FYI.

This story is over 5 years old.

Konflik di Filipina

Gereja Katolik Menolong Namun Sekaligus Memperparah Kemiskinan di Kota Melarat Filipina

Di kota Tondo yang bertetangga dengan Manila, gereja turut membantu mengeluarkan warga dari jerat kemiskinan. Tapi konservatisme malah menghalangi warga lepas dari masalah struktural yang membuat mereka terus melarat.
Suasana jalan utama di Tondo. Semua foto oleh penulis.

Segala sesuatu di Tondo dibangun—meski kadang sekenanya—dengan memperhitungkan deretan angka-angka. Kawasan tersebut, yang terletak di ujung barat daya Manila, sekarang dihuni oleh lebih dari 630 ribu orang. Semua penduduk Tondo harus berbagi lahan yang luasnya tak lebih dari 8,6 kilometer persegi. Artinya, terdapat 70 ribu orang untuk setiap satu kilometer persegi lahan di Tondo. Tak ayal, Tondo kini tercatat sebagai kawasan paling padat sejagat. Saking padatnya kawasan ini, Tondo tak ubahnya sebuah kota, dalam bentuk yang paling menyedihkan.

Iklan

Kabel listrik saling tumpang tindih seperti anyaman kusut berwarna hitam di atas kawasan itu. Kalau kalian berpikir lalu lintas Manila—yang dianggap sebagai yang terburuk di Dunia—sudah termasuk brengsek, kalian seperti harus datang ke Tondo. Di sini, lalu lintasnya jauh lebih padat dari jalanan Manila manapun. Parahnya lagi, jalan-jalan di Tondo kadang menyempit menjadi gang-gang sempit yang hanya bisa dilewati orang pejalan kaki tanpa saling menoleh satu-sama lain.

Tondo adalah kantung kawasan paling kumuh di Filipina, salah satunya adalah kawasan tempat pembuangan sampah akhir yang terkenal dengan sebutan "Smokey Mountain." Julukan tersebut diberikan lantaran asap dari pembakaran tumpukan sampah tak emoh hengkang dari tempat itu. Ironisnya, di tempat ini, berdiri sejumlah Gereja Katolik megah yang mau tak mau mengingatkan kita akan kemakmuran Gereja Katolik Roma. Nahasnya lagi, usaha Gereja Katolik di Tondo untuk menolong jemaatnya malah melanggengkan—kalau bukan memperparah kemiskinan di sana.

Saya turun dari mobil yang saya tumpangi di Tayuman Street, tetap di depan sebuah bangunan yang tak begitu mengundang perhatian. Anak-anak tampak lari keluar masuk pintu bangunan tersebut. Selidik punya selidik, bangunan tersebut adalah sebuah pusat komunitas Katolik yang menjalankan tiga langkah pengentasan kemiskinan di Tondo—dua langkah di antaranya adalah edukasi dan pembukaan lapangan pekerjaan. Namun, yang menarik, program pengentasan ini dimulai dengan program penggalakan mandi.

Iklan

Fase pertama pemberantasan kemiskinan di Tondo adalah Kalinga, sebuah kata hasil penggabungan dari kain (makan), ligo (mandi), dan ayos (merawat diri). Fase ini pada dasarnya cuma mandi dan pemberian makanan hangat, jelas Romo Father Eddie*, pendeta setempat pengelola pusat komunitas Katolik tersebut.

"Kami harus menunjukkan sesuatu yang jarang ditemui orang-orang Tondo dalam keseharian mereka. Makanya, saya kepikiran tentang mandi," ujarnya. "Mandi itu mengajarkan kita untuk bertanggung jawab. Ketika mereka berkaca, orang-orang ini akan berpikir, ‘Sekarang tubuh saya bersih. Saya bisa mengurus tubuh saya sendiri.'"


