Pelanggaran HAM

Panglima TNI Bela Promosi Jabatan Eks Tim Mawar, Meski Dikecam Publik

Mayjen Untung Budiharto naik pangkat jadi Pangdam Jaya, meski menculik aktivis pada 1998. Jenderal Andika beralasan Untung sudah menjalani hukuman sehingga tetap berhak promosi.
Panglima TNI Andika Perkasa Bela Keputusan Promosi Mayjen Untung Bekas Tim Pawar Penculik Aktivis Jadi Pangdam Jaya
Mugiyanti [paling kiri], salah satu korban penyiksaan aparat jelang reformasi, duduk dekat poster aktivis lain yang diculik tim mawar dan TNI pada 1998, di depan Komnas HAM pada Mei 2014. Foto oleh ROMEO GACAD/AFP

Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa akhirnya buka suara setelah dihujani kritik karena mengangkat Mayjen Untung Budiharto, mantan anggota Tim Mawar yang menculik 14 aktivis Reformasi, menjadi Panglima Daerah Militer (Pangdam) Jaya. Menurut Andika, meski Untung punya catatan pelanggaran HAM, ia sudah menjalani hukuman yang diputus pengadilan militer. Maka, kini ia tetap layak memegang jabatan strategis.

Iklan

“Ya Pangdam Jaya [Untung] sebetulnya kalau dari segi hukum kan sudah menjalani apa yang kemudian waktu itu diputuskan oleh pengadilan. Sudah diputuskan dan berkekuatan hukum tetap dan sudah dijalani,” kata Andika di Mako Rindam Jaya III Siliwangi, Kota Bandung, Rabu (12/1) ini, dilansir CNN Indonesia. “Jadi, memang secara hukum tidak ada lagi yang kemudian harus dilakukan oleh mereka yang pada saat itu mendapatkan hukuman ya.”

Lewat Keputusan Panglima TNI No. Kep/5/I/2022 tentang Pemberhentian dari dan Pengangkatan dalam Jabatan di Lingkungan TNI, Mayjen Untung menggantikan Letjen Mulyo Aji yang “naik pangkat” menjadi Sekretaris Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM. Pengangkatan Untung ditandatangani Kepala Sekretariat Umum TNI Brigjen Edy Rochmatullah, Selasa (4/1).

Keterlibatan Untung dalam Tim Mawar yang menculik 14 aktivis 1998 membuatnya divonis pemecatan dan 20 bulan penjara oleh Mahkamah Militer. Namun, banding yang diajukan Untung membuatnya terbebas dari pemecatan dan hanya menjalani dua tahun penjara.

Promosi pelaku pelanggaran HAM ini direspons Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) dengan menyorot kontradiksi rekam jejak Pangdam Jaya dengan tugasnya sebagai pelindung HAM. “Kami khawatir [promosi] ini sebatas balas budi atau bentuk relasi semata, sebab mengabaikan rekam jejak. Bagaimanapun juga, TNI, terkhusus Pangdam Jaya, memiliki peran untuk melindungi hak asasi manusia,” ujar Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS Tioria Pretty dalam rilis pers yang diterima VICE.

Iklan

Seperti anggota Tim Mawar lain, usai bebas dari penjara, karier Untung malah melejit. Beberapa posisi strategis terakhir yang didudukinya adalah Wakil Asisten Operasi KSAD pada 2017-2019, Kepala Staf Kodam I/Bukit Barisan 2019-2020, Direktur Operasi dan Latihan Basarnas 2020, dan Sekretaris Utama BNPT 2020-2021. Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) milik Komisi Pemberantasan Korupsi, total kekayaan Untung mencapai Rp10 miliar.

Untung adalah mantan anggota Tim Mawar kesekian yang mendapatkan promosi setelah Prabowo Subianto, Danjen Kopassus ketika Tim Mawar beroperasi, menjabat Menteri Pertahanan. Ketua Umum Partai Gerindra tersebut sudah mengangkat beberapa bekas anak buahnya di Tim Mawar sebagai pejabat Kemenhan. Mereka adalah Dadang Hendrayudha sebagai Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Kemenhan, Yulius Selvanus sebagai Kepala Badan Instalasi Strategi Pertahanan, Nugroho Sulistyo Budi sebagai Staf Ahli Bidang Politik, dan Fauzambi Syahrul Multhazar sebagai Kepala Satuan Pengawas Universitas Pertahanan yang berada di bawah kewenangan Kemenhan.

Direktur Amnesty International Indonesia (AII) Usman Hamid menyebut pemberian jabatan strategis kepada para pelanggar HAM ini adalah keputusan salah. “Jelas keliru kebijakan mengangkat perwira tertentu yang pernah tersangkut pelanggaran HAM berat untuk menduduki jabatan struktur komando utama atau fungsional atau posisi strategis lainnya di lingkungan militer. UU TNI [No. 34/2004] juga menegaskan pengembangan [TNI] harus mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang sudah diratifikasi,” ujar Usman, dilansir dari Suara.

Sementara itu, pengamat militer dari Center for Intermestic and Diplomatic Engagement Anton Aliabbas menyebut TNI perlu meredam gejolak kritik dari publik dengan cara menjadi lebih transparan. “Parameter dan prinsip yang digunakan dalam melakukan penilaian tersebut dinilai kurang transparan, jelas dan terukur. Akibatnya, ketidakjelasan ini membuka peluang munculnya tuduhan miring seperti favoritisme dalam pengambilan keputusan promosi dan penugasan lanjutan,” ujar Anton dilansir Suara.