The VICE Guide to Right Now

Ide Pemerintah Pangkas Libur Akhir Tahun Sambil Pertahankan Pilkada Memicu Pro-Kontra

"Kayak gas pol rem blong gitu kalau soal Pilkada. Jadi cari-cari area lain yang bisa diutak-atik biar kelihatan ada usaha menangani pandemi."
Presiden Jokowi minta libur akhir tahun 2020 dikurangi cegah penularan Covid-19
Foto ilustrasi penundaan penerbangan via Getty Images

Pandemi mengubah banyak tatanan kehidupan. Contohnya yang dialami Sisca. Sebelum Covid-19 merebak, ia mulai mempersiapkan kebutuhan Natal sejak akhir November. Bukan hanya beli tiket pulang dari Jakarta ke Semarang, tetapi juga berbelanja kado untuk diberikan pada tiga keponakannya. Tahun ini, tradisi itu terpaksa dipertimbangkan ulang.

“Mungkin stay di Jakarta karena takut mau pulang. Sedih sih karena hampir setahun belum ketemu keluarga, tapi gimana lagi?” ujar perempuan yang bekerja di sebuah perusahaan e-commerce tersebut pada VICE.

Iklan

Namun, dia jadi geram saat mendengar pemerintah berwacana memangkas jatah libur akhir tahun sekaligus pengganti cuti Hari Raya Idul Fitri, dengan alasan pandemi. “Maksud pemerintah, gue udah berusaha enggak mudik buat ketemu keluarga, terus gue harus tetap kerja? Kenapa pada suka ngaco sih kalau bikin usulan?” ujarnya.

Menurut pemerintah, penyebab naiknya jumlah kasus Covid-19 di dalam negeri adalah libur panjang pada Oktober lalu. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy mengatakan Presiden Joko Widodo meminta agar masalah libur akhir tahun ditinjau kembali demi menekan angka penyebaran virus.

“Insya Allah Kamis dibahas di tingkat menteri,” kata akademisi mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tersebut. Sebelumnya, pemerintah mengumumkan menggeser cuti bersama saat Hari Raya Idul Fitri ke akhir tahun. 

Kala itu, tambahan libur diputuskan akan berlangsung mulai 28-31 Desember. Pemerintah sempat optimis bahwa grafik Covid-19 bisa saja cepat landai sehingga masyarakat tidak perlu menunggu sampai pengujung 2020. 

“Presiden beri catatan nanti pada akhir Juni 2020 akan diadakan pengkajian ulang kalau memang Covid-19 sudah turun, sudah tidak lagi mengancam, sangat dimungkinkan untuk memajukan cuti bersama berhimpitan dengan Idul Adha, yaitu 31 Juli 2020. Bisa sebelum atau sesudah itu,” tutur Muhadjir saat itu.

Optimisme menguap begitu saja sebab nyatanya Indonesia mencatatkan peningkatan kasus, bahkan kini menjadi nomor satu dalam statistik penyebaran Covid-19 di Asia Tenggara. Tidak ada tanda-tanda penurunan penularan signifikan. Rahmat, yang mengidentifikasi diri sebagai buruh media, merasa pemerintah pusat patut disalahkan atas situasi stagnan ini.

Iklan

“Kita begini karena di awal pejabat-pejabat banyak yang meremehkan Covid,” kata laki-laki yang sejak permulaan pandemi bekerja jarak jauh dari rumahnya di Banyuwangi tersebut. “Dimulai dari guyonan yang enggak pada tempatnya seperti makan nasi kucing, jadi masyarakat juga ikut meremehkan.”

Setelah mengamati selama berbulan-bulan, ia berkesimpulan pemerintah mempunyai standar ganda kala menangani pandemi. Rahmat mengkritik bagaimana pemerintah, lewat Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, berkukuh mempromosikan pariwisata saat angka penularan kasus masih sangat tinggi. 

Menteri berdalih tujuannya untuk kepentingan ekonomi. Faktanya, Indonesia tetap resesi. “Rasanya memang benar kalau kita ini cuma angka,” keluh Rahmat.

Kesan pemerintah tebang pilih melaksanakan kebijakan yang berkorelasi dengan Covid-19 muncul dari rencan penyelenggaraan Pilkada pada 9 Desember. Banyak orang menyuarakan kekhawatiran memaksakan digelarnya kontestasi politik bisa menambah klaster penularan baru.

Data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sepanjang Oktober menunjukkan dalam 20 hari pertama masa kampanye, ada lebih dari 25.000 pertemuan tatap muka yang dilakukan oleh para peserta Pilkada. Selama kurun waktu yang sama, hanya ada 167 pertemuan yang terjadi secara daring.

