FYI.

This story is over 5 years old.

Pilkada Serentak 2018

Akar Penyebab Pilkada Papua Penuh Kekacauan dan Dibayangi Ketidakpastian

Insiden penembakan, intervensi militer, hingga cuaca buruk hanya satu dari sekian hal yang membuat pelaksanaan pilkada di Papua runyam. Kontributor VICE melaporkan langsung jalinan rumit itu dari Papua.

Pada 27 Juni, Pilkada serentak dilaksanakan di 171 daerah di Indonesia. Pemungutan suara langsung ini merupakan yang ketiga digelar, sejak jatuhnya rezim otoriter Suharto. Namun, proses pilkada serentak di Papua, provinsi dengan akses infrastruktur paling tidak merata di Indonesia, belum juga selesai akibat terjadinya rangkaian insiden kekerasan, temuan surat suara palsu, hingga praktik politik identitas yang mempengaruhi sentimen warga.

Iklan

Proses penghitungan suara dalam Pilgub Papua belum jelas kapan dilakukan, hingga artikel ini dilansir. Satu-satunya informasi tersedia hanyalah hasil hitung cepat tak resmi, menyatakan petahana nomor urut satu Lukas Enembe-Klemen Tinal, diperkirakan kalah dari paslon nomor dua John Wempi Wetipo-Habel Melkias Suwae.

Insiden penembakan pesawat yang mengangkut petugas penyelenggara dan anggota polisi di Bandara Kenyam, Kabupaten Nduga, yang dilakukan oleh Kelompok Bersenjata awal dua hari sebelum pilkada 27 Juni menghambat berjalannya proses pemungutan suara di dua kabupaten. Peristiwa ini menewaskan tiga korban dan melukai dua orang, termasuk seorang anak kecil.

Pelaksanaan pemilu di Paniai juga tertunda. Paniai, sebuah wilayah di dataran tinggi Papua yang jaraknya 96 kilometer dari tambang tembaga dan emas terbesar di dunia, tambang Freeport Grasberg milik AS, tidak melaksanakan pemilihan karena alasan keamanan. Selain itu, bentrok warga antar distrik yang terjadi di Kabupaten Yahukimo, domisili kontributor VICE Febriana Firdaus, menyebabkan kabupaten tersebut dalam pengawasan ketat.

Pasukan bersenjata dan petugas polisi tersebar di seantero Dekai, Ibu Kota Kabupaten Yahukimo. Mereka tampak berjaga-jaga di pasar, sepanjang jalan utama, dan di luar gedung-gedung pemerintahan.

Sejak Rabu pagi, di hari pemungutan suara, kontributor VICE dan seorang pejabat pemerintah setempat mengunjungi beberapa TPS kawasan Dekai. Proses pemungutan suara belum juga mulai. Pembukaan TPS terlambat empat jam karena panitia Panwaslu tidak bisa mengirimkan kotak suara secara tepat waktu ke 51 kecamatan di Yahukimo.

Iklan

Sedangkan di TPS yang buka, tak lengkapnya daftar pemilih membuat banyak warga setempat gagal menggunakan hak suaranya. Di Papua, hampir 630.000 pemilih belum memiliki e-KTP akibat lambannya proses kerja Dinas Sosial Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi Papua. Di TPS 1 Yahukimo, contohnya, segerombolan pemilih tampak gusar di luar TPS. Beberapa dari mereka mengeluh karena dilarang memberikan suara.

“Saya akan membacakan nama-nama yang bisa mencoblos di TPS ini,” kata seorang petugas panwaslu dengan suara keras. “Tidak bisa pilih di sini kalau namanya tidak disebutkan. Ikuti aturannya.”

Seorang pria meninggalkan kerumunan dekat TPS sambil menggerutu, “Kami tidak bisa mencoblos.”

Alasan utama bermasalahnya pilkada di Papua yaitu karena lokasinya yang sulit dijangkau. Di provinsi termiskin di Indonesia ini, jalanan yang menghubungkan desa-desa terpencil di dataran tinggi masih sangat minim. Bahkan, untuk mengakses beberapa wilayah tertentu, kita harus naik kapal laut atau pesawat kecil.

