Perlindungan Perempuan

Rangkuman 7 Poin Progresif RUU KIA, Cuti Melahirkan Bisa Sampai 6 Bulan

Draf RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak yang digodok DPR sekilas terasa menjanjikan bagi perempuan bekerja. Tapi ingat, isinya bisa berubah karena pembahasan masih dini.
Draf RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak DPR Bahas Cuti Melahirkan 6 Bulan
foto ilustrasi pekerja perempuan yang sedang hamil via Getty Images

Sebelumnya jarang terdengar, Rancangan Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) mendadak meniupkan angin segar bagi kaum perempuan. RUU ini jadi buah bibir usai Ketua DPR RI Puan Maharani “membocorkan” sejumlah isinya kepada media, Senin, 13 Juni 2022. Bocoran dari Puan ini menyusul kesepakatan di Badan Legislasi DPR bahwa draf RUU KIA mulai bisa dibahas bersama pemerintah.

Iklan

Beberapa bocorannya lumayan mengagetkan bagi perempuan pekerja. Misalnya, durasi cuti melahirkan bertambah dari semula 3 bulan kini menjadi 6 bulan. Perempuan yang mengambil cuti melahirkan juga dilarang dipecat dan harus digaji. Besar gaji yang diterima yakni gaji penuh selama 3 bulan pertama cuti, lalu 70 persen gaji selama 3 bulan terakhir cuti. 

Selain itu, ibu yang bekerja juga berhak mendapat waktu untuk memerah ASI selama bekerja. Hal ini belum diatur dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. “Ini harus menjadi upaya bersama yang dilakukan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat guna memenuhi kebutuhan dasar ibu dan anak,” tulis Puan dalam rilis yang dibagikan ke media, dilansir Jawa Pos.

RUU KIA diusulkan Fraksi PKB pada Desember 2019. Anggota Fraksi PKB yang juga Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Anggia Ermarini, mengatakan RUU ini merupakan bagian dari usaha menurunkan stunting dan memajukan keterlibatan perempuan di ruang publik. 

"Satu dari tiga anak Indonesia masih mengalami stunting. Itu terjadi karena ada situasi sistemik yang dialami oleh ibu, terutama pada seribu hari pertama kelahiran," terang Luluk Nur Hamidah, anggota Komisi IV yang juga dari Fraksi PKB, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum antara Baleg dan pengusul RUU KIA, Januari lalu. 

Iklan

Draf RUU KIA bertarikh 6 Desember 2021 bisa diakses di sini. VICE mencermati isinya dan menemukan sejumlah poin progresif yang mengakomodasi kebutuhan ibu-pekerja. Berikut beberapa temuan kami.

1. Definisi ibu yang lebih egaliter 

Ibu didefinisikan sebagai perempuan yang mengandung, melahirkan, menyusui anaknya dan/atau mengangkat, memelihara, dan/atau mengasuh anak (Pasal 1 ayat 3). Alhasil, makna ibu tidak eksklusif hanya untuk perempuan yang sudah menikah maupun perempuan yang melahirkan sendiri anaknya.

2. Ibu berhak mendapat pendampingan dan layanan psikologi

Hak ini disebut dalam Pasal 4 ayat 1 huruf g. Dengan demikian, ibu tak boleh dihalang-halangi untuk mengakses layanan psikologi. Isu bahwa ibu membutuhkan layanan psikologi memang kurang gaungnya dibanding isu yang berbau fasilitas infrastruktur. Padahal problem psikologis pada perempuan yang menjadi ibu nyata adanya.

3. Cuti berbayar bagi suami yang istrinya melahirkan/keguguran

Ibu yang mengambil cuti melahirkan atau keguguran berhak didampingi suami dan keluarga. Ini diatur Pasal 5 RUU KIA. lamanya cuti pendampingan bagi suami adalah 40 hari jika istri melahirkan, dan 7 hari bila istri keguguran.

4. Pemerintah pusat dan daerah wajib alokasikan anggaran untuk program kesejahteraan ibu dan anak   

Pasal 10 mengatur bahwa pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab mulai dari merumuskan program kesejahteraan ibu dan anak, melaksanakannya, hingga menyediakan ongkosnya.

