Kesehatan Mental

Yakin Punya Kekuatan Super, Aku Hampir Mati Gara-Gara Psikosis

Aku enggak bisa membedakan mana yang sungguhan dan imajinasi.
Seseorang duduk di atas jurang

Confessions adalah seri artikel VICE memuat cerita pengalaman pribadi yang disembunyikan banyak orang, terutama soal kesehatan mental, fobia, dan bermacam pikiran gelap. Melalui pengakuan para narasumber dalam seri ini, redaksi berharap pembaca sekalian bisa memiliki inspirasi, keberanian, serta perasaan lebih ringan menghadapi problem-problem kejiwaan yang sedang dihadapi. Sebab, seunik apapun ketakutan, depresi, trauma; atau seaneh apapun pengalaman seseorang dalam hidupnya, selalu ada orang di luar sana yang mengalami hal serupa—kalian tidak sendirian.

Iklan

Aku sedang merebus air di dapur ketika muncul keinginan untuk mencelupkan tangan ke panci seraya memasukkan mi. “Cobain ah, mumpung aku enggak bisa sakit ini,” batinku. Aku benar-benar melakukannya, dan sontak merasakan sensasi perih terbakar di sekujur tubuh. Aku langsung mengangkat tangan dan membasahinya dengan air keran. Kulit tanganku merah melepuh, tapi aku mengabaikan rasa sakitnya seolah-olah tak terjadi apa-apa.

Kenapa aku melakukan ini? Karena aku berdelusi saat itu. Aku yakin tubuhku kebal terhadap bahaya dan penyakit.

Psikosis adalah gejala umum dari beberapa penyakit jiwa, termasuk gangguan bipolar. Delusi merupakan gejala utamanya. Para pengidap psikosis memercayai bahwa mereka sangat penting dan hebat. Bahwa takkan ada yang bisa menyakiti atau membahayakan mereka.

Keyakinan ini tak bisa dipatahkan saat seseorang berdelusi. Fakta dan alasan selogis apapun enggak mampu membuktikan pemahamanmu cacat.

Aku sangat gembira, hiperaktif dan percaya diri saat mengalami mania. Perasaan meledak-ledak ini cenderung menyatu dengan khayalan. Disebut “mood congruent psychosis”, kondisi ini membuat perasaan dan energiku memengaruhi delusi. Aku berkhayal enggak bisa dikalahkan dan aman dari segala macam bahaya.

Di dunia nyata, aku bertanggung jawab ketika menyetir. Aku enggak pernah berkendara di bawah pengaruh alkohol. Semua itu akan hilang ketika imajinasi mengendalikan diriku. Hal-hal yang menurutku bodoh dan konyol di waktu lain mendadak masuk akal sekarang.

Iklan

Suatu waktu, aku berlari keluar kantor dan menginjak pedal gas sekencang mungkin. Mobil melibas jalanan berbatu, membawaku pergi jauh dari pekerjaan yang monoton. Kondisi mentalku saat itu kurang baik, tapi aku mengabaikannya dan membiarkan mania mengambil alih kesadaranku. Baru kali itu aku merasakan kegembiraan yang luar biasa. Tiba-tiba, aku terpikir untuk ngebut di tengah jalan. Aku enggak akan bisa terluka, bukan? Aku ini hebat, dan orang lain enggak akan berani menyakitiku. Mereka pasti akan menghindari mobilku. Tak ada rintangan yang mampu menghalangiku.

Aku langsung membanting setir ke tengah jalan, tepat ketika ada mobil yang berjalan ke arahku. Aku semakin ngebut. Mereka pasti menghindar. Aku bingung kenapa mobil-mobil lain mengklakson dan menyalakan lampu dim. Mobil kami bertabrakan, dan aku berteriak senang ketika mobil lain membentur mobilku. Kaca spion samping patah, tapi aku malah kegirangan dan lanjut mengemudi. Mobil lain ngerem mendadak, dan aku bisa melihat sosok panik melambaikan tangannya ketika mobilku melaju pergi.

Aku lalu menerobos persimpangan. Melihat ada mobil melaju ke arahku, aku menginjak gas dan menabrak bollard hingga ban depan sobek. Mobil di belakang menabrakku karena telat ngerem. Mobilku berputar kencang dan menabrak sesuatu, tapi anehnya aku selamat tanpa luka. Seorang lelaki membuka pintu mobilku dengan tatapan panik, dan aku menenangkannya. “Aku baik-baik saja, kok!” Bagiku ini biasa saja, dan justru heran kenapa dia khawatir kayak begitu.

Iklan

Dengan pikiran-pikiran delusi, aku enggak bisa melihat diriku dari sudut pandang lain saat mengalami mania. Orang lain mungkin akan mengira aku terburu-buru atau impulsif. Atau bahkan masih kekanak-kanakan dan enggak tahu akan bahaya.

Seperti menyeberang jalan, misalnya. Aku merasa enggak akan ketabrak saat berdelusi. Aku sudah dewasa, jadi orang di sekitar enggak sadar kalau mereka harus menggandeng tanganku agar aku enggak menghampiri mobil yang berjalan. Aku sering menyeberang jalan tanpa lihat kanan-kiri. Selama episode manik, aku yakin mobil akan berhenti saat melihatku menyeberang. Kalaupun tertabrak, aku pasti baik-baik saja. Aku kan jagoan. Mana mungkin bisa terluka? Orang-orang meneriaki aku untuk menghindar, dan pasangan buru-buru menarik tanganku sebelum terlambat.

Aku sudah dua kali kesemperet. Saat itu, aku jalan sendirian di jalanan sibuk. Yang pertama aku membentur kap mobil, yang kedua aku mencium aspal. Tapi, di saat-saat seperti ini, aku justru lebih mengkhawatirkan ada yang ngintip ke dalam rok. Aku masa bodoh ada yang terluka atau enggak. Dan lagi-lagi, cuma memar dan lecet kecil yang kuterima dari kedua tabrakan. Aku sangat beruntung.

Orang lain sulit memahami kondisi ini, terutama ketika mereka menyaksikan langsung seseorang yang mengalami episode psikosis. Aku meminta mereka agar enggak mengikuti delusi, seperti menanyakan motivasi seseorang melakukan sesuatu. Selain itu, jangan pernah bilang kepada pengidap psikosis bahwa keyakinan mereka konyol. Karena pada saat otak dipenuhi delusi, apapun tampak nyata bagi mereka.

Akan lebih baik jika pendengar tetap tenang dan berempati dengan ucapan mereka. Fokuskan perasaan di balik fakta dan cerita-cerita mereka. Dan yang paling penting, tanyakan apakah mereka membutuhkan bantuan. Kalian enggak perlu memahami apa yang mereka rasakan untuk mendukung dan menjaga keselamatannya.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Australia