Namun, masalah sebenarnya jauh lebih besar daripada sekadar keterbatasan akses. Provinsi ini dicaplok pemerintah Indonesia pada 1969 ketika perwakilan Jakarta melakukan pemungutan suara. Indonesia meminta 1.026 sesepuh adat terpilih mengacungkan jari jika mereka ingin Papua menjadi bagian dari Indonesia. Referendum ini dijuluki “Penentuan Pendapat Rakyat” alias PEPERA.

Banyak yang menganggap kalau pemilihan suara ini hanya penipuan. Papua menjadi provinsi Republik Indonesia secara sepihak. Makanya ada saja militan bersenjata yang mengupayakan pemberontakan karena ingin melepaskan Papua dari Indonesia dan mendirikan negara berdaulat.

Iklan

Pada saat pilkada berlangsung, militan bersenjata sengaja menunggu kapal yang mengangkut petugas penyelenggara dan pemimpin setempat yang melewati Torere. Mereka menyerbu kapal tersebut dan menembak seorang bupati. Dua dari sembilan polisi penjaga kotak suara yang berisi surat suara menghilang dalam serangan. Keberadaan mereka masih belum diketahui.

Di Yahukimo, petugas pilkada menutup TPS dan segera menghitung jumlah suara padahal TPS baru dibuka selama dua jam. Setelah itu, ketika jumlah total surat suara sudah selesai dihitung, petugas menemukan bahwa mereka kelebihan enam suara dari yang tercatat.

“Harusnya hanya 800, tapi kami menghitung ada 806 surat suara,” kata Melki Pekey kepada VICE Indonesia.

Dua surat suara dibuang karena ditemukan dalam keadaan rusak sedangkan empat surat suara tetap dihitung. Ini memancing kemarahan para pemilih. Akhirnya, petugas TPS usul membuang empat suara, dua dari masing-masing kandidat, agar adil.

Tak beberapa jauh, di Di TPS 3, petugas pemilihan mengumumkan surat suara tak akan dihitung di TPS. Sebaliknya, kotak suara akan dibawa ke kantor KPUD Kabupaten Yahukimo. Nantinya, suara akan dihitung di sana. Polisi yang bertugas menjaga TPS membujuk agar petugas mengurungkan niatnya dan menghitung isi kotak suara di TPs.

Sementara itu, pemungutan suara di delapan kecamatan di Yahukimo terkendala cuaca buruk. Hujan yang turun merendam surat suara yang semestinya di hari H pemungutan suara. Alhasil, pemilih tak bisa menggunakan surat suara tersebut lantaran rusak parah. Guna memberikan suara mereka, para pmilih harus menunggu helikopter yang datang membawa logistik pilkada baru.

Iklan

"KPUD Yahukimo gagal melakukan koordinasi dengan baik,” ujar Samule Wetapo, Ketua Panwaslu Kabupaten Yahukimo, saat dihubungi VICE. “Kami sampai harus minta bantuan dari Timiki. Kami minta mereka untuk mengirim surat suara baru dengan helikopter.”

KPUD Provinsi Papua berencana mengumumkan hasil pilgub Papua dalam 12 hari ini. Akan tetapi, estimasi ini diperkirakan molor sebab penghitungan suara baru bisa dimulai setelah warga di beberapa Kabupaten yang terpaksa diundur pencoblosannya resmi memberikan hak pilih mereka.


Tonton dokumenter VICE mengenai tradisi meminang perempuan Sumba yang sangat mahal dan memberatkan anak muda setempat:


Tahun ini, warga Papua mendatangi TPS untuk satu dari dua pasangan kandidat yang masing-masing menawarkan visi kepemimpinan yang jauh berbeda. Papua adalah salah satu provinsi paling miskin di Indonesia. Ironisnya, Papua juga merupakan kawasan dengan kekayaan sumber daya alam paling melimpah di muka Bumi. Tambang Grasberg, dikelola PT Freeport Freeport yang berinduk ke perusahaan Amerika Serikat, ditaksir bernilai $100 juta. Itu belum menghitung cadangan batubara dan kayu yang tak bisa dibilang sedikit.

