Tidak banyak musisi memiliki CV menawan seperti Stephen “Thundercat” Bruner. Siapa coba pemain bas di muka bumi yang bisa mengklaim pernah rekaman bareng ikon R&B Erykah Badu dan punggawa thrash metal Suicidal Tendencies? Dia pernah membuka tur Herbie Hancock dan Flying Lotus, mengisi isian bas dalam album The Epic milik Kamasi Washington, serta terlibat rekaman dua album Kendrick Lamar berturut-turut yang bercokol di puncak tangga lagu Billboard: To Pimp A Butterfly dan Untitled Unmastered. Dia juga berhasil mengajak reuni rocker gaek Kenny Loggins dan Michael McDonald di acara “The Tonight Show with Jimmy Fallon”. Stephen Bruner sudah pasti akan menjadi legenda industri musik dunia, dan dia masih berumur 35 tahun.
Maka dari itu, It Is What It Is, album keempat dan terakhir Bruner menggunakan monoker Thundercat yang dirilis label Brainfeeder pekan lalu, terasa seperti peristiwa penting di dunia musik menyusul album sebelumnya: Drunk. Menampilkan penampilan musisi tamu seperti Pharrel Williams, Wiz Khalifa, dan duo vokal Loggins-McDonald, album rilisan 2017 tersebut mengangkatnya dari musisi lokal favorit menjadi wajah baru kancah jazz fusion Amerika Serikat.
Videos by VICE
Menampilkan groove seru penuh kepercayaan diri dan lagu tentang kucing dan kebersihan diri diimbuhi rasa humor generasi millenial, Thundercat berhasil membawa subgenre musik ini ke dalam audiens baru. Mencampur jazz fusion dengan hip-hop kontemporer, baik Drunk dan album barunya menunjukkan talenta unik Thundercat untuk mengekspresikan diri lewat berbagai pengaruh musik yang berbeda.
Menoleh musisi-musisi pengisi It Is What It Is jelas menunjukkan pendekatan seni kolaborasi Bruner yang berani dan cair. Dia mengajak penyanyi Slave, Steve Arrington untuk berkolaborasi dalam nomor funk futuristik bareng Childish Gambino dan Steve Lacy dari The Internet. Bahkan Dolla $ign dan Lil B tampil dalam track yang sama, “Fair Chance,” yang didedikasikan untuk salah satu kolaborator dan teman baik Bruner, almarhum Mac Miller yang turut berkontribusi di Drunk.
“Seringkali, saya enggak punya waktu buat santai main game kayak gini lho,” ujar Bruner, sambil nge-pause game Sega Genesis di layar TV kamar hotelnya. Dia duduk di sofa, menyantap kudapan alih-alih hidangan makan siang yang pantas. “Saya bersyukur atas momen-momen yang telah saya miliki.”
Ketika ditanya tentang musisi impian yang pengin dia ajak sepanggung, Bruner menyebut nama Frank Zappa, dan J Dilla dengan nada agak menyesal. Pertama kali Bruner mendengar rapper/producer legendaris J Dilla ternyata di gereja.
Berusaha tidak tertidur ketika mendengar khotbah, Bruner remaja makan cemilan di kantin dan bertemu dengan temannya Richie yang kabur dari misa dan justru mendengarkan musik di Walkmannya. Dia sedang mendengarkan “I Don’t Know” karya Slum Village, nomor terkenal dari bootleg 1997 Fan-Tas-Tic Vol.1 dari kolektif hip hop asal Detroit tersebut.
“Saya sedang di gereja dan Richie bilang, wah, elo bakal masuk neraka. Lagi dengerin apa sih?” kenangnya.
Beberapa tahun kemudian, karir Bruner mulai terpantau oleh Dilla. Awal-medio 2000’an, Bruner terhubung dengan Sa-Ra Creative Partners, trio musisi/produser asal Los Angeles. Saat itu, mereka berkolaborasi bareng nama-nama besar seperti Bilal, John Legend, Pharoahe Monch, dan tentunya Erykah Badu, yang kelak merekrutnya sebagai bassis saat tur dan melibatkan dirinya dalam proses rekaman album New Amerykah. Mengingat banyaknya talenta dan selebritas dalam lingkaran sosial tersebut, Bruner berusaha tetap rendah diri dan tidak norak.
“Saya gemetar banget melihat J Dilla masuk keluar, ruangan studio rekaman” ujar Bruner mengingat masanya bermain dengan trio Sa-Ra di tengah game XBoxnya. “Dia menggunakan kursi roda. Tidak ada yang tahu kalau umurnya saat itu tidak panjang lagi.” Di satu titik, Dilla sempat memuji Bruner secara privat, dan menunjukkan ketertarikan untuk bekerja sama. Mereka bertukar nomor ponsel—sebuah tradisi yang terkesan basa-basi untuk pelaku industri musik di Los Angeles—ego Bruner meroket, tapi dia tidak yakin kerjasama itu akan benar-benar terjadi.
