Sikap Redaksi

Sikap Redaksi: Mengecam Serangan Aparat pada Solidaritas Sosial dan Agenda Mahasiswa

Aktivis Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu dijemput polisi karena isu Papua dan penggalangan dana buat mahasiswa. Kabar buruk susulan setelah dua mahasiswa gugur di Kendari. Sikap polisi berseberangan dengan tujuh tuntutan massa.
Sikap Redaksi: Mengecam Serangan Aparat pada Solidaritas Sosial dan Agenda Mahasiswa
Foto spanduk yang dibawa mahasiswa saat menggelar aksi di depan Gedung DPR RI pada 24 September 2019 oleh Muhammad Ishomuddin.

Indonesia sedang tidak baik-baik saja bagi banyak pihak. Itulah sebabnya secara organik muncul gerakan #GejayanMemanggil, disusul #BengawanMelawan, #SemarangBergerak, #SurabayaMenggugat, dan banyak lagi lainnya di berbagai kota. Inisiator gerakan sosial tersebut adalah anak muda, mahasiswa maupun pelajar—didukung elemen sipil—yang mayoritas tidak mengalami langsung penindasan Orde Baru.

Ada beberapa isu prinsipil mendorong gerakan tadi bertransformasi menjadi demonstrasi. Ancaman terhadap kebebasan individu yang muncul dari revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; asumsi terjadi pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi lewat revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi; disusul sikap Dewan Perwakilan Rakyat untuk meloloskan serangkaian beleid bermasalah di bidang mineral dan bahan bakar, pemasyarakatan, ataupun pertanahan.

Iklan

Di saat bersamaan, kekerasan terus mewarnai Papua memicu jatuhnya korban jiwa sipil maupun aparat. Kebakaran hutan serta bencana asap juga terulang, memicu kekecewaan jutaan warga yang terdampak olehnya. Berbagai isu itu dikristalisasi gabungan mahasiswa dan elemen sipil menjadi tujuh tuntutan, termasuk desakan bagi aparat negara menghentikan kriminalisasi aktivis.

Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

Sempat terbit harapan. RUU kontroversial dihentikan pembahasannya untuk sementara. Presiden Joko Widodo juga dikabarkan mempertimbangkan saran pakar mengenai kemungkinan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) atas revisi UU KPK, sehingga penolakan mahasiswa dapat mereda. Presiden juga menegaskan bahwa dirinya mendengar protes yang disuarakan berbagai elemen masyarakat, mengundang mahasiswa menemuinya di Istana hari ini, Jumat 27 September 2019.

"Jangan sampai Bapak Ibu sekalian ada yang meragukan komitmen saya mengenai ini [menjaga demokrasi]," kata Jokowi, saat menemui puluhan tokoh nasional di Istana Merdeka kemarin.

Kurang dari 24 jam, harapan itu luruh. Dua mahasiswa Universitas Halu Oleo di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, gugur saat mengikuti aksi dengan semangat serupa seperti di kota-kota lain. Kuat dugaan bahwa kematian Immawan Randy (21) dan M Yusuf Kardawi (19) dipicu kekerasan oleh aparat yang seharusnya mengamankan demonstrasi. Gugurnya dua mahasiswa itu memicu tagar #IndonesiaBerduka. Sejalan dengan sikap PP Muhammadiyah, yang kehilangan kader dalam sosok mendiang Randy, redaksi VICE menilai tewasnya dua demonstran ini wajib diusut secara profesional oleh kepolisian. Pelakunya kelak juga harus dihukum seberat-beratnya untuk tidak memperpanjang rantai impunitas yang kerap menodai rekam jejak aparat hukum di Tanah Air.

Iklan

Kabar buruk berikutnya muncul dari penangkapan aktivis atas alasan berbeda. Di Jatiwaringin Bekasi, pukul 22.30 WIB menjelang pergantian hari menuju 27 September 2019, pembuat film dokumenter Dandhy Dwi Laksono dijemput personel Polda Metro Jaya. Pendiri rumah produksi WatchDoc itu dijerat dengan UU ITE, atas pasal provokasi yang bisa mempengaruhi hubungan antar suku, karena cuitannya di medsos tentang kerusuhan di Wamena, Papua. Dandhy sudah diperbolehkan pulang, tapi statusnya kini tersangka.

