Opini

Ribetnya WNI Urus Visa ke Negara 'Maju' Memberi Pelajaran Pahit Soal Ketidakadilan Global

Stres akibat visa ditolak, termasuk tekanan mengurus berbagai dokumennya, menggambarkan persoalan mendasar konsep batas negara modern. Hanya kaum berpunya yang leluasa berpergian tanpa masalah.
Ribetnya WNI Urus Visa ke Negara 'Maju' Memberi Pelajaran Pahit Soal Ketidakadilan Global
Ilustrasi oleh Dini Lestari.

Setelah sekian minggu ke sana kemari mengurus dan melengkapi berbagai dokumen, fotografer lepas Nyimas Laula harus mendapati kenyataan pahit. Permohonan visanya ditolak Kedutaan Besar Amerika Serikat di Surabaya pada 2017 lalu. Niatnya ke Amerika Serikat sebetulnya bukan untuk pelesir atau cari kerja.

Nyimas berniat ke Negeri Paman Sam, karena karya fotonya dipajang di salah satu pameran foto bergengsi. Selain itu ia juga diundang mengikuti lokakarya yang diadakan Yayasan Women Photograph. Nyimas sudah memperoleh dua sponsor dalam aplikasi visanya, dari Women Photograph ditambah manajemen Facebook.

Iklan

Nyatanya, dua sponsor tadi masih tak memadai.

"Rasanya ya kesel banget, alasannya ditolak adalah 'unable to show strong ties with origin country' secara enggak langsung juga menyiratkan gue berpotensi enggak balik [ke Indonesia]. I mean who wants to live in the US anyway?" kata Nyimas. "Akhirnya mau gimana lagi, nasib punya paspor hijau. Paspor menurut gue privilege."

Paspor indonesia yang berwarna hijau itu memang hanya bisa memberi akses bebas visa ke 24 negara. Parahnya lagi, tak ada satupun negara G20—sekalipun Indonesia adalah bagian dari perkumpulan ini—ada dalam daftar negara membebaskan akses buat WNI melenggang ke wilayah mereka.

Dalam daftar ranking terbaru 193 negara dan 6 teritori anggota Persatuan Bangsa-bangsa, Indonesia berada di urutan 54 dalam hal kekuatan paspor. Hanya setara negara seperti Suriname dan Papua Nugini.

Aku sendiri mengalami kepusingan seperti yang dulu pernah dialami Nyimas, sekalipun negara tujuanku bukan Amerika Serikat. Aku diundang datang ke Jerman berbekal fellowship dari sebuah lembaga asal Norwegia. Masalahnya, tak ada jaminan aplikasi visaku bisa disetujui. Aku harus memenuhi berbagai syarat pendaftaran. Mulai dari memastikan siapa sponsorku di Jerman, berapa uang saku yang diberikan lembaga yang jadi sponsorku, di mana hotel tempatku menginap, belum lagi harus disertakan bukti pekerjaan dan slip gaji untuk memastikan aku bisa kembali pulang ke Tanah Air. Oh iya, jangan lupa, kita pun wajib memiliki asuransi kesehatan dengan jumlah minimal tertentu yang dipatok Uni Eropa.

Iklan

Awalnya aku tidak ingin mengeluh. Tapi keki juga dong, ketika sebagai orang Indonesia kita harus berjuang ekstra agar bisa dapat kesempatan ke luar negeri, sementara kawanku—seorang warga negara 'maju'—dengan mudahnya datang ke Indonesia sambil mengajak rekan-rekannya dan bilang "Jump on the next flight! It’s warm here!"

London School of Economics belum lama ini meluncurkan seri tulisan yang mengeksplorasi ketidakadilan global terkait aturan visa bagi penduduk 'The Poor South', istilah buat negara-negara yang kondisi sosio-ekonominya dianggap tidak stabil seperti 'The Wealthy North', yang sering dijuluki 'maju' itu.

Dalam artikel yang dilansir LSE, warga negara dengan privilese "rendah" harus membayar harga lebih mahal sekalipun visa mereka disetujui. Wujud harganya adalah tekanan mental dan rasa rendah diri, mengingat orang dari negara dunia ketiga dipaksa membuktikan mereka layak mengunjungi negara yang merasa berhak membatasi kriteria pendatang.

Seniman Uganda Bathsheba Okwenje menceritakan pengalamannya mengurus aplikasi visa ke Inggris saat ia menghadiri pameran karya seninya di LSE. Bathseba mendapati kenyataan pahit itu, bahwa kesempatan bertukar pengetahuan ke mancanegara bukan sebatas mengatakan “ya”, sebab masih ada kerja-kerja tambahan lain yang mesti dipertimbangkan. Dia harus melengkapi lebih dari 13 dokumen yang intinya membuktikan dia bukan orang miskin yang berusaha jadi imigran gelap ke Britania Raya. Sebaliknya, warga Inggris cukup punya paspor yang masih berlaku enam bulan ke depan dan membayar US$50 jika ingin masuk ke Uganda.

