generasi milenial

'Berusaha Dewasa' Sebetulnya Cuma Wacana, Tapi Dampaknya Amat Menyesakkan

Postingan Facebook lelaki dari generasi milenial yang merasa gagal memenuhi ekspektasi terhadap orang seusianya viral, memicu diskusi soal definisi kedewasaan.
Koh Ewe
oleh Koh Ewe
SG
Generasi milenial berjuang melawan kesepian dan memenuhi ekspektasi yang dibebankan pada mereka
Foto oleh Chin Yi Xuan

Semakin kita beranjak dewasa, semakin banyak tuntutan yang harus dipenuhi. Punya rumah sendiri, menikah dan memiliki anak dianggap sebagai tanda kedewasaan seseorang. Namun, berkaca dari pengalaman, kenyataan tak selalu sesuai dengan harapan.

Umur Chin Yi Xuan sudah 27 tahun, tapi dia masih melajang dan tinggal bersama orang tua. Warga Kuala Lumpur, Malaysia, ini bahkan baru memulai karier di dunia kerja profesional. Terombang-ambing dalam lautan kekecewaan dan keputusasaan, ia menumpahkan isi hati terdalamnya dalam status Facebook.

Iklan

“Saya sudah 27 tahun. Masih lajang. Masih tinggal sama orang tua. Masih belajar arti kehidupan,” tulisnya pada November 2021 lalu.

Chin tak pernah menyangka curhatan pribadi akan sampai ke timeline banyak orang. Postingan panjang itu dibanjiri komentar yang menyemangati. Lebih mengejutkannya lagi, tak sedikit netizen merasa bisa relate dengan kisah hidup Chin.

“Tulisanku hanyalah cerminan dari semua yang telah saya rasakan selama ini,” katanya saat dihubungi VICE. “Perasaan itu semakin berkecamuk, terutama setelah semua yang telah terjadi pada 2021.”

Mengeluh tentang sulitnya “menjadi orang dewasa” saat kalian telah menginjak usia 20-an dan 30-an mungkin terlihat kekanak-kanakan, tapi perasaan itu sering kali tidak bisa disepelekan.

Generasi milenial dicap sebagai generasi paling kesepian dan burnout. Rasa kesepian ini dikaitkan dengan masalah kejiwaan dan mekanisme koping destruktif. Media sosial sering disebut-sebut sebagai akar dari ketidakbahagiaan ini, sementara beberapa orang percaya dinamika persahabatan perlahan berubah begitu memasuki usia kepala tiga. Di Asia, membeli rumah masih menjadi tujuan utama generasi milenial, yang sulit terwujud di kota-kota padat penduduk dengan harga properti yang meroket.

Iklan

Seakan tak cukup dengan reputasi buruk sebagai generasi stroberi (generasi lemah dan rapuh), tantangan finansial yang kian memburuk selama pandemi telah memukul mereka dengan sangat keras.

Untuk lelaki seusia Chin, dia seharusnya sudah membangun rumah tangga yang harmonis. Ekspektasi ini dibentuk oleh seorang kolega ketika dia baru mulai bekerja sekitar lima tahun lalu.

Akan tetapi, beberapa tahun kemudian, Chin berhenti dari pekerjaan full-time di salah satu startup untuk menyelami dunia perbloggingan. Dia kini rutin menulis tentang investasi dan keuangan pribadi dalam blog No Money Lah. Terlepas dari keputusan mengambil langkah berani ini, dia mendapati dirinya masih dibatasi ekspektasi yang sama seperti dulu.

“Seandainya saya menggunakan itu sebagai patokan, maka bisa dibilang saya tertinggal jauh. Dari segi kehidupan sosial, hubungan dan karier, semuanya jauh dari kata ideal,” tuturnya.

Rasa tidak berdaya yang menghantuinya tambah parah selama pandemi, terutama setelah menyaksikan betapa indah kehidupan teman-temannya.

“Saya merasa kewalahan setiap membuka medsos,” ungkap Chin, yang merasa tertekan melihat orang lain sudah hidup enak, sedangkan dia masih harus bekerja keras.

Kita semua sudah tahu media sosial tempat yang toksik dan penuh kebohongan. Apa yang orang tampilkan di feed hanyalah gambaran kecil dari kehidupan mereka yang sesungguhnya. Namun, fakta ini tak menghentikan kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain.

Iklan

Sementara banyak orang memahami kondisi Chin dan menceritakan pengalaman mereka masing-masing, ada juga yang memberinya saran mengatasi ketidakpastian yang dihadapi. Sebagian besar menganjurkan untuk mengubah pola pikir agar tidak membandingkan tujuan pribadi dengan orang lain atau norma sosial.

Chin mengakhiri refleksi dengan menyebutkan target-target spesifik yang diharapkan bisa tercapai saat dia berusia 30. Tapi sesungguhnya, dia tak terlalu peduli dengan pencapaiannya.

“Selama saya telah melakukan yang terbaik, proses yang saya lalui jauh lebih penting dari hasilnya,” ujarnya. Dengan kata lain, tak apa-apa jika visinya tidak tercapai seperti yang dia inginkan.

Meski dia mengakhiri postingan dengan penuh harapan, Chin mengaku belum mendapat jawaban.

“Saya menyalurkan emosi dan kekhawatiran, tapi bukan berarti semuanya akan terselesaikan begitu saja setelah saya menulis ini,”  katanya.

Chin kini memutuskan untuk tidak terlalu ngotot menjalani hidup. Dia akan menikmatinya sesuai kemampuannya. Sekarang dia lebih tenang mengetahui bahwa dia tidak sendiri dalam perjuangan ini.

Follow Koh Ewe di Instagram.