Salah satu yang bandel adalah anak sulung Presiden Jokowi. Pada 4 September, pasangan Gibran Rakabuming-Teguh Prakosa mendaftar sebagai calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Solo ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pasangan ini tidak mampu mendisiplinkan para pendukungnya agar tak hadir ke lokasi dan kemudian menciptakan kerumunan.

Iklan

Berdasarkan pengamatan CNN Indonesia, lebih dari 1.000 pendukung turun ke jalan untuk menjumpai keduanya. Mereka abai terhadap kewajiban memakai masker dan menjaga jarak. Namun, yang disampaikan oleh Bawaslu hanya teguran, sedangkan kepolisian mengklaim aparat tak berwenang untuk menindak karena konteksnya adalah Pilkada.

KPU mengungkap sampai saat ini ada 70 calon kepala daerah yang positif Covid-19. Tiga diantaranya meninggal. Data ini rupanya tak membuat pemerintah berpikir untuk melakukan peninjauan ulang. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD beralasan posisi kepala daerah idealnya tidak sampai dipegang oleh pelaksana tugas, sehingga Pilkada wajib jalan terus.

Sikap pemerintah yang mengedepankan politik ini membuat Rio Salomo, karyawan swasta asal Medan, kesal. Dia sudah membeli tiket pesawat dari Palembang ke kota kelahirannya khusus untuk merayakan Natal dan Tahun Baru bersama keluarga. Kemungkinan liburan akhir tahun yang dipangkas adalah kabar buruk yang tak ingin dia dengar.

“Gue termasuk orang yang sangat mematuhi semua yang diminta pemerintah. Lebaran enggak mudik, ya gue enggak mudik. Ada tanggal merah apa pun dianjurkan di rumah, ya gue di rumah aja, dengan harapan akhir tahun semua kondisi sudah mendingan,” ujarnya. “Buat gue libur akhir tahun ini jadi momen yang sangat ditunggu-tunggu.” 

VICE melakukan survei sederhana di media sosial secara acak untuk mencari tahu posisi responden terkait dualisme sikap pemerintah. Sebanyak 38 persen responden mengaku tidak masalah jika presiden menginstruksikan agar libur akhir tahun dipersingkat, sementara sisanya menolak. 

Iklan
Untitled design - 2020-11-24T193546.513.png

Namun, saat ditanya apa mereka juga setuju kalau Pilkada tetap berjalan, 94 persen responden keberatan. Pemerintah dinilai menyabotase tujuan pemangkasan liburan dan pencegahan Covid-19, dengan tidak menunda atau membatalkan Pilkada.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian tidak menampik potensi kerumunan yang terjadi ketika proses pemungutan suara. Meski demikian, belum jelas juga apa strategi pemerintah untuk mencegahnya. 

Sikap tidak konsisten oleh pemerintah itu yang diyakini Karl, seorang mahasiswa asal Jambi yang tinggal di Cikarang, membingungkan masyarakat. Dia mengaku tidak berencana rekreasi akhir tahun, tetapi keberatan jika negara memangkas jatah libur akhir tahun dan pada saat bersamaan melangsungkan agenda Pilkada.

“Awalnya aku menolak mengakui itu, tapi semakin lama akhirnya aku dibuat muak sama pemerintah,” tuturnya. “Jadi, iya, aku mengakui ada standar ganda dan ketidaktegasan dari pemerintah pusat maupun daerah… Sampai sekarang aku enggak ngerti maunya apa. Mau terlihat tegas, tapi [ternyata] enggak tegas gitu lho.”

Bagi Sisca, keadaan ini sangat mengecewakan. “Kayak gas pol rem blong gitu kalau soal Pilkada. Ya, jadi cari-cari area lain yang bisa diutak-atik biar kelihatan ada usaha buat menangani pandemi,” imbuhnya. “Nah, jangan salahin sih kalau banyak yang protes [soal rencana pemangkasan libur]. Apa pun situasinya, kok kita-kita lagi yang jadi korban.”

Sementara Rahmat menyarankan masyarakat agar tak terlalu berharap pemerintah mengubah strategi menangani pandemi. Karenanya, dia berharap orang-orang menyetop rencana bepergian saat akhir tahun. “Daripada senang-senang sebentar terus nunggu bom waktu meledak, mending menahan diri. Atau cari hiburan lain. Kasihan tenaga medis soalnya,” kata dia.

Hidup di Indonesia memang penuh lika-liku dan tidak direkomendasikan bagi yang alergi terhadap tantangan. Untuk yang sudah terlanjur tidak bisa ke mana-mana, enjoy the ride.