FYI.

This story is over 5 years old.

Pernikahan Anak

Pemerintah Ikut Membunuh Remaja Korban KDRT Pernikahan Anak di Indramayu

Upaya revisi UU perkawinan dan menghapus dispensasi pernikahan anak ditolak atau mandeg. Banyak ortu memaksa anak menikah karena takut zina. Hasilnya siklus KDRT berujung maut seperti di Indramayu.
KDRT dalam pernikahan anak
Pejalan kaki menginjak poster menolak KDRT di Turki. Foto oleh Murad Sezer/Reuters

Sekujur tubuh perempuan 15 tahun bernama Sari* berbalut luka ketika dibawa keluarga mertuanya ke Unit Gawat Darurat rumah sakit. Terutama yang paling parah adalah luka di beberapa bagian kepalanya. Tim medis sudah berusaha keras, namun pada 21 September 2018, di Rumah Sakit Umum Indramayu, Sari akhirnya mengembuskan napas terakhir. Dokter menyimpulkan Sari meninggal dunia akibat penganiayaan.

Setelah melalui proses penyelidikan, dugaan pelaku mengarah pada suami korban, Indra* yang masih berusia 16 tahun. Polisi sempat menangkap sang suami, walau akhirnya penahanan ditangguhkan akibat polisi belum berhasil menemukan bukti-bukti kuat. Indra di hadapan aparat sempat mengakui dirinya beberapa kali menganiaya sang istri.

Iklan

Pada hari nahas itu, salah satu kerabat Sari melihat Facebook Indra. Dalam postingan terbaru, Indra menampilkan foto wajah istrinya dalam keadaan babak belur. Kerabat tadi buru-buru menghubungi nenek Sari, menuju rumah Indra. Namun Sari terlanjur luka parah sehingga dibawa ke RS—dan maut menjemputnya.

Kekerasan berujung petaka ini seharusnya bisa dihindari.

Sari menikah dua tahun lalu, di usia 13, pernah mengandung anak, lima bulan setelah menikahi Indra. Kehamilan di usia muda tersebut rupanya bermasalah. Bayi dalam kandungan Sari hanya bertahan tujuh bulan sebelum harus dikeluarkan lewat operasi caesar. Anak mereka meninggal dunia dua pekan setelah lahir. Setelah peristiwa itu, Sari seringkali jadi sasaran perilaku kasar Indra. Sari kerap mengadukan hal itu pada neneknya, satu-satunya orang yang menjaganya sejak bayi. Ibu Sari bekerja di luar negeri sebagai buruh migran, sedangkan sang ayah meninggal ketika Sari masih tujuh tahun. Nenek Sari sempat berpikir kekerasan terjadi karena Indra khilaf, sehingga mendiamkannya. Nyatanya, kekerasan terus terjadi sampai akhirnya Sari tewas secara tragis.

Aktivis perempuan setempat berjanji akan menyorot perkembangan kasus tragis di Indramayu ini agar polisi tak menghentikan penyidikan KDRT yang menyasar Indra. "Kami akan terus memantau perkembangan kasus tersebut yang sedang ditangani kepolisian," kata Yuyun Khoerunisa, selaku Sekretaris Koalisi Perempuan Indonesia cabang Indramayu.

Iklan

Kisah Sari dan Indra menggambarkan risiko wajar yang sangat mungkin terjadi akibat pernikahan dini. Data UNICEF 2016 menunjukkan Indonesia merupakan salah satu negara dengan angka pernikahan anak tertinggi, ditandai oleh 1 dari 9 anak perempuan menikah di bawah usia 18 tahun.

Pernikahan dini berkorelasi dengan kemiskinan, mengingat lebih dari 59 persen kasus macam ini terjadi di keluarga yang kemampuan ekonominya lemah. Dalam pernikahan macam itu, umumnya perempuan lebih rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Jika perempuan hamil di usia sebelum 19 tahun, ia sangat berisiko mengalami kematian. Selain itu, bayi hasil perkawinan dini 1,5 kali lebih rentan meninggal dalam 28 hari pertama.

Sari dan Indra dapat menikah dua tahun lalu atas andil Pengadilan Agama setempat. Seharusnya pernikahan ini tidak sah secara hukum. Namun orang tua keduanya memohon agar Pengadilan Agama memberi dispensasi pernikahan, alasannya karena Sari dan Indra sudah terlanjur berpacaran. Orang tua khawatir mereka melakukan zina. Terus didesak orang tua, Pengadilan Agama Indramayu akhirnya mengizinkan Sari dan Indra menikah.

Kasus macam ini sudah jamak terjadi di Indramayu, ataupun kota-kota lain Jawa Barat. Merujuk survei nasional pada 2012, ada lebih dari 220.000 remaja perempuan berusia antara 15 hingga 19 tahun di Jawa Barat yang dinikahkan. Itu jumlah tertinggi kedua di Indonesia untuk perkawinan anak.

Iklan

Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, menyatakan celah dispensasi bagi pernikahan anak sudah saatnya dihapus dari UU. "Kita harus akui memang faktanya masih ada legalitas negara untuk itu. Oleh karena itu, sebaiknya dispensasi dihapus," kata Mariana.