Nahasnya, kekayaan ini tak kunjung mensejahterakan penduduk Papua—kebanyakan berasal dari ras Melanesia. Saat ini, menurut perkiraan Pemerintah, 28 persen warga asli Papua hidup di bawah garis kemiskinan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa menyimpulkan tingkat kemiskinan di provinsi paling timur Indonesia itu sedikit banyak menggerus kualitas kehidupan orang asli Papua.

Iklan

Belum lagi, kebijakan transmigrasi kontroversial pada masa orde baru telah membawa penduduk Indonesia dari pulau-pulau yang lebih padat ke kota-kota di Papua. Kala itu, transmigrasi adalah sebuah program yang digalakkan pemerintah. Kini, perpindahan penduduk dari pulau lain ke Papua jamak terjadi. Tak pelak, menurut sejumlah perkiraan, 30 sampai 50 persen populasi adalah pendatang—mayoritas berasal dari Pulau Jawa.

Ketimpangan ekonomi maupun sosial antara pendatang dan penduduk asli inilah yang begitu menonjol selama masa kampanye pilgub Papua tahun ini. Kandidat gubernur John Wempi Wetipo dan pasangannya Melkias Suwae memusatkan kampanye di kawasan urban Papu, di mana sebagian besar mantan transmigran tinggal, dengan memasang spanduk-spanduk bertuliskan kalimat dalam bahasa Jawa. Demi menunjukkan kedekatan mereka dengan penduduk urban Papua, pasangan ini tampil dengan busana jawa dalam spanduk-spanduk tersebut.

Pasangan John Wempi Wetipo dan Melikias Suwae, didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan partai posisi Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), berusaha menyingkir kandidat petahana saat ini, yakni Gubernur Lukas Enembe—figur yang sejak lama meraup dukungan luas di kawasan dataran tinggi Papua, namun tengah tersandung skandal korupsi anggaran beasiswa untuk siswa dari keluarga miskin di Papua.

Enembe, yang juga seorang kader Partai Demokrat, juga dituduh membiarkan pertumbuhan ekonomi Papua mandek. Meski begitu, Enambe masih mampu mengumpulkan dukungan partai-partai besar lain, di luar PDIP dan Gerindra, serta dukungan masyarakat asli Papua untuk bisa mencalonkan diri dalam pilgub Papua tahun ini.

Iklan

Baca liputan lain dari VICE Indonesia soal jalannya pemilihan kepala daerah serentak di tagar Pilkada Serentak 2018

Tak semua warga asli Papua puas dengan kepemimpinan Enembe.

"Enembe sudah jadi gubernur selama 5 tahun, tapi tak ada pembangunan berarti di Yahukimo,” ujar Arho Balingga, seorang pemilih dari Yahukimo, kepada VICE. Perempuan itu lantas mengaku bakal memberikan suaranya untuk Wetipo.

Di Jayapura, Ethia Lokbere mencoblos Wetipo dan pasangannya, yang selama kampanye dikenal dengan julukan JOSHUA. Dia yakin JOSHUA akan membawa Papua ke masa depan yang lebih baik.

"JOSHUA ingin membangun Papua yang lebih independen," ujarnya kepada VICE. "Wetipo ingin menciptakan atmosfir yang lebih aman. Beliau ingin mewujudkan Papua yang lebih damai dan sejahtera bagi warganya, jadi kami tak lagi bergantung pada orang lain.”

Namun, kedua kandidat yang bersaing dalam pilgub papua 27 Juni lalu menghindari isu paling penting di Papua, permintaan pelaksanaan referendum kemerdekaan Papua. Komite Nasional Papua Barat (KNPB), sebuah organisasi yang terus mendesak Jakarta untuk segera menyelenggerakan referendum di Papua, menyatakan tak mendukung salah satu dari kedua kandidat gubernur Papua.

Ones Suhuniap, Sekretaris Jenderal KNPB, mengatakan kepada VICE kedua kandidat gubernur sebenarnya tak memikirkan penduduk asli Papua sama sekali.

"Gubernur Papua baru hanya akan menguntungkan Jakarta,” ujarnya. "Jika anggota KNPB ingin menggunakan hak pilihnya, itu pilihan mereka. Yang pasti, pimpinan organisasi ini tak ikut terlibat mendukung salah satu kandidat gubernur Papua.”