Tonton dokumenter VICE mengenai sebuah kampung di Filipina yang penduduknya secara harfiah hidup di tengah kuburan penuh tulang manusia:


Sayangnya, mandi dan makanan hangat belaka tak cukup membereskan carut marutnya kondisi di Tondo. Selama ini, penduduk Tondo hidup dengan stigma Tondo sebagai sarang penjahat dan pecandu Narkoba. Perang melawan peredaran Narkoba yang dicanangkan oleh Presiden Rodrigo Duterte justru malah menabalkan anggapan miring tersebut. Malah, pembunuhan ekstra yudisial terkait perang narkoba Duterte pertama kali terjadi di Tondo. Sejak saat itu, jumlah penggerebekan dan korban jiwa terus meningkat.

Rommel* paham betul sisi gelap Tondo. Sebelum bertobat lewat bantuan sebuah komunitas yang dikelola Gereja Katolik, Rommel bekerja sebagai pembunuh bayaran, profesi brutal yang menyebabkan dirinya kecanduan menghirup methylbenzene, atau can thinner. Di Tondo, cairan kimia ini dikenal dengan nama rugby—madat andalan kaum papa di sana.

Iklan

"Hidup saya sebelumnya kacau balau," demikian pengakuan Rommel. "Pekerjaan saya menuntut saya untuk memberikan segalanya."

Makanya, dia menghirup rugby guna menenangkan diri, katanya.

"Makanya, rugby disebut 'pelarut', karena fungsinya memang untuk melarutkan masalah," kata Rommel. "Kamu jadi acuh dengan apa yang terjadi di sekitarmu; kamu jadi tak merasakan kelaparan atau rasa dingin saat hujan turun."

Kini, Rommel bekerja untuk Gereja Katolik, membantu penduduk Tondo lain yang mungkin punya jalan nasib sama seperti dirinya.

“Gereja telah memberi saya kesempatan kedua dalam hidup dengan meminta saya melayani orang lain,” ungkapnya.

Semua orang yang terlibat dalam pusat komunitas Katolik di Tondo percaya mereka tengah menjalankan “kehendak Tuhan.” Sayangnya, mudah sekali menyaksikan ironi dari imbas besar Gereja Katolik pada kawasan seperti Tondo. Antrian makanan gratis di luar pusat komunitas Katolik sangat panjang. Jikapun berhasil ditampung dalam bangunan pusat komunitas tersebut, mereka bakal saling berdesakan. Dan, jika menilik angka-angka statistik di Tondo, kepadatan penduduk di sana erat kaitannya dengan cara pandang Gereja terkait masalah keluarga berencana dan kontrasepsi.

Angka kelahiran di Filipina kini 34% lebih tinggi dari Indonesia. Meski terhitung tinggi, ini bukan angka tertinggi di kawasan Asia Tenggara—rekornya masih dipegang Timor-Leste. Cuma, Filipina masih masuk dalam lima negara dengan angka kelahiran tertinggi di kawasan tersebut. Sejumlah pakar berpendapat tingginya angka kelahiran menjadi salah satu faktor besar penghambat perkembangan Filipina.

Iklan

Tingginya angka kelahiran di Filipina dipengaruhi oleh keputusan Gereja Katolik—lembaga paling berpengaruh di Filipina yang mayoritas penduduknya beragama Katolik—yang menentang program KB dan pemberian alat kontrasepsi bersubsidi.

“Sebagian besar penentangan ini berasal dari hierarki Gereja Katolik Roma,” ujar Bic Chua, direktur eksekutif Catholics for Reproductive Health. “Maksud ‘hierarki’ di sini yaitu struktur kepemimpinan Katolik, seperti pastor, uskup dan kardinal, karena lebih dari 70 persen umat Katolik di Filipina sudah menginginkan program KB.”

Pemerintah Pusat sudah memberlakukan UU Kesehatan Reproduksi sejak 2012 karena ingin membatasi jumlah kelahiran dengan menyediakan fasilitas kesehatan universal di seantero Filipina. Undang-undang ini dikecam oleh para pelobi yang memiliki hubungan dengan Gereja Katolik. Pada 2015, masalah ini berhasil dibawa ke Mahkamah Agung di mana hakim mengajukan larangan terhadap kontrasepsi, atau yang mereka sebut sebagai “abortifacients.”

