Tersentuh oleh Konser 'Layar Terkembang', Kenduri Musik Hara untuk Syukuri Suka-Duka
Seperti inilah suasana konser bila diadakan pagi hari di tengah amfiteater bambu. Semua foto oleh Kurniadi Widodo.
seni pertunjukan

Tersentuh oleh Konser 'Layar Terkembang', Kenduri Musik Hara untuk Syukuri Suka-Duka

Hara, proyek solo Rara Sekar, sajikan konser dengan cara tak umum namun menyentuh. Diadakan pagi hari di ruang terbuka, konser Layar Terkembang jadi pesta perpisahan paripurna.

Peristiwa musik hari ini cenderung dikemas dengan cara maksimal: riuh, masif, dan semarak. Musik atau konser didesain sebagai ruang eskapis bagi penikmatnya. Begitu musik menyala, sejenak kita lupa tanggungan pekerjaan, berita buruk, nasib lacur, atau kesepian yang berkecamuk.

Hara, lewat album perdananya Kenduri, adalah anomali tren tersebut. Dan konser pungkasannya, Layar Terkembang, Sabtu 1 April 2022 lalu menjabarkan segala alasan yang menjadikan Hara lain, sekaligus istimewa.

Iklan

Dirilis pada 2021 lalu, Kenduri adalah EP perdana Rara Sekar dalam proyek solo terbarunya Hara yang hanya berisi empat lagu. Jumlah lagunya memang terbilang sedikit, namun perayaan atasnya tak habis-habis hingga hari ini. Dalam berbagai kesempatan, Rara bercerita bahwa Kenduri lahir dari refleksinya selama intens berkebun akibat pandemi 2020 lalu. Saat itu ia merasa terhubung kembali dengan alam.

“Album ini sebenarnya untuk menelusuri kembali relasiku dengan alam, khususnya sebagai orang kota,” ungkapnya.

Bagi saya, Kenduri adalah album yang minimalis. Liriknya hemat, tapi saya justru menemukannya seperti mantra yang membungkus narasi paling esensial untuk direnungkan dalam hidup. Musiknya sederhana, nyaris sepi. Ketika musisi lain memikat pendengarnya dengan menawarkan ruang untuk sejenak lupa, Hara memilih jalan sebaliknya. Lagu-lagu di Kenduri seperti sengaja menyisakan ruang lapang bagi pendengarnya untuk mengingat dan memproses banyak hal dalam diri mereka sembari mendengarkan.

Pada saya, album ini membersamai proses dialog dalam diri untuk melepaskan apa-apa yang “harus” untuk belajar “menerima” dan menjadi sederhana. Karena itu, mustahil bagi saya mengulas Kenduri dan konsernya tanpa menjadikannya personal.

Seperti jam-jam berkebun, konser Layar Terkembang diadakan pagi hari, saat matahari belum tinggi, di sebuah amfiteater bambu bernama Ruas Bambu Nusa, sekitar 30 km di utara pusat kota Yogyakarta. Gunung Merapi terlihat paling gagah di jam-jam itu. Konser ini dibuat Rara Sekar sebagai perayaan perjumpaan sekaligus perpisahan, sebelum ia pindah ke Selandia Baru sampai waktu yang tidak ditentukan. Acara dikemas sebagai agenda sehari penuh. Diawali konser, lalu berlanjut piknik di pasar kaget, tur jalan kaki, dan makan bersama hingga sore.

Iklan

Saya duduk di lingkar terluar amfiteater, bersama sekitar 250-an penonton lain dipayungi kanopi daun bambu yang teduh. Di pusat lingkaran, Rara Sekar duduk mengenakan setelan putih bersama string quintet-nya membuka konser yang terbagi jadi empat babak. Kolom sinar matahari jatuh tepat di atas mereka, menciptakan pemandangan hampir ilahiah. “Tembang Tandur” mulai dimainkan sebagai pembuka babak pertama yang diberi judul Berserah.

“Masyarakat adat itu selalu punya lagu untuk menemani mereka bertanam, tapi kita masyarakat kota kok nggak punya lagu untuk berkebun?  Lagu ini kuciptakan untuk itu,” ceritanya setelah lagu.

hara rara sekar tur kenduri 2022 tanah air udara bantul yogyakarta

Hara menyanyi dengan latar pohon bakau tua di tengah areal persawahan di Samas, Bantul pada Tur Kenduri pertama bertajuk 'Tanah, Air, Udara'.

Pada babak Berserah, Rara tampak setia pada tracklist di album Kenduri. “Akar Wangi” dan “Kebun Terakhir” lalu ditampilkan, plus cerita yang melatarbelakangi proses lagunya. Rara berkisah, “Kebun Terakhir” tercipta saat melihat kebunnya dalam fase tidak subur usai panen.

Fase ini menandai siklus alami tanah, seperti siklus mekar-mati, gelap-terang, naik-turun lainnya. Tapi hal ini sekaligus memberi Rara harapan ketika melihat banyaknya deforestasi atau alih fungsi tanah. “Semoga dengan banyaknya kebun yang mati, kita juga sedang mempersiapkan kelahiran baru di tempat lain,” ujarnya.