Iklan

Kerugian yang sama menimpa Nyimas. "Jelas [gue dirugikan secara] emosional dan finansial. Tanpa kepastian dapat visanya juga," ujarnya. Penolakan itu sekaligus menghambat karirnya secara tidak langsung. "[Seandainya disetujui] akses itu membuka peluang buat international assignment dan exposure karya bisa lebih luas."

Ketimpangan akses ini terbukti mendatangkan masalah. Indonesia, sebagai salah satu negara yang jor-joran memberi kemudahan visa untuk banyak negara, memperoleh persoalan dalam wujud maraknya turis dari 'negara maju' di Bali yang mengamen dan mengemis supaya bisa pulang. Turis-turis diberi julukan nyinyir 'begpacker' itu terbukti tak lebih kaya daripada Okwenje atau Nyimas. Mereka bisa melalangbuana ke Asia Tenggara hanya karena kuasa paspor mengatakan mereka layak bepergian ke berbagai negara.

VICE pernah mewawancarai Philippe May, managing director firma Arton Capital, yang menurunkan laporan kekuatan paspor. Dia menganggap melempemnya pengaruh paspor hijau dipicu citra Indonesia di mata banyak negara. Bangsa ini punya 250 juta penduduk, berkalang ketimpangan ekonomi, dan memiliki catatan hitam terorisme. "Kemungkinan penduduk Indonesia tinggal melebihi izin visa mereka dianggap tinggi oleh negara-negara maju," kata May.

May punya solusi buat WNI agar lebih mudah melenggang ke berbagai negara. Tapi ide itu agak sulit dijalankan: cobalah memiliki kewarganegaraan ganda. Artinya, lagi-lagi, kita harus punya duit agar bisa bepergian ke negara tertentu, lalu menunjukkan sekian 'nilai' (baca: kekayaan atau privilese tertentu) yang memungkinkan kita memperoleh hak kewarganegaraan. Atau solusi lainnya adalah menikahi orang asing. Masalahnya, memegang kewarganegaraan ganda terlarang dalam aturan hukum Indonesia.

Iklan

Sebesar apapun rasa kesal kita sama tetek bengek birokrasi visa ini, ujung-ujungnya tak ada lagi yang bisa kita lakukan selain mempersiapkanya. Betapa menyebalkan memang, ketika kita menyadari akses mengenal dunia di luar sana dipengaruhi praktik kolonialisme masa lalu yang menciptakan batas-batas negara.

Reece Jones, Guru Besar Hukum Imigrasi di University of Hawaii, adalah penulis buku Violent Borders: Refugees and the Right to Move. Dia nyaris dua dekade mendalami isu perbatasan dan menganggap konsep itu sangat absurd karena melanggar hak asasi manusia. Saat diwawancarai VICE, Reece menyatakan konsep batas negara bukan hal alamiah dari sononya. Perbatasan dengan birokrasi, termasuk visa, baru muncul beberapa ratus tahun terakhir. Malah di berbagai belahan dunia, ide itu baru muncul selama 50 atau 75 tahun terakhir akibat Perang Dunia II. Sistem tersebut pertama mengemuka akhir 1600'an di Eropa, lalu menyebar ke seluruh dunia melalui kolonialisme. Bangsa-bangsa di utara itu lantas menyesuaikan sistem politik di tempat jajahan mereka dengan sistem perbatasan, kewilayahan, dan kedaulatan yang mereka anut.

"Sistem perbatasan merupakan sebuah sistem pengendalian sumber daya. Ini adalah sistem untuk mengendalikan pergerakan manusia, juga berfungsi mengucilkan orang lain supaya tidak mengakses sumber daya mereka," kata Reece. "Sistem ini melindungi sejenis hak istimewa yang tumbuh di tempat tertentu—mencakup pengendalian atas sumber daya, kekayaan, atau praktik-praktik budaya dan politik—sekaligus merenggut hak dan kemampuan orang lain mengakses hak istimewa tersebut."

Berkat sistem timpang yang terus langgeng itu, pemeo “jump on the next flight” hanya mungkin bagi mereka yang beruntung punya privilese paspor tertentu. Itulah mengapa adegan James Bond sarapan di Amerika, siangnya menyamar di Vatikan, lalu kelahi di Dubai menjelang malam untuk derajat tertentu masih realistis.

Sebaliknya bagiku yang berpaspor Indonesia ini, “jump on the next flight” merupakan kemustahilan. Terlebih untuk rekan-rekan buruh migran yang ingin mengubah nasib dengan bekerja di negeri orang, tanpa ada niat membuat ulah. Hambatan buruh migran mengakses kesempatan ke mancanegara berkali-kali lipat lebih banyak dariku yang masuk kategori 'kelas menengah ngehe' ini.

Betapa utopis membayangkan diri ini bisa berpindah-pindah dan melihat dunia, tanpa harus membuktikan dirimu cukup layak menjadi bagian dari 'the global citizen'—yang sebenarnya hanya sebutan lain angka di rekening tabungan yang lebih dari dua atau malah tiga digit.