FYI.

This story is over 5 years old.

Kesehatan Mental

Otak Sangat Mungkin Dilatih Supaya Kita Lebih Percaya Diri Lho

Makanya, jangan lagi merasa minderan. Sayangnya menurut psikolog, kalau berlebihan melatihnya dapat berdampak buruk dan merepotkan kita sendiri.
Foto ilustrasi oleh GIC / Stocksy.

Artikel ini pertama kali tayang di Tonic.

Saat pertama kali memulai karir sebagai psikolog anak dan remaja di usia 21 tahun, saya cukup beruntung dilatih oleh mentor yang berpengalaman. Dia orang yang memberi contoh lewat perbuatan dan memberi saya banyak wawasan berharga. Saya tipe yang cepat belajar—atau merasa demkian—termasuk dalam bidang psikologi. Saya sangat bersemangat untuk mempelajari sebanyak mungkin hal, dan seiring dengan banyaknya hal yang saya pelajari, saya jadi semakin percaya diri soal keterampilan ataupun profesi yang saya pilih. Namun rasa percaya diri itu cepat berubah menjadi arogansi, mengeruhkan penilaian, dan justru membuat saya lebih rentan melakukan berbagai kesalahan.

Iklan

Selama satu bulan saya bekerja sebagai asistennya, mentor pernah terlambat datang ke sebuah sesi dan meminta saya memberitahu pasiennya. Karena saya terlalu percaya diri, saya malah bilang padanya kalau saya bisa mulai sesinya sampai nanti dia tiba. Dia terdengar skeptis, tapi akhirnya sepakat. Intinya, bos saya tiba di sesi itu, memperhatikan saya sedikit, dan pada akhirnya mengambil alih. Seusainya, saat dia bertanya pendapat saya soal penampilan saya selama sesi itu. Saya bilang, kalau cara saya mengelola sesi terapi siang itu lumayan oke (meski dalam hati saya yakin oke banget). Dia kemudian menunjukkan segala kesalahan, termasuk perilaku saya yang terlalu kompetitif—yang dianggap sangat “haram” di bidang terapi anak. Saya mengira segala pengetahuan yang sudah saya dapatkan selama sebulan menjadi asistennya sudah memberika bekal keterampilan yang cukup untuk menjadi terapis. Ternyata saya malah banyak melakukan kesalahan.

Hal seperti ini cukup lazim dialami para pemula. Penyebabnya adalah rasa percaya diri berlebih. Penelitian yang belum lama terbit di Journal of Personality and Social Psychology menjelaskan premis “beginner’s bubble” atau “gelembung pemula” yang saya alami. Carmen Sánchez dan David Dunning, dua peneliti tersebut, melibatkan empat puluh peserta yang menjalankan serangkaian tugas soal topik yang baru mereka pelajari. Dunning dan Sánchez menyimpulkan, “meski para responden pemula tidak langsung kepedean dalam menilai sesuatu, mereka rata-rata segera memasuki gelembung pemula.”

Iklan

Gelembung pemula bisa menaungi orang-orang yang memulai karir mereka dengan sangat berhati-hati dalam mengambil setiap keputusan. Kemudian mereka menjadi terlalu percaya diri sebelum melalui ‘fase koreksi’ di mana tingkat kepercayaan diri menurun sementara performanya terus meningkat.” Dengan kata lain: Pemula seringkali memulai sesuatu secara naif dan tidak sadar betapa buruknya keterampilan mereka. Meski demikian, berkat sedikit belajar, mereka mengembangkan rasa percaya diri yang berlebihan—bahkan cenderung arogan—yang kemudian menjadikan mereka justru berbuat kesalahan-kesalahan baru.

Apa tepatnya yang membedakan rasa percaya diri—yang dibutuhkan semua orang jika ingin sukses dalam hal apapun—dari sikap kepedean? Bagaimana kita mengakui kalau sudah mahir dalam sesuatu, tapi tetap memiliki pola pikir seseorang yang masih belajar?