Lagu-lagu di album Kenduri mengingatkan saya pada salah satu titik terendah sesudah operasi ablatio retina yang hampir membuat saya buta. Saat itu, Kenduri saya putar berulang kali demi meredam kalut dan frustrasi, menemani saya berdamai dengan fakta bahwa hidup kerap berjalan di luar kontrol.

Iklan

Seperti rumus berserah, Kenduri mengingatkan saya bahwa setelah usaha semampunya, sisakan ruang kosong, agar kekuatan yang lebih besar dapat turut bekerja. “Serahkan semuanya di sana…  serahkan semuanya di sana…,” persis seperti lirik lagu “Arumdalu” yang dinyanyikan Rara sambil menengadah seperti tengah berdoa.

Semerbak bau dupa dan intro “Growing Up” membuka babak kedua, bertajuk Melepaskan. Lagu ini dirilis Rara Sekar 2019 lalu sebagai bagian dari album Salam Kenal bersama Daramuda, proyek temporer Rara bersama Danilla Riyadi dan Sandrayati Fay. Di sela kelakarnya, Rara menjelaskan babak kedua ini tentang merayakan kehilangan.

“Banyak kehilangan yang kita lalui sepanjang menjadi dewasa, kehilangan orang yang disayang, kehilangan sahabat, kehilangan mimpi,” ceritanya.

Saya banyak menangis selama konser, tapi baru saat “Seroja” saya merasa musti menyembunyikan muka saking sembapnya. Lagu ini dibuat Rara untuk mendiang Gunawan Maryanto, sahabatnya sekaligus aktor teater senior yang meninggal dunia 2021 silam. 

Vokal Rara dan petik gitar Lafa Pratomo membuat saya merasa seperti meniti sebuah terowongan dalam hati yang selama ini enggan saya masuki. Isinya ingatan soal bapak, soal nenek, soal sahabat yang tak lagi saling bicara, juga kedukaan dan kemuraman lainnya.

“Seroja” membangkitkan segunung duka, dan entah bagaimana, lalu menyulapnya jadi sesuatu yang anehnya… indah. Saat Rara membacakan potongan puisi “Jeda yang Ajaib”, secara spontan saya membisikkan doa untuk mereka yang telah pergi dalam hati. Dan melihat langit yang tiba-tiba redup dan mata-mata sembap lain, sepertinya bukan cuma saya yang merasakan pengalaman serupa.

Iklan

“Duka adalah sesuatu yang universal. Ternyata bukan cuma aku doang yang merasakan kehilangan, dan kesadaran itu ternyata menguatkan sih. Entah kenapa aku suka menyelami duka, aku merasa belajar banyak hal dari sana,” tutur Rara.

Di babak ketiga, Keberpihakan Politik, Hara menunjukkan keberhasilannya menghindari jebakan menjadi terlalu personal maupun apolitis. Secara naratif, Rara menghubungkan lagu-lagu yang ia nyanyikan ke isu sosial-politik yang lebih luas. Seperti pengingat lembut tentang dunia yang tidak baik-baik saja, bahwa kedukaan kita dinaungi banyak problem struktural sebagai konteksnya.

Di lagu “Tini dan Yanti”, yang diambil dari album Banda Neira, ia bicara soal nasib tahanan politik 1965 yang hingga kini tak kunjung terang. Rara juga mengajak solois Frau menyanyikan “Kabut Putih”. Lagu ciptaan Zubaidah Nungtjik A.R. ini ditulis di dalam penjara pada 1971. Setelah muram di babak dua, di babak ketiga ini suasana kembali riang. Sebagaimana isi dua lagunya yang penuh harapan.

hara rara sekar tur kenduri 2022 tanah air udara bantul yogyakarta

Hara bersama sang adik, Isyana Sarasvati, dan ibunda mereka Luana Marpanda pada encore set Konser Layar Terkembang.

Seperti musiknya, di pertunjukannya Hara juga selalu membiarkan banyak hal terjadi bersama--menjadi bagian dari penampilannya. Di Layar Terkembang sesiangan itu, orkestra derik tonggeret, kerisik angin pada daun bambu, capung dan kupu-kupu, hingga sinar matahari menjadi kolaborator tak resmi yang membuat penampilan Hara utuh, semakin selaras dengan alasan yang membuatnya hadir. Untuk sejenak, musiknya mengakrabkan kami dengan alam.

Iklan

Di tur-tur Kenduri sebelumnya, Hara juga tampil akustik, menyisakan ruang untuk penonton mendengar bunyi-bunyi lain di sekitar. Barangkali karena itu juga, Hara mengemas konser-konser kecilnya sepaket dengan aktivitas luar ruangan. Sebab musiknya memang tak dibuat untuk selesai pada petik gitar terakhir, namun justru pada refleksi dan apa-apa yang hadir setelahnya.