A table of pamphlets at the center.

Pada 2016, pemerintah memangkas anggaran untuk UU Kesehatan Reproduksi dengan menghentikan pasokan alat kontrasepsi. Larangannya memang sudah dicabut awal tahun ini, tapi kurangnya dana dan penentangan senat semakin menghambat penerapan UU Kesehatan Reproduksi.

Belum lagi adanya tantangan budaya lokal di sana. Kelompok konservatif Gereja Katolik menganggap kontrasepsi adalah perbuatan amoral sehingga harus diberantas. Berhubung Gereja adalah lawan utama di Filipina, maka kelompok pro-kontrasepsi sangat kesulitan menghadapinya.

Iklan

"Kami bertugas mengklarifikasi kesalahpahaman. Kami bersusah payah memberi tahu warga kalau KB tidak akan membuat mereka masuk neraka," kata Chua menjelaskan.

Saya bertemu dengan Rosa yang sedang makan. Putranya terus menatapku saat kami berbicara. "Dia keturunan setengah Afrika. Saya terakhir kali bertemu [ayahnya] sejak saat itu. Dia bahkan belum pernah bertemu ayahnya."

Di Tondo, kebanyakan perempuan harus bekerja sebagai PSK untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mereka kemudian hamil karena tidak ada pil kontrasepsi. Pelanggannya tidak tahu menahu soal ini, dan para perempuan tidak mungkin bisa mencarinya. Alhasil, mereka harus membesarkan anaknya sendiri.

Akan tetapi, bukan hanya PSK yang menghadapi masalah banyak anak. Peran orang Filipina yang bekerja di luar negeri sangat signifikan bagi ekonomi negara. Menurut data pemerintah, ada sekitar 2,3 juta orang Filipina yang bekerja di luar negeri pada 2017.

Ketika mereka pulang ke Filipina, mereka sering berhubungan intim dengan pasangannya. Setelah itu, pasangannya hamil karena tidak ada alat kontrasepsi. Menurut Chua, mereka tidak berusaha menahan diri untuk mencegah kehamilan.

"Kuatnya kepercayaan konservatif kuno membuat kami kesulitan mengatasi kemiskinan," ujar Chua.

Tidak adanya akses legal terhadap program KB membuat pasangan mengambil jalan lain yang berbahaya. Seorang ibu 52 tahun yang memiliki 11 anak dipenjara karena tiga kali menggugurkan kandungannya dengan kateter karet dan menusuk rahimnya sendiri. Dia mengalami pendarahan sampai janinnya mati.

Iklan

Rosa merasa beruntung hanya punya satu anak.

"Kebanyakan teman saya tidak seberuntung itu," katanya.

Saya bertanya kepadanya bagaimana teman-temannya mencegah kehamilan. Dia menceritakan cara-cara ekstrem paling umum, seperti pakai gantungan baju atau jepit rambut.

"Kami hanya menginginkan pilihan yang lebih baik," katanya.

Saat meninggalkan tempat itu, saya melewati toko suvenir yang penuh salib dan rosario Katolik. Di sana, ada meja penuh brosur yang memperingatkan bahaya narkoba, AIDS, dan penyakit mematikan. Stiker anti UU Kesehatan Reproduksi tertempel di pintu masuk.

Saya memasuki mobil dan memerhatikan anak-anak yang mengejar dan mengetuk kaca mobil. Pemandangan ini membuat perasaan saya berkecamuk. Gereja Katolik memang sangat membantu penduduk Tondo, tapi kelompok konservatifnya adalah alasan dibalik kesengsaraan rakyatnya. Mobil perlahan meninggalkan Tondo, dan menuju Metro Manila. Saya menatap anak-anak yang melambaikan tangannya ke arahku sampai bayangan mereka menghilang.

* Beberapa nama sudah disamarkan untuk melindungi identitasnya.