hukum

Warga Nonmuslim Memilih Dihukum Cambuk Saja Kembali Terjadi di Aceh

Menurut Satpol PP, tiga warga beragama Kristen kepergok minum alkohol itu yang minta dicambuk. Lembaga negara dan pengamat menyatakan idealnya hukum syariat tidak berlaku ke nonmuslim.
Tiga Warga Nonmuslim Dihukum Cambuk di Aceh karena minum alkohol
Foto ilustrasi pelaksanaan hukum cambuk di Aceh Utara pada 15 Juli 2020. Foto oleh kontributor SOPA via Getty Images

Tiga pemeluk agama Kristen baru saja dihukum cambuk di Aceh setelah ketahuan santai minum alkohol di sebuah warung sekitaran Ibu Kota Banda Aceh. Empat puluh kali sabetan didapat masing-masing terpidana pada Senin (8/2). Sebelumnya para pelaku diberi pilihan hukuman, yakni dipenjara atau dicambuk tapi bisa langsung bebas. 

“Kami memilih hukum syariat. Kalau pidana kurungan akan lebih lama dipenjara. Kami pilih hukuman berdasarkan qanun. Tidak ada paksaan,” kata Hermanto, salah satu terpidana, seperti dilansir CNN Indonesia.

Iklan

Kepala Satpol PP/Wilayatul Hisbah Banda Aceh Heru Triwijanarko menekankan hukum cambuk adalah permintaan terpidana. “Tiga terpidana nonmuslim memilih dihukum cambuk atas kemauan sendiri. Mereka menundukkan diri terhadap Qanun Jinayat. Mereka juga membuat pernyataan memilih hukuman cambuk,” kata Heru kepada Antaranews.

Tak heran jika Wilayatul Hisbah harus menekankan bahwa pelaku memang kepengin dihukum pakai aturan qanun. Menurut perda yang dirujuk, Qanun Jinayat atau lengkapnya Qanun 6/2014 tentang Hukum Jinayat, aturan syariat akan berlaku untuk (1) orang nonmuslim yang melakukan pidana di Aceh apabila perbuatan pidana tersebut tidak diatur dalam KUHP, dan (2) orang non-muslim yang melakukan pidana di Aceh dan secara sukarela mau tunduk pada hukum jinayat.

Qanun Jinayat memang mengatur setiap orang yang sengaja minum khamar diancam hukuman cambuk 40 kali. Sementara yang dilarang KUHP adalah mabuk. Khususnya mabuk di jalan umum (Pasal 536) dan mabuk di tempat umum dan mengganggu sekitar (Pasal 492). Soal penjara, hanya KUHP Pasal 492 yang mengancam kurungan enam hari, tapi bisa diganti dengan denda. Entah apa yang terjadi ketika ketiga orang tadi ditangkap.

Iklan

Sejak diterapkan pada 2015, syariat di Aceh sudah berkali menghukum cambuk pemeluk agama selain Islam. Daftarnya merentang dari: pada April 2016, perempuan Kristen berusia 56 tahun dicambuk 28 kali karena berdagang miras.

Pada 10 Maret 2017, dua penganut Buddha disabet sembilan dan tujuh kali karena menyabung ayam. Pada 27 Februari 2018, pasangan suami istri dieksekusi karena ketahuan berjudi. Terakhir, pada 2019, pria beragama Buddha dilecut 27 kali gara-gara digerebek berduaan sama perempuan yang belum dinikahinya.

Selain melarang sama sekali konsumsi khamar—Qanun Jariyat mendefinisikannya sebagai minuman dengan alkohol di atas 2 persen—hukum Aceh juga melarang pasangan lain jenis berduaan. Kedua larangan inilah yang berkali-kali menjerat warga non-muslim, meskipun KUHP tak mengaturnya. Sayangnya, praktik ini tidak bisa dituding ilegal. Menurut UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh Pasal 126 ayat 2, setiap orang yang tinggal maupun berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syariat Islam.

Bagaimanapun, kritik tetap muncul. Saat diwawancarai VICE, peneliti hukum syariat dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wasisto Raharjo Jati, menilai ada problem ketika hukum syariat beririsan dengan hukum pidana. Dampaknya, muncul kesan warga nonmuslim memilih syariat karena sekilas tidak seribet harus melewati peradilan sesuai KUHP.

Iklan

“Itu yang kemudian mendorong, ‘ya sudah pakai syariah saja lah’. Nah kalau hukum positif, harus melalui peradilan panjang lah, ini, itu. [Hukuman cambuk] kan sebenarnya hanya memberikan efek malu saja, tapi belum tentu memberikan efek jera,” ujar Wasisto. Selain itu, praktik hukuman pada nonmuslim ini menggambarkan betapa pelaksanaan Qanun Jinayat menarget pelanggaran masyarakat menengah ke bawah, tapi tidak menyasar kejahatan kerah putih di Aceh.

“[Targetnya] khamr, prostitusi, judi… tapi kan belum mengarah ke hal-hal besar seperti korupsi. Artinya itu kan hanya masyarakat lapis tertentu yang kena terus,” imbuh Wasisto.

Komisioner Komnas HAM Otto Syamsudin Ishak pernah menyerukan keberatan dengan pemaksaan hukum Islam kepada warga selain muslim di Aceh. Menurut Otto, apabila perbuatan melanggar Qanun tidak melibatkan warga muslim, seharusnya pelaku tidak ditangkap.

“Ini menunjukkan hukum positif tidak berlaku di sana, jadi ini suatu pergeseran dalam penerapan hukum Islam. Tapi seharusnya kalau itu peristiwa tunggal [tanpa melibatkan muslim], maka dia enggak kena. Kalau kejadian itu melibatkan secara bersama-sama, dilakukan dengan warga muslim, maka dia bisa kena [hukum syariat],” kata Otto kepada BBC Indonesia, 2016 silam.