“Rasa percaya diri muncul saat kita mengembangkan ide soal sesuatu. Tak peduli apakah benar atau salah—kita sedang mengembangkan sesuatu,” ujar Sánchez, “namun, saat kita tidak rentan atau terbuka untuk mengubah gagasan tersebut, itulah saat kita menjadi terlalu percaya diri.” Dalam penelitian tersebut, mereka menyimpulkan bila belajar sedikit bisa membuat orang melebih-lebihkan kemampuan mereka—sebuah stereotipe yang seringkali disematkan pada generasi milenial.

Generasi milenial seringkali ditetapkan sebagai “me, me, me generation." Mereka yang lahir di awal dekade 90'an dituduh lebih narsis dan berprevilese dibandingkan generasi-generasi sebelumnya. Meski demikian, Sánchez tidak memandangnya demikian. “Saya tidak yakin apakah saya percaya bahwa generasi milenial lebih kepedean dibandinkan generasi Baby Boomers, tapi mungkin sekali bahwa Baby Boomers juga kepedean saat mereka muda dulu. Perbedaannya adalah kita menaruh perhatian lebih pada generasi ini,” ujarnya. Dan mereka menaruh perhatian lebih pada satu sama lain; media sosial adalah alat untuk mengungkapkan setiap rincian dalam hidup kita.

Iklan

Saya kesulitan menerima klaim-klaim narsisme yang disematkan pada generasi saya, alias generasi millenial. Sepertinya ini asumsi yang terlalu luas. Media sosial, dari sananya, adalah narsis. Namun perbedaan antara narsisme dan kepercayaan diri berhubungan dengan martabat seseorang. “Kepercayaan diri berlebih adalah perasaan bahwa kita lebih baik atau pintar dari orang lain, sedangkan narsisme adalah perlawanan terhadap rasa percaya diri yang rendah,” ujar Jordan Wright, seorang profesor psikologi konseling di NYU Steinhardt, dan juga psikolog klinis yang bekerja bersama milenial dalam praktik-praktik privat.

Supaya kita menjadi mahir dalam bidang kita (dan terus semakin mahir), kita memerlukan sistem penilaian yang realistis. “Refleksi diri adalah salah satu hal yang bisa kita lakukan untuk mengatasi kepedean,” ujar Wright. Dia merekomendasikan memeriksa kesuksesan lalu mundur ke belakang dari titik itu. “Kita cenderung melakukan itu, tapi baru dijalankan saat mengalami kegagalan. Kita bertanya pada diri sendiri, ‘apa yang saya lakukan sampai bisa berujung pada kegagalan ini?’ Sebaliknya, kita cenderung tersandung kesuksesan. Jebakan tersebut bisa kita hindari, asal kita mau mengulas kembali serangkaian peristiwa ini dan mengizinkan diri kita untuk menjadi penasaran dan mempertanyakan bagaimana kita bisa memperbaiki hal-hal tersebut, kita bisa memecahkan gelembung pemula,” ujar Wright.

Pola pikir perkembangan, istilah yang dikemukakan oleh psikolog Carol Dweck, menjabarkan situasi tersebut secara akurat. Dweck menilai otak mirip otot yang bisa dilatih. Cara pikir otak bukanlah konsep yang selalu ajeg, melainkan sesuatu yang bisa kita kembangkan sebagaimana kecerdasan. Orang-orang yang berhasil menerapkannya akan merengkuh tantangan-tantangan, memandang kerja sebagai jalur mencapai kemahiran, lalu teguh saat menghadapi tantangan, serta senantiasa belajar dari kritik.

“Saat kita melanjutkan menggunakan pola pikir tersebut, terlepas dari usia kita, kita mengadopsi fase perkembangan,” ujar Sanchez. Satu-satunya cara manusia berkembang adalah selalu berani mencoba dan mengembangkan gagasan-gagasan. Di waktu yang sama, seseorang harus mau berdiskusi dengan orang lain untuk memodifikasi dan memeprbaiki gagasan-gagasannya sendiri. Seperti yang disebut Wright agar bisa lebih percaya diri, tapi bukan kepedean, kita wajib mempertanyakan tindakan-tindakan yang kita ambil.