FYI.

This story is over 5 years old.

Resto Cepat Saji

Lonjakan Harga Pangan Global Pemicu Awal Resto Fast Food Populer di Banyak Negara, Termasuk Indonesia

Makanan siap saji memang menawarkan kepraktisan ala barat. Namun, di balik itu, produk ini membawa segudang masalah kesehatan.

Salah satu, atau mungkin satu-satunya, hal yang paling menarik dari waralaba makanan siap saji adalah konsistensinya. Di mana pun kita tinggal, kita selalu tahu apa yang bakal disuguhkan dalam restoran siap saji, seperti apa rasanya dan harganya pasti murah.

Namun, konsistensi restoran makanan siap saji menyimpan masalahnya sendiri. Selain memancing kita untuk memesan burger-burger murah di tengah malam, konsistensi tersebut juga telah mengubah cara banyak orang makan, terutama mereka yang tinggal di wilayah food desert—sebutan untuk area yang dihuni penduduk berpendapatan rendah dan hanya punya sedikit akses terhadap makanan bergizi dan murah di seantero Amerika Utara.

Iklan

Sebuah laporan penelitian terbaru yang diinisiasi oleh Institute for Development Studies and Oxfam berjudul "Precarious Lives: Food, Work and Care After the Global Food Crisis" mengungkap sejumlah fakta mengejutkan menyangkut kebangkitan restoran siap saji dan makanan olahan di negara-negara yang dihantam krisis makanan global yang mulai terasa satu dekade ke belakang.

Dengan meneliti harga makanan dan jumlah pendapatan warga di Kenya, Bolivia, Indonesia, Pakistan, Vietnam dan Zambia, para periset penelitian tersebut mampu menarik kesimpulan bahwa industri restoran siap saji justru bangkit saat daya beli menurun.

Dalam kurun waktu antara 2007 dan 2011, harga bahan makanan dasar seperti jagung, beras dan gandum meningkat secara drastis. Imbasnya, banyak warga yang tinggal di negara-negara yang disebut di atas terpaksa mengatur kembali pekerjaan dan pola makan mereka. Artinya, sejumlah orang terpaksa mengambil pekerjaan yang berbahaya, perempuan dipaksa untuk bekerja dan munculnya kebutuhan untuk menyediakan makanan secara konsisten bagi anak-anak mereka.

Harga makanan akhirnya mengalami penyesuaian di beberapa negara ini, namun minat terhadap makanan siap saji yang murah tetap tinggi. Dengan demikian, menurut laporan penelitian tersebut, penduduk negara-negara tersebut sudah kadung mengalami pergeseran budaya yang signifikan.


Tonton dokumenter VICE menjajal kuliner dan denyut hidup Kota Surabaya di kala malam:

Iklan

Kendali makanan siap saji sering diasosiasikan dengan masyarakat berpendapatan rendah ( pada ini cuma mitos loh) di negara barat, makanan siap saji ala Amerika adalah simbol status sosial tertentu di banyak negara, terutama di kalangan anak-anak. “Anak dan remaja adalah pangadopsi paling awal segala macam makanan olahan yang dianggap lezat, menyenangkan, trendy dan umumnya bikin kecanduan,” demikian tertera dalam laporan penelitian di atas.

Meski demikian, bukan berarti tak ada kekhawatiran dalam masyarakat negara-negara di atas menghadapi populernya makanan siap saji. Hasil penelitian terhadap satu focus group di Lusaka, Zambia memperlihatkan bahwa konsumen remaja umumnya sadar akan dampak negatif makanan olahan. “Makanan seperti kentang goreng dan pizza menyebabkan penyakit-penyakit konyol seperti diabetes dan tekanan darah tinggi,” kata salah satu responden penelitian. “Kami sih menyebutnya penyakit orang tajir karane orang miskin tak bakal menderita penyakit seperti itu karena tak bisa beli makanan seperti itu.”

Permasalahannya adalah, layaknya yang jamak terjadi di Amerika Utara, kaum berpendidikan atau setidaknya mereka yang mafhum akan bahaya makanan cepat saji akan tetap mengkonsumsinya lantaran harganya murah dan tidak merepotkan. Sayangnya, selain menawarkan kepraktisan ala barat, makanan siap saji juga menyebatkan naiknya kandungan lemak, gula hingga garam serta kemungkinan munculnya masalah kesehatan baru di negara-negara di mana makanan tak lebih dari sekadar cara untuk bertahan hidup.

"Laporan ini penelitian ini adalah peringatan bagi kita akan adanya risiko tertentu yang disebabkan oleh globalisasi terhadap hubungan antara pekerjaan dan makanan. Di samping itu, hasil penelitian ini mempertanyakan pilihan-pilihan kita dan cara kita meresponnya,” demikian tertulis dalam kesimpulan penelitian tersebut. Lebih jauh, para peneliti menyarankan agar upaya regulasi industri makanan siap saji harus segera diambil “supaya makanan buruk, pekerjaan yang berbahaya serta tak manusiawi dan kecenderungan untuk mengkonsumsi makanan seadanya tak lagi dianggap sebagai elemen penting dalam ketahanan menghadapi perkembangan ekonomi global.”

Artikel ini pertama kali tayang di MUNCHIES.