Sebelumnya, tur Kenduri telah dilangsungkan dalam beberapa babak. Tur pertama bertajuk Tanah, Air, Udara diadakan Juni-Juli 2022 lalu dengan mengemas pertunjukan musik dan acara bersepeda bersama di area pantai Samas, Bantul Yogyakarta. Dari Yogyakarta selatan, tur beralih ke utara, bertajuk Gulma yang Benar di Omah Lor Project, Pakem, September 2022. Di sana Hara mengemas konser dengan acara meramban tanaman liar dan makan bersama di tepi sungai.

Tur Kenduri ketiga, Dapur Bumi, diadakan di Denpasar, di sana Hara berkolaborasi dengan Nostress dan tampil di halaman belakang lalu makan bersama Oktober lalu. Dan terakhir, Kenduri Botram diadakan di kawasan lereng Merapi Januari 2023 lalu. Sesuai arti botram, penonton membawa sendiri bekal makanan lalu saling berbagi sambil menikmati musik Hara berlatar lereng dan kabut gunung. Di tiap turnya, jumlah penonton tak lebih dari 30 orang.

“Setahun ke belakang setelah pindah Yogya, aku malah kembali mempelajari soal pertemanan. Dari kecil aku sering berpindah hidupnya, jadi sering terpisah (dengan teman baru),” cerita Rara saat membuka babak terakhir, Perpisahan, sambil menahan tangis. Setlist di babak ini berisi perayaan atas perjumpaan dan perpisahan yang terjadi sepanjang hidup, seperti sebuah siklus alami. Mengawali babak empat, ia mengenalkan dua lagu barunya, “Sebuah Lagu untuk Teman” dan “Layar Terkembang”.

Iklan

“Lagu ini tentang aku memaknai pertemanan di usiaku sekarang yang 30-an, karena lagi-lagi (sebelumnya) aku nggak pernah menciptakan sebuah karya untuk pamit ke orang-orang yang aku tinggalkan. Lagu ini biar nggak kayak gitu,” ujarnya disambut tepuk tangan penonton. Di lagu medley manis ini, Hara mengajak Layur alias Febrian Mohammad, solois yang juga sahabatnya untuk memainkan gitar. Sepanjang konser, saya juga angkat topi untuk permainan apik string quintet aransemen Jimmy Kimosabe yang membuat lagu-lagu Hara tersaji lebih dramatis.

Penampilan yang tak kalah mengharukan juga terjadi saat Rara mengundang Luana Marpanda, ibunya, maju memainkan piano elektrik milik Frau. Mereka menyanyikan salah satu lagu terpopuler Aoi Teshima, “Kokoro Wo Komete”.

Rara memaknai lagu ini sebagai pengingat tentang kebahagiaan yang terasa besar sewaktu ia masih kecil. Bahwa kita semua pernah dan masih bisa merasakan kebahagiaan sebesar itu. Duet ibu-anak ini jadi penampilan favorit saya sepanjang konser, rasanya seperti ada perasaan lembut yang menular. Saya tak biasa mendengar lagu berbahasa Jepang, tapi  sepulang dari konser hingga hari ini “Kokoro Wo Komete - ONE HOUR VERSION” jadi salah satu top playlist YouTube saya. Manis.

Rara memungkasi konser Layar Terkembang dengan meniru lingkar siklus alam, memutar kembali ke titik awal, lewat lagu “Ati Bolong”.

Lagu ini merupakan single yang menandai lahirnya Hara 2020 lalu. “Ati Bolong” aslinya merupakan tembang Jawa ciptaan maestro wayang suket asal Tegal, mendiang Ki Slamet Gundono. Rara mengaransemen ulang lagu tradisi tersebut dan menampilkannya lengkap dengan ambience dan soundscape, persis seperti versi rilisnya. Penonton dibuat mengawang-awang, sebelum memberi standing ovation meriah. Konser yang intim, sederhana, namun megah luar biasa.

04_hara_gulmayangbenar.jpg

Penampilan Hara di Omah Lor, Pakem pada gelaran Tur Kenduri "Gulma yang Benar".

Di ujung acara, Rara sempat mengajak Isyana Sarasvati dan ibunya berduet menyanyikan “Edelweiss” secara akustik. Penonton berubah jadi choir lirih sebelum akhirnya konser benar-benar berakhir. Hujan deras turun setelahnya. Tapi pasar kaget dan tur jalan kaki ke area konservasi Burung Hantu (Tyto alba) tetap berlangsung semarak. Saya sendiri memilih menghangatkan diri di salah satu ruangan Ruas Bambu Nusa. Makan nasi bakar, duduk berdempetan di meja panjang, sambil reuni juga berkenalan dengan beberapa teman baru sebelum akhirnya memutuskan pulang lebih sore. Saya memeluk Rara Sekar sambil berpamitan, mengucap terima kasih untuk perjumpaan, perpisahan, dan pertemuan, serta apa pun yang hadir di antaranya.

Penampilan Hara dalam konser Layar Terkembang hari itu seperti memantik segumpal perasaan yang jarang sekali muncul pada diri saya, sebuah urgensi untuk menepi dan menyepi. Menjadi kosong kembali. Terima kasih dan sampai jumpa Hara, selamat berlayar.