Tetap saja, kemungkinan berkolaborasi itu terlalu menggiurkan untuk diabaikan begitu saja. Dia menelepon Dilla ketika sedang menyetir, dan ternyata teleponnya diangkat, bahkan Dilla mengatakan dia belum lupa akan percakapan mereka.
“Dia mengatakan, ‘begitu saya kembali dari Brasil, ayolah kita realisasikan [kolaborasi itu]’,” ujar Bruner, merujuk perjalanan Dilla pada 2005 bersama Madlib dan fotografer Eric Coleman. Setelah percakapan di telepon tersebut, Bruner harus menepikan mobilnya karena tercengang. Namun secara tragis, setelah lama mengidap kelainan darah, Dilla meninggal di Februari tahun berikutnya, menutup peluang bagi kolaborasi yang mungkin akan jadi legendaris. “Saya enggak main-main ya. Saya mau banget bekerja sama bertahun-tahun dengan beliau seandainya dulu nasib mengizinkannya!”
Tertarik dengan hip-hop, R&B, dan hardcore punk, akar musikalitas Bruner datang dari jazz, yang menjadi lensanya saat masuk ke dunia musik-musik tidak lazim. Semasa remaja, dia ngeband di bar musik Locke High, dimentori musisi legendaris Reggie Andrews. Bar itu biasa menampilkan teman sekelasnya di sekolah, saksofonis Kamasi Washington. Bruner merekam album kuartet dengan nama Young Jazz Giants untuk Birdman Records pada 2004, bersama kakaknya Ronald Bruner pada drum, pianis Cameron Graves, dan tentu saja Washington. Semua nama ini nantinya muncul di album The Epic yang menjadi debut Kamasi.
Masa-masa rutin tampil di bar itu menjadi kawah candradimuka, memberikan Bruner sensitivitas hard bop, dan menanamkan apresiasi terhadap aspek improvisasi yang senantiasa dia bawa ke atas panggung. “Kami selalu memberikan ruang untuk improvisasi,” ujarnya. “Saya selalu mencari peluang untuk masuk ke momen semacam itu.”
Untuk inspirasi, Bruner rutin mendengarkan musik Wayne Shorter, Joe Henderson, Eric Dolphy, dan Ornette Coleman, selain musisi kontemporer seperti drummer Justin Brown dan pemain perkusi Dan Weiss. Dia sebenarnya bukan puritan soal jazz. Thundercat terang-terangan menyukai musisi fusion (yang sering diremehkan komunitas jazz) seperti keyboardis George Duke dan Hancock yang berani memasukan elemen non-jazz ke dalam kosakata jazz.
“Saya selalu memikirkan batas tipis antara kultur pop dan referensi sejenis dalam musikalitas saya,” ujarnya. “Rekan-rekan band dan orang-orang yang saya pilih untuk ikutan tur bareng, merupakan gabungan dari dua dunia tersebut.”
Biarpun ide-ide segar muncul dalam settingan seperti ini, nyatanya dia masih sering ragu-ragu secara otomatis mengubah ide-ide tersebut menjadi lagu, bahkan sekalipun ada kemudahan teknologi dewasa ini.
“Saya merasa lebih nyaman rekaman musik ketika tur ketika masih bareng Erykah karena saya tidak menjadi fokus perhatian,” ujar Bruner tentang menulis musik di jalan. “Ketika saya sedang tur sendiri, saya merasa kesulitan mencoba rekaman dan latihan setlist tur sekaligus. Terlalu banyak yang harus diperhatikan.”
Maka dari itu, ketika mengkomposisi nomor-nomor dari album Drunk untuk proyek Thundercat, Bruner ogah berkompromi soal sifat nyentriknya. Sama seperti album Drunk, debutnya untuk Brainfeeder, It Is What It Is memiliki kualitas yang tak kalah unik, penuh atraksi musikalitas berbobot tapi diiringi sikap cuek ala-ala serial Rick and Morty. Menggabungkan referensi seputar anime, seksualitas lelaki, dan bulu rambut kucing, “Dragonball Durag” menampilkan esensi Bruner tanpa kompromi. Sementara di nomor “Overseas”, raja humor internet Zack Fox ambil bagian.
“Saya dulu badut kelas ketika masih sekolah,” ujar Bruner, yang tentunya tidak mengagetkan siapapun yang sudah mendengar album Drunk. “Saya sering kena masalah karena memeluk teman sekelas atau mengolok-olok guru.”
Selera humor ini terasa sekali di It Is What It Is, baik ketika dia sedang memainkan bass secara mempesona dari track “How Sway” atau bersenandung tentang kecemasan dalam “Existential Dread”. Batas antara serius dan bercanda sangat tipis di sini, sesuai dengan kepribadiannya.
“Semua aspek tentang komedi merupakan cara manusia untuk terhubung dengan orang lain: tertawa agar kita tidak menangis,” ujar Brunner, sebelum tertawa terbahak-bahak. “Tertawa itu salah satu tindakan paling baik yang bisa kita lakukan sebagai manusia.”
Artikel ini pertama kali tayang di Noisey