Terorisme

Skandal Pembuatan Bom Molotov Seret IPB di Tengah Kontroversi Aksi Mujahid 212

Dosen IPB Abdul Basith dan pensiunan TNI Soni Santoso diduga dalangi perakitan bom tersebut. Kasus ini makin terpolitisasi karena Soni adalah caleg Partai Berkarya pada pemilu 2019.
Skandal Pembuatan Bom Molotov Seret Dosen IPB Abdul Basith di Tengah Kontroversi Demo Aksi Mujahid 212
Ilustrasi bom molotov yang digunakan pengunjuk rasa di Hong Kong. Foto oleh Mohd Rasfan/AFP

Di balik adem ayemnya unjuk rasa Aksi Mujahid 212, Sabtu (28/9) pekan lalu, kita semua wajib berterima kasih pada Densus 88. Soalnya pada Sabtu dini hari atau beberapa jam sebelum unjuk rasa dilangsungkan, pasukan khusus antiteror yang gemar menyamar ini berhasil mengamankan 29 buah bom molotov yang diduga hendak dipakai perusuh saat unjuk rasa berlangsung.

Berkat penangkapan ini, kerusuhan tidak jadi timbul dalam aksi. Berita terheboh dari demonstrasi singkat itu hanya berkisar pada gunjingan netizen soal salah referensi di spanduk aksi yang menyebut TAP MPR RI No. 6/2000 sebagai basis tuntutan penurunan Presiden. Padahal TAP itu mengatur soal pemisahan TNI dan Polri.

Iklan

Penggeledahan dilakukan di sebuah rumah di Jalan Maulana Hasanudin, Cipondoh, Kota Tangerang milik Soni Santoso (61), seorang pensiunan TNI yang juga caleg Partai Berkarya pada pileg kemarin. Densus menangkap Soni serta Abdul Basith (44) dan Sugiono Laode (30). Abdul adalah Dosen Fakultas Ekonomi Manajemen (FEM) Institut Pertanian Bogor. Ia diduga melakukan supervisi terhadap pembuatan bom molotov, sedangkan Sugiono bertugas merakitnya.

Kasat Reskrim Polres Metro Tangerang AKBP Dicky Ario Yustianto berujar, pada dasarnya polisi hanya menjadi back-up karena kasus ini ditangani oleh Densus 88. "Kami juga tidak diperbolehkan untuk mengambil dokumentasi (oleh Densus)," ungkap Dicky saat dihubungi Jawa Pos.

Terduga pelaku diancam hukuman penjara maksimal 20 tahun berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat 12/1951 tentang tindakan membuat, menguasai, membawa, menyimpan, mengangkut, menyerahkan, dan/atau berusaha menyerahkan bahan peledak.

Di tempat yang berbeda, Densus 88 dan polisi juga mencokok Yudhi Febrian (50), Aliudin (43), dan Okto Siswantoro (42) yang disinyalir masih satu komplotan dengan Soni dkk. Dugaan sementara, Okto, Yudhi, dan Aliudin bertugas menjadi eksekutor pelemparan bom molotov, di samping Okto yang juga bertugas merekrut para eksekutor.

Juru bicara Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan penyelidikan polisi terhadap keenam terduga pelaku perencana kerusuhan demo masih berlangsung hingga Senin (30/9). Saat artikel ini ditulis, polisi sedang melakukan pengujian semua alat bukti.

Iklan

"Ingat proses penyidikan untuk meningkatkan status dari penyidikan dan penyelidikan itu ada mekanismenya, dalam hal ini penyidik Polda Metro Jaya tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah, masih didalami," ujar Dedi, dilansir Detik.

Menyikapi tertangkapnya salah satu dosen mereka, Kepala Biro Humas IPB Yatri Indah Kusumastuti menyatakan kasus yang tengah dihadapi Abdul Basith tidak ada hubungannya dengan IPB.

"Dugaan aktivitas yang dilakukan adalah tidak ada kaitannya dengan tugas yang bersangkutan sebagai dosen IPB dan menjadi tanggung jawab penuh yang bersangkutan sebagai pribadi. Terkait masalah ini IPB menghormati proses hukum yang berlaku," tulis Yati dalam siaran pers, dilansir Beritagar. Sementara Rektor IPB Arif Satria mengaku terkejut dan memutuskan langsung menjenguk Abdul Basith pada Minggu malam.

Senada dengan IPB, Ketua Panitai Aksi Mujahid 212 Edy Mulyadi juga menegaskan tak tahu-menahu soal dugaan kerusuhan enam orang tersebut.

"Kita kan enggak pernah ada rencana seperti itu. Seperti yang kita tahu lah, sebetulnya tema kita kemarin kan cuma tolak liberalisme, tolak komunisme, tegakkan kebenaran, itu aja. Kalau kemudian di orasi-orasi berkembang, itu kan dinamisnya lapangan aja gitu, tapi tetap tidak ada rencana apalagi sampai kerusuhan lempar bom dan sebagainya. Itu nggak ada kaitannya sama sekali dengan kita," kata Edy saat dihubungi Detik.