Vaksin COVID-19

Koalisi LSM Somasi Presiden dan Menkes agar Buka Data Penerima Vaksin

Somasi ini menuntut data penerima vaksin dibuka. Ditengarai banyak menteri dan pejabat mendapat vaksin booster yang seharusnya diprioritaskan buat nakes.
Koalisi Sipil Somasi Presiden Joko Widodo dan Menkes, Desak Buka Data Penerima Vaksin
Presiden Joko Widodo menerima vaksin COVID-19 perdana pada 13 Januari 2021. Foto oleh BPMI Setpres/Laily Rachev

Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas 79 organisasi sipil baru saja mengirim somasi terbuka kepada Presiden Joko Widodo dan Menkes Budi Gunadi Sadikin untuk mempublikasi data penerima vaksin di Indoesia. Tuntutan ini dipicu oleh unggahan video YouTube Sekretariat Presiden yang tak sengaja menyiarkan obrolan Presiden Jokowi dan sejumlah pejabat bahwa mereka sudah menerima vaksin booster atau vaksin dosis ketiga ketika aturan nasional mengatur kuotanya hanya diperuntukkan kepada pekerja kesehatan.

Iklan

Obrolan itu terjadi antara Presiden Jokowi, Menhan Prabowo Subianto, Panglima TNI Hadi Tjahjanto, Kapolri Listyo Sigit Prabowo, Gubernur Kaltim Isran Noor, dan Wali Kota Samarinda Andi Harun saat rombongan Presiden berkunjung ke Kaltim. Dalam sesi berakrab-akrab ria yang tidak dimaksudkan untuk disiarkan itu, Hadi dan Isran mengaku kepada Presiden sudah mendapat vaksin dosis ketiga. Isran menyebut ia disuntik vaksin Moderna, sementara Jokowi bukannya mengkritik, malah terang-terangan mengaku sengaja pilih-pilih vaksin. Jokowi mengatakan, ia sedang menunggu vaksin Pfizer datang untuk melakukan suntikan ketiga.

Pengakuan tersebut disorot Koalisi karena bertentangan dengan Surat Edaran Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes No. HK.02.01/1/1919/2021. Edaran itu mengatur vaksin ketiga hanya diberikan untuk nakes dan pekerja di fasilitas layanan kesehatan. 

“Kami memberikan kesempatan kepada Presiden dan Menkes selama tujuh hari untuk membuka data daftar penerima vaksin ketiga/booster, dan membuka data jumlah dosis vaksin yang tersedia dan akan tersedia, pemegang impor vaksin tersebut, dan rencana penyalurannya,” tulis koalisi dalam rilis pers yang diterima VICE.

Selain pelanggaran itu, desakan transparansi data vaksinasi nasional juga dipicu oleh capaian vaksinasi yang masih di bawah target. Per 30 Agustus, baru 62 juta warga Indonesia menerima suntikan dosis pertama dan 35 juta orang rampung dua dosis. Artinya, program vaksinasi baru mencapai 16 persen dari 200 juta target pemerintah.

Iklan

Koalisi melaporkan, banyak program vaksinasi dihentikan di berbagai daerah karena kehabisan stok, seperti di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Sumatera Selatan, dan Kepulauan Riau. 

Inisiator Gerakan LaporCovid-19 Irma Hidayana menjelaskan, sejak vaksinasi Covid-19 dimulai, para pejabat sudah menunjukkan gelagat mementingkan dirinya sendiri sehingga terkuaknya fakta pejabat menerima vaksin booster tidak membuatnya kaget.

“Pandemi ini menunjukkan wajah aslinya para pejabat kita, kehadiran vaksin sejak awal menunjukkan itu. Padahal, kalau masa krisis ini ada aturannya, [vaksinasi dilakukan] dari yang paling rentan terinfeksi dulu, baru ke mereka yang tidak rentan,” kata Irma di kanal YouTube Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar.

“[Dari data relawan LaporCovid-19], lebih dari 1.900 nakes meninggal dan kebanyakan di antara mereka sudah divaksin dua kali. [Data ini] harusnya jadi petunjuk [untuk] menuntun mereka [para pejabat]. Menjadi penting bagi nakes untuk dapat booster vaksin,“ tambah Irma.

Perihal siapa yang dapat vaksin telah jadi masalah di banyak tempat. Harian Kompas mencatat, terjadi penimbunan vaksin di berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Barat yang khusus diperuntukkan bagi TNI, Polri, partai politik, organisasi kemasyarakatan, dan BUMN, padahal banyak puskesmas kekurangan stok vaksin.

Iklan

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo turut mempertanyakan kondisi ini. Dia menyebut, empat daerah di Jateng, meliputi Cilacap, Wonosobo, Magelang, dan Pekalongan, belum mendapat stok vaksin lanjutan dari pemerintah pusat.

“Saya enggak ngerti nih, kepentingan pusat kayaknya terlalu jauhlah kalau membagi sampai tingkat detail itu. Ormas ini sekian, terus kemudian titipan DPR sekian, itu merepotkan kita di bawah karena yang di bawah ini akhirnya mereka [jatahnya] ditarik,” kata Ganjar pada keterangan tertulis, Senin (30/8) kemarin.

Desakan transparansi distribusi vaksin didukung epidemiolog Griffith University Dicky Budiman. “Meskipun Kementerian Kesehatan sudah membuat dashboard vaksinasi pada level daerah, tapi itu belum mewakili apa yang ingin diketahui publik. Bukan cuma booster, vaksinasi lansia pun ada kendalanya, terjadi kekurangan di puskesmas dan rumah sakit karena alokasi [vaksin] ke tempat lain tak terkendali dan tak terawasi dengan baik,” kata Dicky saat dihubungi VICE. “Ini menunjukkan ada masalah dalam distribusi dan manajemen prioritas dari program vaksinasi dalam memprioritaskan kelompok rawan.”

Dicky menyebut transparansi adalah kunci menjawab ketidakpuasan dan ketidakpercayaan publik, sekaligus menghindarkan korban sakit dan korban jiwa yang lebih banyak. “Strategi vaksinasi yang benar adalah memprioritaskan kesehatan publik [kelompok rentan terlebih dulu]. Kalau keluar dari target kesehatan publik, yang terjadi adalah vaksinasi terkesan banyak, tapi kematian dan kesakitannya [kasus positif] tetap banyak,” tutup Dicky.