Lalu, disusul kemudian pada pukul 04.25 WIB, musisi Ananda Badudu yang pernah menjadi jurnalis untuk VICE, giliran dijemput polisi. Tindakan Ananda menggalang dana lewat platform KitaBisa untuk memberi bantuan medis dan logistik pada rangkaian aksi mahasiswa selama 24-25 September lalu di Gedung DPR RI dipermasalahkan. Pada pukul 10.30 WIB, Ananda sudah dibebaskan, hanya dikenai status sebagai saksi.

Saat dikonfirmasi media, Ananda menyatakan ada banyak mahasiswa yang ditangkap di Polda lebih membutuhkan pendampingan hukum segera. "Saya salah satu orang yang beruntung punya privilege untuk bisa segera dibebaskan. Ada yang lebih butuh pertolongan dari saya," ujarnya selepas keluar dari Polda Metro Jaya.

Dalam sekali sapuan, polisi terlibat dalam tiga isu kontroversial sekaligus. Dugaan kekerasan yang menewaskan mahasiswa, penangkapan aktivis karena cuitannya soal Papua, serta menjerat sosok yang melakukan kerja kemanusiaan menyokong aksi mahasiswa. Secara simbolis, tindakan aparat hukum dalam kurun berdekatan ini menyerang satu simpul yang sama: solidaritas sosial.

Iklan

Mendiang Randy dan Yusuf bersolidaritas pada agenda mahasiswa secara nasional, demikian pula pilihan politik yang diambil Ananda Badudu. Sementara Dandhy, yang juga dari rangkaian twitnya bersolidaritas pada unjuk rasa mahasiswa, menyuarakan isu ketidakadilan di Papua yang tak kunjung bisa dituntaskan pemerintah pusat. Polisi memilih berseberangan sepenuhnya dengan tuntutan yang disuarakan massa aksi beberapa hari lalu.

Dimensi kasus tewasnya mahasiswa di Kendari sepenuhnya ranah pidana, sehingga polisi wajib bersikap profesional menuntaskannya. Sementara yang lebih pelik adalah penangkapan Dandhy dan Ananda. Sebab dua peristiwa itu punya implikasi politis. Polisi mengabaikan dimensi hak kebebasan berpendapat yang dijamin undang-undang, sekaligus mengkriminalisasi solidaritas sosial.

Tindakan Dandhy ataupun Ananda di medsos masing-masing adalah komitmen menjunjung tinggi kemanusiaan. Terkhusus, untuk kasus yang menjerat Ananda, polisi sama saja secara simbolis mengkriminalisasi 2.129 donatur individu, dari berbagai lapisan masyarakat, yang ikut bersimpati pada aksi mahasiswa tempo hari.

Respons polisi mencederai rasa keadilan rakyat, yang tercermin dari mencuatnya tagar #BebaskanDandhy dan #BebaskanAnandaBadudu di daftar trending topic Twiter Indonesia sejak dini hari tadi sampai sekarang. Pemakaian UU ITE untuk kasus Dandhy, yang terbukti selama ini produk hukum bermasalah, membuat publik merasa mereka bisa mengalami nasib serupa ketika menyuarakan pikirannya. Begitu pula dalam perkara Ananda. Menggalang bantuan kemanusiaan dengan transparansi alokasi dana pada publik sekalipun ternyata bisa membuatmu ditengarai melanggar hukum. Kekecewaan masyarakat itu segera disuarakan lewat tagar #SayaJugaTransfer, yang menuntut polisi sekalian menangkap ribuan orang yang menyumbang untuk aksi kemanusiaan yang digalang Ananda.

Benang merahnya, publik sedang tidak merasa aman dan diayomi oleh penegak hukum. Tiga rangkaian kasus yang melibatkan kepolisian dalam rentang satu hari terakhir menguji prinsip-prinsip mendasar alam demokrasi.

Sikap publik sebetulnya jelas. Bisa dilihat dari unjuk rasa dan dukungan yang diberikan lewat berbagai platform, termasuk media sosial. Ketika polisi sampai tak serius menuntaskan kasus di Kendari, dan meneruskan jalur pidana untuk kemerdekaan politik Dandhy ataupun Ananda, maka yang sedang diuji adalah demokrasi di Indonesia. Ini belum termasuk rangkaian intimidasi dan kekerasan yang dilakukan polisi terhadap beberapa jurnalis selama meliput gelombang unjuk rasa mahasiswa pekan ini, yang jelas-jelas sudah melanggar Undang-Undang Pers.

Hanya respons kepolisian jua, dan juga sikap politik Presiden Jokowi, yang akan menentukan dengan tinta apa rangkaian peristiwa ini tercatat dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia.