FYI.

This story is over 5 years old.

Mari Akhiri Era Facebook dan Ganti dengan Situs-Situs Pribadi Bikinan Sendiri

Situs web pribadi dan email dapat menggantikan fitur-fitur yang kita suka dari Facebook—terutama keinginan untuk memposting tentang kehidupan kita.
shutterstock_1063990172 copy
facebook

Pas aku baru masuk SMA tahun 2002, aku membuat sebuah situs web yang bernama “Situs Jason.” Sebuah situs web berdasarkan namaku sendiri yang tujuannya hanya untuk memposting update tentang kehidupanku. Sombong banget yak? Situsku mempunyai news feed, halaman “tentang aku,” dan milis email untuk orang yang ingin menerima update. Aku dulu berharap situs tersebut bakal didanai sumbangan pembaca. Ada bagian untuk video dan foto Flash, buku tamu, dan halaman “teman-teman” yang benar-benar hanya sebuah daftar nama teman-temanku. Ada pula bagan “ hot or not” yang berisi foto-foto teman dan kenalanku, yang mendahului Facebook dan ide pertama Mark Zuckerberg untuk jaringan sosial yang bernama “FaceMash.”

Iklan

Aku mengupdate situs tersebut secara obsesif selama sekitar tiga bulan, dan setelah itu tidak pernah mengunjunginya kembali. Situs itu dulu memalukan dan sekarang masih memalukan, tapi seharusnya aku tidak meninggalkannya begitu saja.

Ketika aku berhenti mengupdate situs webku, aku tidak berhenti posting di internet. Aku hanya mencari tempat lain untuk melakukannya. Aku membuat akun Xanga, terus LiveJournal, lalu MySpace. Teman-temanku ikutan. Kami memposting setiap hari—foto dari liburan, drama pertemanan dan pacaran, keluhan tentang guru kami dan lelucon-lelucon. Kami terdorong untuk memposting karena waktu itu, yang enggak posting dianggap enggak keren. Belum ada kepikiran bahwa postingan-postingan yang terlalu personal akan jadi bahan olokan di kemudian hari.

Xanga, LiveJournal, dan MySpace tidak pernah berhasil memonetisasi secara berarti hal-hal yang kita suka posting. Tidak ada iklan yang ditujukan kepada pengguna tertentu, dan kita tidak pernah memikirkan “data pribadi” atau untuk apa itu bisa digunakan.

Aku masih ingat hari ketika Universitas Maryland memberi email “@umd.edu” kepada mahasiswanya. Itu hari monumental buat kami bukan karena kita mau masuk kuliah, tapi karena email tersebut mengizinkan kami membuat akun Facebook, karena pada saat itu Facebook mempersyaratkan penggunanya memverifikasi profil mereka dengan email universitas.

Pas kita pertama kali dikasih email universitas (beberapa minggu sebelum lulus SMA), aku lagi duduk di kelas genetika Ibu Brosnan, di mana ada beberapa komputer di bagian belakang kelas. Kami semua satu-satu membuat akun Facebook. Kami mencari teman-teman yang sudah kuliah. Lalu, kami terus-terusan membuat postingan seperti yang dulu kami lakukan di MySpace. Itu dua belas tahun lalu, dan kami masih belum berhenti.

Iklan

Mengingat kembali masa itu, aku tidak mengerti mengapa kita pengin banget punya akun Facebook. Kami semua sudah berada di jaringan sosial yang sama. Tapi ketika seseorang yang populer di sekolahan memutuskan kami semua akan beralih ke Facebook, maka kami semua ikut menggunakan Facebook.

Facebook sering disalahkan karena “mengganggu” media sosial dan membuat MySpace menjadi sampah tak berguna, tapi jutaan remaja dan anak muda sudah terlanjur membagi segala aspek kehidupan mereka di jaringan sosial lain, dan di situs web pribadi mereka. Facebook kebetulan pada saat itu dianggap baru, sedikit berbeda, dan eksklusif. Kebetulan juga Facebook menjadi populer sesaat sebelum munculnya smartphone. Maksudku Facebook itu sebenarnya tidak lebih baik atau lebih praktis ketimbang situs web pribadi, atau mengirim email dan chat. Entah kenapa, Facebook (dan Instagram) sekarang merupakan tempat di mana kita semua posting.

Ada subteks dari gerakan #hapusFacebook yang tidak ada hubungannya dengan penyalahgunaan data perusahaan tersebut. Sebenarnya alasannya adalah bahwa orang yang menggunakan Facebook dianggap bodoh, atau seharusnya mereka tidak perlu membagi begitu banyak tentang kehidupan mereka. Tapi bagi kami yang tumbuh dewasa pada awal tahun 2000-an, membagi segala aspek kehidupan kami sudah menjadi kebiasaan, dan kami melakukannya tanpa konsekuensi. Saat itu belum ada indikasi bahwa posting akan digunakan sebagai senjata melawan kami.

Tentunya Facebook telah menjadi jauh lebih besar daripada sekadar situs web, kendati kekurangannya, “membantu menghubungkan seluruh dunia,” entah konsekuensinya baik atau buruk. Tetapi Facebook memanfaatkan sebuah tren yang sudah berlangsung—bukan Facebook yang menciptakan ide berbagi kehidupan kita di internet, dia hanya berhasil memonetisasinya dengan lebih baik.

Setiap kali aku memikirkan cara aku menggunakan Facebook, aku memikirkan situs web pertama yang aku buat, dan bagaimana situs itu memenuhi tujuan sama yang kini dipenuhi Facebook. Membuat akun Facebook bukanlah dosaku, sedangkan meninggalkan situs web yang aku kendalikan adalah kesalahan (situs itu berada di Tripod, tapi kalau aku disuruh membuat situs web lagi, aku lebih memilih membayar untuk web hosting.) Bertahun-tahun kemudian, mungkin sudah waktunya untuk mengupdate Situs Jason.