Pandemi Corona

Pemerintah Prediksi Tingkat Depresi Anak Muda Indonesia Meningkat Selama Pandemi

Menurut Kemenkes, mereka yang berusia 15-29 tahun berisiko tinggi terdorong bunuh diri. Mereka yang kehilangan pekerjaan akibat Covid-19 juga rentan. Layanan konseling perlu digencarkan pemerintah.
Achmad Yurianto Kemenkes sebut Tingkat depresi dan bunuh diri bisa meningkat di Indonesia akibat pandemi covid-19
Foto ilustrasi depresi oleh Fransisco Gonzalez/via Unsplash

Bagus Agrindito tiba-tiba kehilangan hal penting yang membuatnya merasa utuh sebagai manusia dewasa. Tujuh bulan lalu perusahaannya memilih merumahkan separuh karyawan, termasuk dirinya. Padahal, ia masih memiliki tanggungan istri yang sedang hamil besar, dan kala itu sang istri turut dirumahkan dari pekerjaan.

“Ketika itu baru bulan awal corona [di Indonesia]….jadi [dirumahkan] dadakan bikin kaget,” ucapnya kepada VICE.

Iklan

Karena tidak juga menerima kepastian bisa kembali bekerja, dua bulan kemudian Bagus memilih mengakhiri kontrak kerja secara resmi. Sampai sekarang, laki-laki yang akrab dipanggil Toge tersebut terus melamar ke berbagai perusahaan.

“Kalau panggilan interview ada, cuma mungkin karena kondisi yang belum sepenuhnya membaik, jadi penerimaan pekerja belum aman. Tempat lain juga mungkin kondisi keuangan mereka belum baik,” tambahnya.

Beruntung istrinya beberapa bulan lalu kembali dipekerjakan kantornya setelah melahirkan, jadi Toge sedikit bernapas lega. Meski begitu, dia berprinsip laki-laki yang semestinya berperan lebih memenuhi kebutuhan keluarga. Status menganggur ini memberi tekanan tersendiri kepada dirinya sendiri agar segera berhasil memperoleh pekerjaan.

“Ketika kamu masih keluarga baru, baru punya baby yang masih hitungan bulan, kondisi pandemi pasti kayak pressure,” ujarnya. “Aku sebagai laki-laki, sebagai suami, jadi tulang punggung yang harus mencukupi dulu nafkah buat istriku. Apalagi sekarang ada anak. Meski anak itu rezeki, tapi jadi double pikiran.”

Saat pertama kali pemerintah Indonesia mengumumkan kasus positif Covid-19 awal Maret 2020, banyak yang tidak menyangka dampak virus corona akan sedahsyat ini. Menurut data yang dihimpun John Hopkins University, total penularan kasus Covid-19 di seluruh dunia mencapai lebih dari 34 juta, menewaskan 1 juta orang. Di Indonesia, sampai 2 Oktober 2020, ada hampir 11.000 orang meninggal akibat Covid-19, termasuk 123 dokter di garis depan.

Iklan

Kini, dimensi persoalan pandemi bukan sekadar statistik penularan atau kematian pasien yang tak kunjung terkendali, namun juga kesehatan mental orang yang bahkan tak tertular Covid-19. Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto menyebut pandemi telah berdampak pada kondisi mental masyarakat.

Mereka yang sudah mengidap stres bisa semakin depresi, bahkan terdorong untuk bunuh diri. Yuri mengatakan kelompok terbesar kedua yang paling rentan melakukannya berusia antara 15 hingga 29 tahun. “Sebelum pandemi pun masalah kesehatan jiwa sudah sangat mengkhawatirkan kita," ujar Yuri dalam diskusi Kamis pekan lalu.

Bagi pemerintah, anak-anak muda yang kini diliputi keresahan akibat pandemi harus mendapatkan perhatian lebih besar. Kemenkes berjanji akan berinvestasi lebih demi memberi layanan psikologis bagi masyarakat yang membutuhkan.

Salah satu sumber gangguan kecemasan terbesar selama pandemi adalah hilangnya penghasilan. Hal ini terjadi, lantaran aktivitas perekonomian yang belum pulih akibat pembatasan sosial Covid-19. Kementerian Keuangan sudah memastikan Indonesia mengalami resesi, membuat industri sulit menyerap angkatan kerja yang tersedia saat ini.

Adapun Kementerian Ketenagakerjaan mengumumkan selama pandemi sebanyak 3,5 juta orang yang terkena PHK, maupun dirumahkan. Padahal, sebelum Covid-19, sudah ada sekitar 6,8 juta pengangguran di Indonesia. Kurang dari delapan bulan, angkta totalnya berubah menjadi 10,3 juta orang tidak bekerja di Tanah Air.