Sampai sekarang, revisi Undang-Undang Pernikahan Nomor 1 Tahun 1974 terus diupayakan pegiat hak perempuan dan anak. Di Indonesia, perempuan boleh menikah di usia minimal 16 tahun, sementara lelaki 19 tahun. Batas usia itu dirasa masih terlalu rendah, khususnya bagi perempuan. Sudah begitu, batasan UU yang ada masih bisa diterobos memakai pasal 7 ayat 2 yang berbunyi, "dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini, maka dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak laki-laki maupun pihak perempuan."

Celah inilah yang sering jadi dalih pejabat Pengadilan Agama mengizinkan anak menikah. Selain itu, penganut agama Islam di Indonesia diberi peluang mengajukan dispensasi lewat pasal 13 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 tahun 1975. Beleid tersebut menyatakan "apabila seseorang calon suami belum mencapai umur 19 tahun dan calon istri belum mencapaI 16 tahu hendak melangsungkan pernikahan harus mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama."

Dari dua celah hukum tadi, semua pihak yang mengajukan dispensasi pernikahan anak selalu memakai alasan yang sama: "khawatir melakukan zina". Pada 2016, tahun yang sama dengan pengabulan dispensasi Indra dan Sari, total 354 dispensasi yang disetujui pengadilan agama seluruh Indonesia. Mayoritas permohonan dispensasi tersebut terkait alasan agama, artinya orang tua menikahkan anak di bawah umur karena takut terjadi zina.

Iklan

Koordinator Pokja Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Indry Oktaviani menyebut longgarnya batasan usia dalam UU Perkawinan adalah wujud nyata diskriminasi perempuan dalam budaya Tanah Air.

"Kebanyakan orang tua mengajukan dispensasi itu karena khawatir anaknya melakukan zina. Anaknya belum tentu zina, sudah dikhawatirkan dan sudah disuruh kawin," kata Indry kepada VICE. "Argumentasi ini mengikuti standar moral orang dewasa yang tidak mencari alternatif jalan lain bagaimana caranya agar anak tidak melakukan seks usia dini. Bukannya supaya tidak zina kemudian dikawinkan, tapi bagaimana anak itu dididik soal tubuh masing-masing baik yang laki-laki maupun perempuan."

Berbagai mekanisme dispensasi tadi mengindikasikan negara turut bertanggung jawab ketika sosok seperti Sari tewas akibat KDRT dalam rumah tangga hasil pernikahan anak. Negara pada akhirnya ikut bertanggung jawab karena menyediakan celah hukum yang mendorong perkawinan anak terus terjadi.

Desakan agar UU Nomor 1 Tahun 1974 segera direvisi muncul dari beragam pihak, termasuk Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, yang menyadari keterlibatan negara dalam lingkaran setan pernikahan di bawah umur. Yohana melobi beberapa Kementerian terkait, termasuk bertemu Menteri Agama, agar mau mendukung revisi UU Perkawinan. Sayangnya hingga saat ini belum ada keputusan konkret yang tercapai dari internal pemerintah.

Iklan

Revisi atas UU perkawinan tersebut semestinya bisa dilakukan, sebab jika mengacu Undang-Undang Perlindungan Anak No 35 tahun 2014, batas usia dewasa anak disepakati parlemen adalah 18 tahun. "Secara nyata peraturan itu membuat setiap perempuan Indonesia boleh dikawinkan saat usia anak atau belum dewasa," kata Indry, saat mendampingi pemohon judicial review UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi.


Tonton dokumenter VICE mengenai tradisi mahar belis yang amat mahal dan memberatkan anak muda Sumba:


Tahun lalu, permohonan judicial review pernah dilakukan tiga perempuan yang jadi korban pernikahan anak. Mereka tergabung dalam Koalisi 18+, gerakan sosial mengadvokasi penghentian praktik perkawinan anak dan kawin paksa di Indonesia. Hingga saat ini permohonan judicial review tersebut belum diputuskan MA tanpa alasan jelas.

Sebelumnya, pada 2015, permohonan serupa juga dilayangkan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) bersama masyarakat sipil. Gugatan itu kandas di tangan Mahkamah Konstitusi yang berpendapat tidak ada jaminan peningkatan batas usia menikah anak perempuan dari 16 ke 18 tahun bisa menjadi salah satu solusi bagi masalah reproduksi, kesehatan, dan masalah sosial lain.

Kini bola sepenuhnya ada di tangan Presiden Joko Widodo. Akankah negara membiarkan terus ada remaja macam Sari, dan ribuan lain yang bernasib sama di Indonesia, hidup menderita akibat dipaksa melakoni pernikahan di bawah umur?

Dua tahun lalu, koalisi masyarakat sipil mencoba merumuskan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pencegahan dan Penghapusan Perkawinan Anak. Presiden Jokowi sempat secara lisan mengucap setuju untuk mendorong pengesahan Perppu itu, pada April 2018 lalu. Hingga artikel ini dilansir, Jokowi tak kunjung menandatangani beleid yang bisa memperbaiki nasib banyak remaja perempuan tersebut.

*Nama korban dan pelaku diubah untuk melindungi privasi mereka yang masih di bawah umur.