5. Pemerintah dimandatkan untuk membuat rencana target penurunan angka kematian ibu dan anak

Bagian ini diatur dalam Pasal 15. Angka kematian ibu dan anak memang masih jadi PR Indonesia. Dikutip dari artikel Sofia Al Farizi yang dimuat The Conversation Indonesia, pada 2018, kematian ibu dan anak di Indonesia masih lebih tinggi untuk ukuran Asia Tenggara. Angkanya mencapai 177 kematian tiap 100 ribu kelahiran. Bandingkan dengan dua negeri jiran, Malaysia di angka 40 dan Brunei di angka 23.

Salah satu penyebabnya adalah akses transportasi ke fasilitas kesehatan. Artikel yang sama mengutip Riset Kesehatan Dasar Kemenkes 2018 bahwa 16 persen persalinan tahun itu dilakukan di rumah. 

Iklan

Contoh problem ini bisa dilihat di Banten, provinsi di mana masalah jalan rusak berulang kali membuat ibu hendak melahirkan harus ditandu. Kocaknya, pernah ada kasus warga setempat memprotes jalan rusak di media sosial, dan berujung dicokok polisi. 

6. Dukungan untuk ibu di tempat kerja

Menurut Pasal 20, penyedia atau pengelola fasilitas umum–termasuk di tempat kerja–wajib memberi kemudahan kepada ibu dan anak. Bentuknya bisa berupa ruang laktasi, tempat duduk prioritas, dan/atau tempat penitipan anak. Yang disebut terakhir ini jelas kabar bahagia bagi pasangan bekerja yang terpaksa menitipkan anak kepada pengasuh di rumah atau di penitipan yang jauh dari kantor.

Hanya saja, penitipan anak adalah salah satu opsi yang bisa disediakan di tempat kerja. Pasal tersebut tidak menekankannya sebagai fasilitas yang wajib ada.   

Dukungan lain untuk ibu pekerja berupa penyesuaian tugas, jam kerja, dan tempat kerja. DPR pasti kebanjiran karangan bunga terima kasih jika implementasi pasal ini berupa ibu berhak WFH dan mengatur jam kerja sesuai jam tidur anak, misalnya.

7. Pemerintah wajib menafkahi ibu dan anak yang lemah secara ekonomi

Betapa indahnya jika bagian ini benar-benar terwujud. Pasal 25 ayat 2 mengatur bantuan itu berupa makanan sehat dan gizi seimbang, layanan kesehatan gratis, hingga perlengkapan anak. Kita tak akan lagi mendengar berita bayi gizi buruk karena hanya mengonsumsi air tajin dan seduhan kental manis.

RUU KIA saat ini masih di tahap harmonisasi. Proses yang ia lalui masih sangat dini. Artinya, rangkuman di atas masih berpotensi berubah. Tanggapan sementara dari anggota Komisi II Sodik Mudjahid misalnya, meminta definisi ibu ditambah dengan frasa “perempuan yang telah menikah”.

Tapi perubahan itu bisa saja menyempurnakan kok. Kalau menurut catatan kami sih, RUU ini terkurung oleh nama “ibu dan anak”, sehingga tidak mengakomodasi anggota keluarga yang mengasuh anak tanpa ibu. Mereka adalah ayah tunggal atau kakek-nenek yang terpaksa mengasuh cucu. 

Realitas ini jelas ada. Kemenkes sendiri mengakui, kematian ibu dan anak meningkat selama pandemi, dengan kematian ibu lebih tinggi. Jadi, selama pandemi saja, populasi ayah tunggal yang perlu mendapat dukungan dan dampingan sudah pasti naik.

Pada 2020 lalu kami juga pernah melaporkan seorang sopir angkot yang terpaksa bekerja sambil menggendong bayinya berusia 3,5 bulan karena istrinya meninggal saat melahirkan. Sang ayah terpaksa membawa anaknya karena tak ada kenalan yang bisa dititipi serta tak kuat membayar penitipan anak.