Pandemi Corona

Anggota DPR Ragukan Data Dokter Meninggal karena Covid-19 Betulan Capai 100 Orang

Patokannya data Kemenkes yang menyebut “hanya” 30 dokter meninggal. Indonesia mulai memasuki fase suram debat dan akrobat statistik orang meninggal.
Anggota DPR Rahmad Handoyo Ragukan Data IDI Soal 100 Dokter Meninggal karena Covid-19
Dokter spesialis paru memantau kondisi bangsal pasien Covid-19 di RSUD Bogor. Foto oleh Adek Berry/AFP

Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo baru-baru ini mempertanyakan kebenaran catatan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) bahwa seratus dokter telah meninggal dunia karena pandemi Covid-19. Doi heran karena data dari Kemenkes yang dipegangnya bilang angka kematian dokter “hanya” 30 orang.

“Saya hanya ingin tanya, data dari IDI itu dari mana? Sedangkan saya dapat data dokter yang gugur itu adalah 30 [orang]. Ini sungguh memprihatinkan. Saya bertanya, apa motivasi merilis catatan dokter yang telah gugur menangani Covid-19 itu 100? Datanya dari mana? Mudah-mudahan ini salah,” katanya Selasa lalu (7/9) kepada RMOL.

Iklan

Pernyataan itu masih ada lanjutannya. “Saya berharap kritikan keras ini di-check and recheck, kerja sama dengan Kemenkes, kerja sama dengan pemerintah, bahu-membahu saling melengkapi mana yang belum sempurna, kita sempurnakan. Bukan merilis tanpa koordinasi Kemenkes,” tambah Rahmad.

Pertama, mohon maaf, Pak, ujaran macam ini jelas enggak termasuk kategori kritikan keras, melainkan sekadar melempar gosip. Kritik harusnya hadir berbekal landasan jelas. Kalau cuma perkara beda angka dalam data terus lalu secara manasuka meragukan data salah satu pihak tanpa basis argumen, apa bedanya sama gibah Bu Tedjo?

Kedua, lembaga independen mana pun bebas melaporkan data hasil temuan. Lagian, IDI punya jaringan dokter seluruh Indonesia sehingga memiliki kredibilitas yang cukup untuk ngasih laporan. Lalu, untuk apa pula mereka harus koordinasi dengan Kemenkes? Penyampaian laporan macam ini enggak perlu lolos verifikasi pemerintah. Kalau memang Kemenkes mau adu validasi data, ya silakan saja. Dibuat terbuka sekalian, jadi masyarakat paham.

Respons absurd Rahmad ini dipicu pengumuman sedih dari IDI pada 31 Agustus silam. “IDI mencatat dokter yang meninggal dunia dengan Covid-19 sudah genap 100 orang. Mari mendoakan tempat kembali yang terbaik bagi almarhum dan almarhumah serta ketabahan kepada keluarga dan kita semua yang ditinggalkan,” tulis Halik, dikutip dari Kompas.

Jika Rahmad mau sedikit berusaha, selisih angka tersebut bisa dicek di internet kok. Gerakan independen Lapor Covid-19 telah merilis pusara digital untuk para dokter dan tenaga kesehatan lain yang meninggal. Di situsnya terdapat nama lengkap plus gelar, foto, obituari singkat, sampai testimoni kerabat dekat.

Kehilangan ratusan dokter bukan perkara sepele. Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan kerugian negara akibat kematian dokter selama pandemi sangatlah mahal. “Kematian 100 dokter menjadikan kerugian negara tak ternilai. Secara kerugian materiil, kita harus mendidik lagi dokter, itu perlu waktu. Kalau dihitung dengan uang, besar sekali kerugian itu,” ujar Pandu kepada CNN Indonesia.

Sekarang biar adil, gimana kalau Pak Rahmad menjelaskan mengapa ia percaya banget sama data Kemenkes? Saya sebenarnya udah berniat pengin cari tahu sendiri. Tapi enggak jadi karena situs resmi Kemenkes beneran bikin sakit mata.