The VICE Guide to Right Now

Najwa Shihab Wawancarai Kursi Kosong Terawan, Simbol Frustrasinya Publik Pada Menkes

Menurut akademisi ilmu komunikasi, manuver sang presenter berita tenar itu bukan pengadilan pers, mengingat pola komunikasi publik pemerintah selama menangani pandemi tidak transparan.
Najwa Shihab Wawancarai Kursi Kosong Terawan, Simbol Frustrasinya Publik Pada Menkes
Cuplikan momen Najwa Shihab mewawancarai kursi kosong yang sedianya mengundang Menkes Terawan. Foto dari arsip tim MataNajwa/Narasi TV

Tim Mata Najwa meluapkan puncak kejengahan, akibat undangan wawancara untuk Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto berulang kali ditolak selama empat bulan terakhir. Berbekal sebuah kursi kosong yang disediakan untuk sang Menkes, Najwa Shihab melakukan monolog menghadap kursi tersebut, memberondongnya dengan daftar pertanyaan penting terkait kinerja Menkes selama pandemi corona.

Tatapan Najwa intimidatif, memunculkan rasa iba penonton kepada sang kursi. Dibidik pertanyaan-pertanyaan tajam, benda mati itu rasa-rasanya bisa mati lagi.

Iklan

Menkes sebagai pejabat paling strategis soal penanganan wabah Covid-19 dianggap Najwa perlu mempertanggungjawabkan perbuatannya langsung ke publik. Monolog tersebut jadi tamparan besar untuk pemerintah.

Keputusan Menkes tidak melayani wawancara diekspose Najwa secara gamblang, sarkastik, dan bikin internet gempar. Frasa “Menkes”, “Terawan”, “Mba Nana”, dan tagar #MataNajwaMenantiTerawan memenuhi kolom trending Twitter sejak Senin (28/9) malam.

Keputusan tim Mata Najwa ini segera panen pujian dari berbagai kalangan. Manuver jurnalis senior tersebut dianggap contoh penting bagaimana privilese dipergunakan untuk kepentingan banyak orang. Namun, ada pendapat pendukung pemerintah bahwa yang dilakukan Najwa adalah penghakiman pers yang tidak adil bagi narasumber.

Sebagai penyegar, jangan lupakan para pembuat meme berkinerja cepat yang sukses bikin kita agak rileks dari dampak konfrontasi terbuka Najwa Shihab kepada Terawan.

VICE meminta pendapat dosen Ilmu Komunikasi UGM Wisnu Prasetya merespons kehebohan dari acara Mata Najwa semalam. Pertama, soal hak menolak diwawancarai, yang jadi amunisi tim menteri kesehatan bila terus dirundung di media. Wisnu mengatakan, UU Pers mengatur tentang hak tolak, hak jawab, dan hak koreksi untuk narasumber. Mereka memang berhak menolak diwawancarai sesuai kepentingannya.

“Tapi, dalam konteks Najwa, perlu diingat narasumber ini adalah menteri kesehatan, pejabat publik. Seorang pejabat publik wajib bersikap transparan kepada publik mengenai kebijakan-kebijakan yang diambilnya, apalagi di masa krisis seperti ini,” kata Wisnu kepada VICE. “Apakah Menkes harus datang ke Mata Najwa untuk bersikap transparan? Tentu tidak. Dalam konteks media, ia bisa ke media lain, bahkan melalui media sosial seperti YouTube.”

Iklan

Wisnu menjelaskan tidak ada pelanggaran kode etik dalam manuver Najwa. Pertama, karena yang dilakukan Najwa cukup jelas: sudah memberikan kesempatan berkali-kali kepada Menkes untuk melakukan klarifikasi namun tak kunjung terbalas. Hal serupa bisa disaksikan dari praktik industri pers bebas di Inggris maupun Amerika Serikat.

“Saya memasukkan langkah Najwa ini dalam kategori sarkasme jurnalistik. Di banyak media cetak atau online, sarkasme umumnya digunakan dalam bentuk teks dan ini hal yang biasa. Nah, Najwa menggunakan sarkasme di televisi,” tambah Wisnu.

Alasan kedua, situasi pandemi membuat Menkes sebagai salah satu pihak yang bertanggung jawab mengatasi krisis. Dengan demikian, menjadi penting mendengar langsung darinya tentang bagaimana cara pemerintah mengatasi pandemi. “Jadi, wajar saja media dan publik membutuhkan keterangan dan transparansi dari dia. Ketika hal dasar tidak dilakukan, menurut saya media bisa bermanuver dengan sarkasme atau cara lain.”

Wisnu menganggap apa yang dilakukan Najwa sebagai langkah cerdas. “Wawancara kursi kosong menjadi simbol rasa frustrasi publik terkait penanganan pandemi. Apalagi Najwa menyampaikan pertanyaan-pertanyaan penting yang selama ini kita rasakan bersama,” tegas Wisnu. 

Lantas bentuk komunikasi apa yang sebaiknya dilakukan Kemenkes untuk merespons? Wisnu mencatat, banyak pakar yang sudah mengkritik komunikasi publik pemerintah sejak awal pandemi, tapi tidak melihat tanda-tanda perbaikan.

“Komunikasi publik yang baik, termasuk dengan bersikap transparan kepada media dan publik, adalah bagian penting yang tidak bisa diabaikan di masa-masa krisis seperti saat ini,” tutup Wisnu.