitian kalau kandungan ganja Indonesia tak cocok jadi obat. Sudah tiga bulan permintaan LSM membuka penelitian yang dimaksud tak ditanggapi.
Koalisi LSM Minta Pemerintah Buka Alasan Tolak Ganja Medis, BNN-Polri Menolak
Ilustrasi mariyuana medis oleh Christina Winter via Unsplash

Badan Narkotika Nasional (BNN), Polri, dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) disorot karena sikap mereka yang antipati pada legalisasi ganja medis. Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi Narkotika untuk Kesehatan pada 7 Juli 2020 mendesak pemerintah membuka data penelitian yang polisi sebut-sebut jadi landasan penolakan legalisasi ganja untuk kepentingan kesehatan di Indonesia tidak kunjung ditanggapi.

Aliansi masyarakat yang terdiri dari LBH Masyarakat, ICJR, Rumah Cemara, LGN, IJRS, EJA, dan Yakeba memperbarui tuntutan mereka. Koalisi meningkatkan urgensi pentingnya pembukaan data kepada publik setelah melapor ke Komisi Informasi Pusat (KIP), tentang nihilnya respons pemerintah terhadap permohonan. Didaftarkan pada Senin (28/9), KIP resmi jadi wasit sengketa ini.

Iklan

“Kondisi demikian [tidak menanggapi permohonan pembukaan data] semakin memperkuat sinyalemen bahwa sikap pemerintah yang menolak penggunaan ganja untuk kepentingan kesehatan pada Juni 2020 tidak berlandaskan ilmu pengetahuan dan penelitian yang jelas. Padahal, pemerintah sebelumnya mengklaim bahwa berdasarkan hasil penelitian bahwa ganja di Indonesia memiliki kandungan THC yang tinggi sehingga pemerintah menolak penggunaan ganja untuk alasan kesehatan,” dikutip dari koalisi dalam keterangan tertulisnya yang didapat VICE, hari ini (30/9).

Koalisi menjelaskan, keputusan ini diambil sebab publik membutuhkan dasar informasi klaim pemerintah mengapa menolak pemanfaatan ganja untuk kesehatan. Pembukaan informasi dianggap koalisi sebagai wujud pertanggungjawaban pemerintah dalam memenuhi, melindungi, dan menghormati hak atas pelayanan kesehatan setiap orang yang diatur dalam UUD 1945.

Sengketa diawali saat Polri secara resmi menolak rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk melegalkan ganja medis, 27 Juni silam. Direktur Tipid Narkoba Bareskrim Polri Krisno Halomoan Siregar mengatakan, Polri menilai legalisasi ganja medis akan menimbulkan permasalahan di Indonesia.

Penolakan Polri dilandasi beberapa alasan. Pertama, ganja yang tumbuh di Indonesia dianggap berbeda dengan ganja di Eropa, Amerika, dan negara lain.

“Perbedaannya dari hasil penelitian, ganja di Indonesia memiliki kandungan THC tinggi [18 persen] dan CBD rendah [1 persen]. Kandungan THC itu sangat berbahaya bagi kesehatan karena bersifat proaktif,” kata Krisno, dikutip Tirto. Penelitian kadar THC dan CBD inilah yang terus dimintai untuk dibuka oleh Koalisi Masyarakat Sipil.

Iklan

Hasil penelitian ini lah yang terus diminta keterbukaannya oleh Koalisi Masyarakat SIpil. Penelitian ini dilakukan oleh siapa, kapan, dan dari mana?

Kedua senyawa ini adalah kandungan ganja yang paling umum diketahui. THC atau tetrahidrokanabinol adalah senyawa kanabinoid aktif yang memberi efek pada kerja syaraf. Senyawa ini hanya bisa ditemukan dalam tanaman ganja, membuat ganja berkhasiat meredakan nyeri. Jika ingat kasus Fidelis Arie Sudarwoto yang dipenjara karena menanam ganja demi mengobati istri, TCH-lah yang diekstrak dari tanaman ganja tersebut. Dalam UU Narkotika, THC dimasukkan dalam narkotika golongan I yang dilarang dipakai untuk kepentingan kesehatan (Pasal 8 ayat 1).

Sedangkan CBD atau kanabinol adalah senyawa ganja lain yang banyak digunakan dalam ganja medis dan tidak menyebabkan efek mabuk. Di Amerika Serikat, FDA memperbolehkan kanabinol digunakan dalam obat epilepsi. Meski UU Narkotika Indonesia tidak memasukkan kanabinol dalam kelompok narkotika, 2018 lalu pernah terjadi dua orang pembeli minyak biji ganja mengandung kanabinol dari Jerman diminta BNN untuk wajib lapor.

Kedua, ganja untuk pengobatan dianggap polisi berasal dari budidaya rekayasa genetik yang punya kandungan CBD tinggi dan THC rendah. Sementara, menurut Krisno, kandungan ganja lokal bukan jenis yang tepat untuk pengobatan. Belum jelas juga klaim ini dilandasi data dari mana.

Ketiga, Indonesia masih melarang penyalahgunaan ganja dalam UU No. 35/2009 yang memasukkan ganja sebagai Narkotika Golongan 1. Keempat, data Dittipid Narkoba dan BNN menunjukkan penyalahgunaan ganja masih marak di masyarakat. Polisi khawatir kalau ganja medis dilegalkan, penyalahgunaan akan semakin marak.

“Koalisi meminta agar bukti penelitian yang melandasi klaim tersebut dapat dibuka kepada publik, meskipun Koalisi meyakini bahwa selama ini belum ada satu pun penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia terkait manfaat kesehatan tanaman ganja,” kata pengacara publik LBH Masyarakat sekaligus wakil koalisi, Ma’ruf, dikutip Media Indonesia

Legalisasi ganja medis di Indonesia terus menemui jalan buntu. Terakhir, Agustus lalu Menteri Syahrul Yasin Limpo sempat memasukkan ganja dalam daftar tanaman obat binaan Kementerian Pertanian. Namun, keputusan itu langsung dibatalkan begitu Polri dan BNN menyerang Kementan bermodal UU Narkotika.

Menurut situs Hukum Online, apabila sengketa informasi yang dibawa ke KIP hasilnya tidak memuaskan salah satu pihak, gugatan bisa dilanjutkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Apabila putusan PTUN kembali tidak memuaskan, pemohon bisa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.