Bagaimana Rasanya Hidup Sebagai Seorang Kleptomania

FYI.

This story is over 5 years old.

Kesehatan Mental

Bagaimana Rasanya Hidup Sebagai Seorang Kleptomania

Sampai saat ini, aku masih kaget mendapati reaksi keras orang terhadap kebiasaanku mencuri. Sayangnya, begitulah dinamika dari penyakit mental saya—membuat saya berani mengambil risiko. Aku malah tak pernah kepikiran bakal tertangkap.

Aku sedang berada di Vatikan, tengah mendongak mengagumi lukisan tentang peristiwa penyaliban Yesus. Diam-diam, aku juga menyelipkan sebuah pulpen berlapis emas ke dalam saku bajuku dan membiarkan benda seharga 30 euro (sekitar Rp500 ribu) itu jatuh ke dasar jaket yang kukenakan. Dalam sekejap, pulpen itu bersarang di kantungku yang sudah lebih dulu penuh dengan curian. Total nilai pernak pernik-pernak gereja Vatikan yang aku colong mencapai 126 euro (sekitar Rp2,1 juta). Mulai dari hiasan untuk para babu tetek yang mencintai Sri Paus, calon biarawati dan tukang coli yang mencoba bertobat.. Pokoknya semua simbol-simbol ini umumnya dikoleksi cuma buat bilang “Woi, gue pernah ke Lapangan Santo Petrus.”

Iklan

Bagiku, semua barang ini tak nilai punya sama sekali, apalagi punya sangkut paut dengan ajaran agama. Mereka tak lebih dari barang-barang aku colong untuk menambah-nambahi koleksi barang curianku yang berasal dari bandara, pasar swalayan, perpustakaan dan toko cendera mata di seluruh dunia. Semua barang ini punya satu kesamaan: ukurannya cukup kecil hingga mudah dikantongi tanpa mengundang kecurigaan dan aku kelewat gatel untuk mengutilnya.

Selepas mengantongi pernak-pernik relijius di atas, aku masih sempat-sempatnya menganggukkan kepala saat bersemuka dengan biarawati yang duduk di belakang mesin kasir.

Aku didiagnosa menderita kleptomania tidak lama setelah dinyatakan memiliki gangguan mental yang lambat laun jadi bagian dari identitasku seperti depresi kronis, general anxiety disorder, bipolar, borderline personality disorder, rasa nyeri kronis dan sebagainya. Semua ini kuderita karena otakku yang lelet. Dari semua gangguan yang kuderita, hasrat kompulsif untuk mencuri adalah gangguan yang paling tidak mengganggu. Aku sudah mengutil sejak kecil. Awalnya sih, sempat terbersit rasa bersalah. Cuma, waktu mengikisnya. Menginjak umur belasan, aku tak lagi merasa bersalah tiap kali mengantongi barang orang tanpa izin.

Kebanyakan penderita kleptomania selalu ngomong bagamaiana mereka ketagihan sensasi adrenalin yang datang saat mencuri. Kleptomania memang erat kaitannya dengan depresi yang parah; kleptomania adalah semacam usaha untuk melampaui apati. Ini baru sebagian dari kleptomania itu sendiri. Layaknya penyakit mental lainnya, alasan dan “sensasi” yang dirasakan saat mencuri bisa memiliki bentuk yang sangat beragam. Dalam kasusku, kleptomania adalah bagian dari sisi manik diriku. Mencuri adalah salah satu hal yang harus aku kuasai betul agar aku benar-benar bisa merasa hidup.

Iklan

Oliver Twist, buku karya Charles Dickens, meninggalkan kesan mendalam dalam diriku saat berusia delapan tahun (BUKU BISA MENGHANCURKAN HIDUP, INGAT TUH). Aku selalu berusaha meniru tokoh Artful Dodger dan Fagan yang culas dalam buku itu. Selain OliverTwist, kebiasaanku mengutil juga dipengaruhi oleh film lawas asal Perancis, Pickpocket [1959]. Mahakarya Robert Bresson itu dibuka dengan penjabaran secara perlahan skill yang diperlukan oleh seorang pencuri kawakan. Dua karya di atas mengajarkan rasa puas aneh yang dirasakan setiap kali aku berhasil mengantongi barang orang tanpa memancing kecurigaan.

Aku tahu kalian pasti berpikir aku cuma berusaha menyuguhkan dalih intelek untuk menjustifikasi kebiasaan burukku. Bodo amat deh. Aku toh tak terlalu peduli. Lagi pula, ada perasaan yang memuaskan tiap kali aku “nakal” mengambil barang yang bukan milikku. Perasaan itu mengalir dan menyegarkan jaringan sarafku yang biasa dirundung depresi dan kegelisahan. Rasa puas itu tak cuma berbentuk kelegaan dalam hati melainkan sebuah desiran yang terasa secara fisik—semacam rasa gatal yang susah dijelaskan dan disimulasikan.

