Pengungsi Rohingya

Malaysia Berencana Kirim Balik Semua Kapal Angkut Pengungsi Rohingya ke Negara Asal

Pegiat HAM mengkritik kebijakan itu, sebab "mengembalikan pengungsi ke laut sama saja dengan membunuh mereka."
Kamp pengungsi Rohingya di Cox’s Bazar, Bangladesh. Foto oleh UK DFID.
Kamp pengungsi Rohingya di Cox’s Bazar, Bangladesh. Foto oleh UK DFID.

Pejabat Malaysia berencana mengirim kembali 269 pengungsi Rohingya ke laut begitu kapal mereka selesai direparasi. Keputusan ini memicu protes dari pegiat HAM.

Mengutip dua sumber keamanan, Reuters melaporkan Kamis bahwa Malaysia telah meminta Bangladesh untuk memulangkan para pengungsi, yang ditahan sejak kedatangan mereka pada 8 Juni. Akan tetapi, pejabat Bangladesh menolak permintaannya. Narasumber mengatakan pejabat telah menyusun rencana mengembalikan pengungsi dengan bekal makanan dan minuman, tetapi mereka “belum membuat keputusan apapun”.

Iklan

“Mengembalikan mereka ke laut sama saja dengan membunuh mereka… Mana tahu sudah berapa banyak yang tewas di tengah laut,” Nay San Lwin, co-founder Free Rohingya Coalition, memberi tahu VICE. Dia melanjutkan takkan berarti apa-apa bagi Malaysia jika ketambahan 269 pengungsi Rohingya. Apalagi negara ini telah menampung 150.000 pengungsi lebih dalam beberapa tahun terakhir.

Kapal itu meninggalkan Bangladesh pada Februari, dan mengangkut hampir satu juta umat Muslim Rohingya yang sebelumnya menempati kamp pengungsi penuh sesak. Mereka melarikan diri dari kekerasan genosida yang terjadi di Myanmar.

Reuters melansir seorang perempuan Rohingya ditemukan tewas di atas kapal, dan aktivis HAM mengungkapkan ada lebih banyak lagi yang mati kelaparan karena terombang-ambing tanpa tujuan di tengah laut. Menurut BenarNews, 70 persen pengungsi Rohingya di kapal itu tidak bisa berjalan dengan baik setelah berbulan-bulan berjongkok dan duduk di kapal.

Dalam insiden serupa pada pertengahan April, Bangladesh menyelamatkan para pengungsi dari kapal yang terapung selama dua bulan. Berdasarkan laporan Al Jazeera, 396 orang berhasil diselamatkan dan 24 meninggal dunia.

Malaysia mengumumkan dalam beberapa bulan terakhir, mereka takkan lagi menerima pengungsi Rohingya karena ingin memperketat perbatasan guna mencegah penularan COVID-19. Mereka telah menolak dua kapal yang masuk, dan menahan ratusan pengungsi Rohingya yang ada di sana.

Iklan

Setidaknya tiga perahu yang mengangkut pengungsi Rohingya masih terombang-ambing di tengah laut. Mereka bahkan menjadi tawanan pelaku perdagangan manusia di atas kapal, dan baru dikembalikan jika keluarga membayar uang jaminan. New York Times mengabarkan ratusan pengungsi tewas ketika berusaha mencapai Malaysia, beberapa dikubur massal karena keluarga tidak mampu membayar biaya yang naik.

Kepada VICE, Liz Day selaku Koordinator Darurat dan Bantuan bagi pengungsi Rohingya di Bangladesh berpendapat tak ada satupun yang membahas betapa negara-negara yang mendeportasi pengungsi “terlibat dalam menyuburkan praktik perdagangan manusia”. Dia menambahkan negara-negara ini lebih memusingkan masalah imigrasi, ekonomi atau keamanan nasional, ketimbang mementingkan kebutuhan dasar para pengungsi di sana.

Penduduk Malaysia semakin mengkhawatirkan keberadaan pengungsi Rohingya setelah pandemi COVID-19 melanda negaranya. Mereka takut ketularan, dan pada akhirnya ketakutan ini memicu sikap xenofobia.

Liz memperhatikan ujaran kebencian terhadap pengungsi Rohingya meningkat secara drastis di internet, begitu juga dengan jumlah kelompok dan blog anti-Rohingya.

Anggota Free Rohingya Coalition Nay San Lwin berujar kepada VICE, orang-orang di Asia Tenggara seharusnya menunjukkan solidaritas kepada pengungsi Rohingya. Mereka bisa mendesak pemerintah di negara masing-masing untuk mengambil tindakan terhadap Myanmar.

Iklan

“Negara ASEAN wajib mengabaikan kebijakan non-interferensi demi menghentikan kejahatan internasional terkejam yang telah dilakukan Myanmar,” tuturnya. “Semua negara anggota ASEAN sama-sama bertanggung jawab dalam mengakhiri genosida. Hapus Myanmar dari ASEAN jika terus melakukan genosida.”

Human Rights Watch dan Amnesty International turut mengecam rencana Malaysia.

“Sudah waktunya bagi Malaysia dan Thailand untuk membuka mata tentang risiko dan penderitaan yang dialami para pengungsi ini di tengah laut,” kata Brad Adams, direktur Human Rights Watch untuk sektor Asia.

Anna Shea, peneliti hak pengungsi dan migran di Amnesty International, menyatakan negara ini sangat “keji” jika membuat pengungsi Rohingya kembali menghadapi perjalanan mematikan.

“Mereka sudah berbulan-bulan terkatung di tengah laut. Kurang tega apalagi Malaysia jika memaksa mereka kembali menghadapi situasi mengancam nyawa seperti ini?” tegasnya.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News