Kebebasan Ekspresi

Dari Kasus 'Hinaan' Gibran, Kita Jadi Tahu Virtual Police Keliling di IG sampai WA

Lelaki asal Tegal dipanggil aparat karena mengolok Gibran 'dikasih jabatan' saat komen di postingan IG. Ia disuruh minta maaf sambil direkam untuk di-upload medsos polresta Surakarta.
Warga Tegal Diciduk Patroli Virtual Police Solo karena Kritik Gibran Rakabuming
Foto ilustrasi via Getty Images

Lelaki berinisial AM, warga Tegal, Jawa Tengah, akhir pekan lalu diciduk patrol Virtual Police Polresta Surakarta yang notabene beda kabupaten. Pemicunya karena AM mengkritik Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka.

Doi divonis polisi menyebar hoaks akhirnya pasrah mengaku bersalah dan berjanji tidak akan mengulangi “kesalahannya”. Permintaan maaf yang disebar Instagram Polresta Surakarta tersebut diimbuhi janji khas orang terhukum: kalau mengulangi lagi, bersedia diproses hukum. Sebentar, coba kami tebak, pasti mau diproses hukum pakai UU ITE kan?

Iklan

Sebenarnya kesalahan AM sepele. Sabtu pekan lalu (13/3), ia mengomentari satu postingan di Instagram @garudarevolution yang mengabarkan bahwa Wali Kota Gibran Rakabuming minta semifinal dan final kompetisi sepak bola Piala Menpora diadakan di Solo saja. Saat itu AM mengetik, "Tau apa dia tentang sepak bola, taunya dikasih jabatan saja."

Entah bagaimana ceritanya, dari ratusan komentar, kiriman AM ini terdeteksi oleh tim Virtual Police Polresta Surakarta dan dikategorikan sebagai hoaks. Menurut Kapolresta Surakarta Kombes Pol. Ade Safri Simanjuntak, opini kayak gitu bohong dong, kan Gibran dapat jabatan (wali kota Surakarta) lewat pemilu langsung, bukan dikasih sama bapaknya. Komentar kayak gitu juga enggak bisa didiamkan karena menyinggung dari KPU, Bawaslu, TNI, Polri, sampai “seluruh” masyarakat Kota Solo.

"Komentar tersebut sangat mencederai KPU, Bawaslu, TNI, Polri, dan seluruh masyarakat Kota Solo yang telah menyelenggarakan Pilkada langsung sesuai UUD 1945," kata Ade, dilansir CNN Indonesia.

Ade juga menjelaskan bahwa kerja mereka terukur dan enggak asal nyiduk. Sebab, sebelum AM dinyatakan bersalah, tim Virtual Police mereka sudah konsultasi ke ahli bahasa, ahli pidana, dan ahli ITE sebelum menciduk AM. Ia mengklaim cara seperti ini termasuk langkah restorative justice. “Yang bersangkutan telah menghapus komentar tersebut dan meminta maaf. Maka pendekatan restorative justice kita kedepankan dalam penanganannya," jelas Ade. 

Iklan

Btw, istilah restorative justice lazimnya digunakan saat penegak hukum mendudukkan korban dan pelaku bersama, terus korbannya yang bakal bilang dia pengin pelaku dihukum.

Patroli Virtual Police kembali diaktifkan ketika wacana revisi UU ITE mengembang, usai diusulkan langsung oleh Presiden Jokowi, 15 Februari silam. Sementara ide revisi menguap di udara karena dimentahkan DPR RI, gerak Virtual Police justru makin masif. Idenya, gerak-gerik warganet di dunia maya akan diawasi Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri. Tim ini akan berfungsi memberi teguran jika ada akun yang perilakunya, menurut polisi tentu saja, berpotensi disanksi UU ITE.

Diciduknya AM oleh Polresta Surakarta bukan “prestasi” pertama tim Virtual Police. Jumat (12/3) pekan lalu, Dittipidsiber Bareskrim Polri mengabarkan, sudah ada 89 akun media sosial yang ditegur Virtual Police sepanjang 23 Februari sampai 11 Maret karena melakukan ujaran kebencian.

Laporan ini cukup mengagetkan karena mengungkap akun WhatsApp pun bisa terkena razia. “Twitter yang paling banyak, yaitu 79 konten. Kemudian Facebook 32 konten, Instagram 8, YouTube 5, dan WhatsApp 1 konten. Jadi yang paling banyak melalui Twitter," ujar Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan, dilansir Detik.

Iklan

Bagaimana ujaran di WhatsApp bisa terpantau polisi, Ahmad mencoba meyakinkan itu bukan karena polisi bisa menyadap. "Bukan disadap. Ini kan kita memantau, jadi nggak ada kata sadap,” terangnya. Bagaimana mekanisme nangkap akun WA tapi enggak nyadap turut dijelaskan Ahmad. "Kalau WA group kan bisa. Artinya, misalnya, ini hanya misalnya ya. Ada di grup itu, kemudian ada yang melapor ke polisi, dia screenshot dong. Terus akunnya dilacak.”  

Yang menarik, meski Ahmad menekankan bahwa patrol Virtual Police bertujuan ngasih edukasi, nyatanya dalam kasus AM di Solo pelaku tetap dihukum dalam bentuk disuruh menghapus komentar dan meminta maaf secara terbuka.

Masih bonus diviralkan pula, lewat video yang dihiasi backsound lagu “Saya Indonesia, Saya Anti Hoax” ciptaan eks kapolda Sumatra Utara Komjen Pol. Paulus Waterpauw yang kini menjabat Kepala Badan Intelijen Keamanan Polri. Biar infonya enggak nanggung, lagu itu diciptakan pada 2018 dan dinyanyikan grup pop Batak Style Voice.

Balik ke UU ITE, jelas bahwa Virtual Police tidak menyelesaikan problem yang bikin Presiden Jokowi sampai bersuara. Pertama, kebiasaan polisi memproses kasus delik aduan UU ITE padahal bukan korban yang melapor. Bahkan kadang laporannya berasal dari internal polisi, atau disebut laporan model A. Kedua, definisi hoaks dan ujaran kebencian yang abu-abu dan vonisnya sangat tergantung pendapat polisi. Pendek kata, sebagian pasal UU ITE masih diperlakukan sebagai pasal karet.

Dari kasus AM kita belajar bahwa sambil memperjuangkan agar UU ITE buruan direvisi, kita perlu mulai mendeteksi siapa tuh anggota grup WhatsApp kita yang berbakat jadi cepu polisi.