Sampai saat ini, aku masih kaget mendapati reaksi keras orang terhadap kebiasaan mencuriku. Respon yang paling sering aku dengar adalah kalimat macam ini: “Ah kamu menghancurkan hidupmu sendiri, coba pikir apa jadinya kalau kamu tertangkap?” Mereka lupa. Sampai saat ini, aku tak pernah tertangkap basah saat mencuri. Sayangnya, begitulah sebuah penyakit mental bekerja. Kleptomania mengaburkan resiko besar dari perbuatan nakalku. Aku malah tak pernah kepikiran bakal tertangkap.

Iklan

Lagipula, aku tak nyolong sembarangan. Aku pencuri yang memilih targetnya dengan seksama. Bahkan sebelum obatan-obatan membantuku menguasasi diri, aku punya semacam panduan dalam mencuri. Misalnya, jangan pernah sekalipun mencuri dari bisnis kecil-kecilan, teman, atau warga sipil pada umumnya. Jangan pernah mencuri barang yang punya nilai sentimental bagi pemiliknya dan tak tergantikan. Tapi di bandara, rumah sakit jiwa, atau kantor pusat sebuah perusahaan, aku bisa memenuhi kantongku dengan barang curian dalam sekejap.

Misalnya, aku pernah mencuri banyak sekali bantal sofa dari sebuah van di luar sebuah kasino cuma karena bosan dan geram. Bantal-bantal itu kulemparkan melewati pagar di pinggir kolam bar ke dalam van Mistubishiku yang butut. Ibuku sangat menyukai bantal-bantal itu dan aku benci banget kasino itu. Jadi semua menang lah ya.

Ada pula masanya aku kecanduan mencuri tanaman dalam pot dari bar dan restoran. Alhasil, aku punya koleksi tumbuhan dari tempat-tempat makan keren di Perth.

Dan berkat semua semua penyakit mental yang aku miliki, aku nyaris tak pernah dibayangi rasa bersalah. Kalau kamu terus menerus hidup di bawah bayang-bayang kegelisahan, kamu tak akan berhenti dan berpikir, “Ya ampun, harusnya aku enggak pernah nyolong dari Gunung Agung. Jangan-jangan mereka tutup gara-garaku!.”

Otakmu tak akan berpikir sejernih itu. Kalaupun ada rasa bersalah yang masih menghantui, itu adalah rasa bersalah yang muncul lantaran aku membuat balon ulang tahun nenek ke-80 meletus. Parahnya, insiden ini terjadi 20 tahun silam. Belum lagi, bisa saja semua itu hanya khayalanku belaka. Namun, apa mau dikata, itulah yang kerap aku rasakan.

Iklan

Empat tahun belakangan ini aku puasa nyolong dulu karena obat yang aku konsumsi kini lebih kuat. Cuma September lalu, aku beralih dari obat A ke obat B dan bersama dengan berat tubuh yang terjun bebas serta rasa sange yang tak mau hilang, aku mulai mencuri lagi.

Sejak September lalu, aku sudah mengumpulkan ATK senilai $561 (sekitar Rp7,8 juta) dari waralaba penjaja ATK (kebanyakan sih notebook Moleskine yang harganya bisa sampai US$50 dollar itu). Aku selalu mencatat di ponselku apa saja yang aku ambil—dari mana aku mengambilnya dan berapa nilainya. Selama enam minggu petualanganku di Eropa, aku sudah mencuri air dan sandwich (nilai totalnya 83 euro atau sekitar Rp1,3 juta ) dari berbagai bandara yang aku kunjungi, cendera mata seharga 225 euro (sekitar Rp3,7 juta) dari toko cendera mata di museum, air kemasan senilai 32 euro (sekitar Rp534 ribu), patung-patung rasul senilai 126 euro (sekitar Rp2,1 juta) dari toko cendera mata di Vatikan.

Aku juga nyolong dari Gereja Katolik. Aku sih mikirnya ini mirip dengan mengambil kembali pajak yang aku bayarkan setelah aku tahu mereka menutup-nutupi kasus pelecehan seks yang terjadi di lingkungan gereja. Mendingan uangnya buatku daripada buat membayar pengacara gereja.

Lagipula, kalaupun aku tertangkap, bukankah gereja selalu mengajarkan untuk selalu menampakkan sikap welas asih dan memaafkan siapapun, termasuk seorang pencuri?

Follow Patrick di Twitter .