Iklan

Widy, guru TK berusia 25 tahun, termasuk yang berusaha bertahan sebisanya setelah kehilangan pekerjaan. Lulusan Universitas PGRI Adi Buana Surabaya ini banting setir menjadi guru les bahasa Inggris, ketika TK tempatnya bekerja mengurangi jumlah tenaga didik.

Pendapatannya pun turun hingga 30 persen dan dia tidak masuk skema bantuan langsung tunai pemerintah untuk karyawan bergaji di bawah Rp5 juta, serta belum menjadi anggota BPJS Ketenagakerjaan. “Yang dulu buat sampingan, sekarang jadi sumber [penghasilan] utama,” ujarnya pada VICE.

Dampak negatif turut dirasakan mereka yang baru lulus universitas. Dita, 22 tahun, baru saja menyelesaikan pendidikan dan tinggal menunggu jadwal wisuda. Perempuan yang menempuh jurusan Studi Kejepangan di Universitas Airlangga itu sudah melamar ke beberapa perusahaan, tetapi belum ada panggilan untuk wawancara.

Kepada VICE, ia mengaku takut mengecewakan keluarga karena kondisinya menganggur. “Tujuan saya untuk segera menyelesaikan studi agar setelah lulus bisa kerja dan membantu ekonomi orang tua,” kata Dita. “Saya sering cemas dan malu ke orangtua karena tidak kunjung dapat kerja.”

Lulusan universitas yang terbentur minimnya lowongan pekerjaan akhirnya berupaya mencari kerja yang barangkali tidak mereka pikir sebelumnya. Fenomena ini diperhatikan Yulia Sentika, seorang pemilik kafe di Jawa Timur. Ia mengatakan kepada VICE, banyak lulusan Strata 1 yang melamar kerja ke tempatnya. Padahal, lowongan yang dibuka adalah sebagai pelayan.

Iklan

Jalinan masalah ekonomi ini yang turut berpeluang mendorong sebagian yang memiliki problem kesehatan mental bertindak nekat. Siti Khalimah, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Kesehatan Jiwa dan NAPZA dari Kementerian Kesehatan, mengungkap lebih dari 16.000 kasus bunuh diri terjadi setiap tahun di Indonesia. Namun pencegahan cukup sulit dilakukan, mengingat banyak keluarga dan lingkungan penderita gangguan mental belum memiliki kesadaran untuk mendampingi mereka yang berisiko bunuh diri.

“Bunuh diri ini masalah sangat sensitif dan terkait dengan stigma sehingga mereka cenderung tidak melaporkan terkait kesehatan jiwa dan bunuh diri,” tuturnya.

Psikolog Kasandra Putranto, saat dihubungi VICE, menilai dalam kondisi perekonomian yang berat seperti sekarang, masyarakat perlu lebih memperhatikan tanda-tanda depresi yang sering disebut “silent killer”, alias pembunuh senyap. Seseorang bisa dikatakan mengalami gangguan depresi ketika hilang kebahagiaan terhadap diri maupun segala hal di sekitar terkait hidupnya.

Motivasi dan hasrat untuk melakukan sesuatu pun menurun hingga menolak kesempatan bergaul serta membatasi pertemuan dengan orang lain. Mereka juga merasa tidak berharga, sedih, kecewa, putus asa, sampai ada pikiran untuk menyakiti diri sendiri, bahkan bunuh diri.

Tak jarang seseorang yang menganggur merasa malu pada keluarga dan teman. Jika mereka berasal dari keluarga ekonomi bawah, tekanan pun lebih besar. Ini lantaran ekspektasi orangtua agar mereka secepatnya memperoleh gaji untuk membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari kian tinggi.

“Masyarakat harus mampu meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan akan pentingnya deteksi dini terhadap orang-orang di sekitar yang mungkin mengalami depresi untuk segera dilakukan penanganan oleh ahli kompeten,” kata Kasandra.

Selain itu, Kasandra menilai, kesadaran soal isu kesehatan mental di Indonesia mengalami kemajuan signifikan dibandingkan 25 tahun lalu. Tetapi kini bola ada di pemerintah untuk melakukan lebih, termasuk menyediakan layanan konseling yang bisa dijangkau semua kalangan.

“Pemerintah perlu meningkatkan layanan psikologi dan kesehatan mental bagi masyarakat,” tegasnya.