FYI.

This story is over 5 years old.

Covering Climate Now

Jika Diam Saja, Kita Segera Kena Efek Domino Hilangnya Mangrove dan Penggundulan Hutan di Indonesia

Tanggul raksasa seperti di Jakarta bukan solusi tepat mengatasi imbas perubahan iklim. Masalah harus diurai dari pangkalnya, yakni melindungi hutan dan melakukan penghijauan.
Para nelayan menanam mangrove di Lam Guron, pesisir Aceh. Foto oleh Tarmizy Harva/Reuters

Pemanasan global selama ini tampaknya hanya dikaitkan dengan meningkatnya temperatur air laut yang kemudian menyebabkan anomali cuaca. Namun serangkaian penelitian mutakhir justru menunjukkan bahwa penyebab anomali cuaca juga disebabkan oleh meningkatnya jumlah karbondioksida (CO2) akibat penggundulan hutan yang masif.

Dalam jurnal Nature Climate Change, kelompok peneliti dari University of California, Irvine yang mempelajari hutan hujan Amazon, menemukan bagaimana pori-pori daun (stomata) suatu tumbuhan tidak bekerja sebagaimana mestinya ketika produksi gas karbondioksida melebihi ambang batas. Stomata adalah salah satu struktur penting tumbuhan yang bekerja menyerap karbondioksida dan mengeluarkan uap air.

Iklan

Ketika banyak karbondioksida yang tak terserap, hal tersebut akan berpengaruh terhadap atmosfer dan memengaruhi arah angin dan kelembapan yang datang dari samudera, sehingga memicu anomali iklim. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa berkurangnya uap air bakal berpengaruh terhadap pemanasan di sekitar hutan-hutan Kalimantan, Jawa, dan Sumatera.

“Tingginya CO2 menyebabkan berkurangnya uap air di udara,” kata peneliti Gabriel Kooperman. “Sehingga cuma sedikit awan yang terbentuk.”

Peningkatan CO2 di atmosfer juga diperparah dengan deforestasi dan kerusakan mangrove di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yang terjadi secara masif sejak 2000. Mangrove adalah sistem pendingin alami Bumi dengan menyimpan karbondioksida di akar dan tanah. Sementara hutan adalah benteng pertahanan alami dari CO2. Namun, Dari citra satelit yang dikumpulkan tim peneliti dari Princeton University yang terbit dalam jurnal Nature Geoscience menunjukkan bahwa 29.3 miliar hektare hutan (seluas dua setengah kali Jakarta) telah dibuka untuk perkebunan sejak 2000 hingga 2014.

“Hutan menyerap karbondioksida dari atmosfer, dan ketika praktik pembakaran hutan berkontribusi pada meningkatnya produksi CO2, imbas dari pembukaan hutan sangat merusak,” bunyi penelitian tersebut.

Mungkin kita masih berpikir bahwa pemanasan global adalah hoaks belaka. Tapi bagaimana dengan insiden yang terjadi di Queensland, Australia ketika ban mobil meleleh akibat suhu udara kelewat panas? Mungkin kamu juga bakal berpikir bahwa naiknya suhu global enggak bakal berpengaruh selama kita punya pendingin ruangan (AC). Tapi tunggu, ide semacam itu bukanlah sebuah solusi. Ketika pemakaian air conditioner yang berasal dari pembakaran energi fosil meningkat karena suhu udara yang semakin panas, hal tersebut justru akan menambah polusi udara yang memperparah pemanasan iklim yang pada akhirnya akan menyebabkan kematian ribuan.

Iklan

Itu semua terdengar seperti lingkaran setan, suatu efek domino dari ulah manusia. Dan memang seperti itu. Pemanasan global karena produksi karbondioksida yang terlampau banyak pada akhirnya akan berpengaruh terhadap naiknya permukaan air laut. Jakarta adalah satu dari sekian banyak kota di dunia yang telah mengalami sendiri bagaimana tinggi permukaan air laut naik setiap tahun. Namun tidak banyak yang telah dilakukan pemerintah selain menunggu waktu yang tepat untuk membangun tanggul raksasa untuk membendung air laut.

Padahal para peneliti dalam jurnal Environmental Research Letters telah mewanti-wanti bahwa jika kita gagal mempertahankan temperatur global di bawah dua derajat celcius, harga yang harus dibayar secara harfiah amatlah mahal. Ketika naiknya permukaan air laut menyebabkan banjir rob di seluruh dunia, pada 2100 kita harus menyiapkan dana US$14 triliun setiap tahun.

“Lebih dari 600 juta orang tinggal di daerah pantai yang rendah, kurang dari 10 meter dari permukaan laut,” kata penelitian tersebut. “Ketika suhu semakin panas, permukaan air laut global akan naik karena lapisan es dan glesier mencair. Naiknya permukaan air laut adalah aspek paling merusak.”

Jadi jika manusia tak kunjung menemukan solusi untuk mengurangi laju peningkatan suhu Bumi, mungkin kita harus mulai memikirkan cara untuk tinggal di lautan, seperti di film Water World.