FYI.

This story is over 5 years old.

Does It Suck?

Film ‘Predator’ Sebenarnya Bagus Atau Sampah Sih?

Memperingati ulang tahun franchise ‘Predator’ ke-30, kami berusaha mencari tahu kenapa seri ini sangat dibenci para kritikus.
Cuplikan adegan 'Predator' dari Sunset Boulevard/Corbis via Getty Images.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Canada.

Does It Suck? adalah kolom untuk memahami artefak budaya pop yang terlupakan, banyak dikecam, atau malah dicintai berlebihan. Lewat kolom ini VICE ingin mengkaji ulang bermacam hal yang dulu sempat ramai dibicarakan.

Ketika membahas dekade sebagai masa kultur, kita kerap menggunakan batasan yang lebih ambigu dibanding 1 Januari dan 31 Desember. Era 60an di AS dimulai di '64 dan berakhir di 6 Desember 1969 ketika insiden tragis Altamont Free Concert terjadi (atau ketika iklan Coca Cola yang menjarah kultur hippie diciptakan oleh Don Draper di November 1971). Era 1980an dimulai di '79 ketika single Blondie "Heart Of Glass" dan lagu The Knack "My Sharona" memuncaki tangga lagu dan berakhir ketika pasar stok AS jatuh di 19 Oktober 1987.

Iklan

Pemilihan 1987 sebagai batas akhir era 80-an tidak hanya disebabkan oleh kondisi ekonomi. Coba bandingkan produk budaya pop paling dikenang dari 1986—Top Gun, Master of Puppets-nya Metallica, Ferris Bueller's Day Off, Slippery When Wet karya Bon Jovi—dengan produk tahun 1988: Die Hard, Straight Outta Compton milik N.W.A, Who Framed Roger Rabbit?, Tracy Chapman. Jelas belaka jika fondasi era 1990an dibentuk dalam dua tahun terakhir di era 80an. Apapun yang melibatkan gel rambut berlebihan, bunyi synth bersih, dan kekerasan tanpa sebab ditinggalkan di era tersebut.

Nah, nyangkut di masa transisi inilah muncul Predator.

Film berbudget besar ini hadir pertama kali 30 tahun lalu—empat bulan sebelum ekonomi AS ambruk dan setahun setelah film Alien besutan James Cameron mengejutkan ekspetasi publik dengan meraih kesuksesan besar di box office. Alien membuktikan film sains-fiksi untuk dewasa bisa laku di pasaran. Bersama dengan Top Gun, Alien menjadi film esensial era 80an, lengkap dengan mimik ala Star Wars, perang gerilya era Iran-Contra di Amerika Tengah, dan adegan Jesse Ventura menembakkan Gatling gun raksasa sambil mengenakan kaos MTV.

Sayangnya, Predator terlambat dirilis dan mendapat kritik pedas di seksi Seni setiap koran terkemuka. The New York Times menyebutnya "jelek dan membosankan, tidak banyak kejutan" sementara The Los Angeles Times mengklaim Predator memiliki "salah satu skenario paling lemah dan formulaik untuk sebuah film studio besar." The Washington Post bahkan mengejek karakter Predatornya: "Kecoa juga lebih serem kali." Nampaknya para kritikus sudah bosan dengan era 80an bahkan sebelum era tersebut benar-benar berakhir.

Iklan

Lambat laun, reputasi Predator meningkat. Di Metacritic, Predator hanya memiliki skor rendah 36, hasil aggregasi resensi yang ditulis ketika film baru dirilis, namun mencetak 78% di Rotten Tomatoes, yang juga memperhitungkan resensi-resensi baru. Di RT, Predator mencetak skor penggemar 87 dan 78 di IMDB. Dalam beberapa tahun terakhir, Predator sempat disebut "Film Terbaik Yang Pernah Dibuat" dan berada di atas Raiders of the Lost Ark dan The Matrix dalam daftar "10 Film Laga Terbaik Sepanjang Masa" versi pembaca Rolling Stone.

Salah satu adegan film Predator.

Apabila kita terlalu kaku mengikuti tren sebuah era, kita kerap memberikan penilaian awal yang tidak bijak (Contoh: The Matrix dulu dipuji-puji berkat efek visual canggih dan pesan "jangan jadi konformis" yang kini justru terlihat kuno dan tidak bijak), namun dalam kasus Predator, justru kebalikannya yang terjadi. Di era 80an, para kritikus sudah bosan menonton Schawzenegger, karakter bego yang menggendong senjata otomatis, lokasi hutan eksotis, dan makhluk luar angkasa sehingga di tahun 87 ketika ketika Predator, kombinasi sempurna dari semua elemen tersebut muncul, genre laga macho/sains-fiksi sudah mencapai titik jenuhnya.

Apabila kebanyakan film klasik mendapat julukan tersebut karena muncul mendahului eranya, Predator justru muncul telat, di saat titik manis genre film yang diusung sudah bablas. Apakah film Friends With Benefits dan Steve Jobs superior dibanding kembaran mereka, No Strings Attached dan Jobs? Jelas, tapi kesuksesan mereka berkurang karena muncul beberapa bulan setelah film yang serupa diputar.

Iklan

Biarpun sisi macho-penuh-testosteron film ini tidak berbeda jauh dengan film-film blockbuster sebelumnya, dan memang tidak juga bisa disebut "revolusioner", Predator tergolong lebih progresif dibanding film-film kontemporer di era yang sama. Bukan hanya itu, Predator juga mampu meramal masa depan loh.

Berikut ini buktinya:
-- Dibintangi Arnold Schawarzenegger, Ventura dan Sonny Landham, Predator merupakan film pertama yang menampilkan aktor-yang-nantinya-mencoba-bersaing-sebagai-kandidat-gubernur. Schawarzenegger berhasil menjadi gubernur California, Ventura sebagai gubernur Minnesota dan hingga saat ini, Landham sudah kalah tiga kali dalam pemilu di Kentucky.

-- Di satu adegan film, Schwarzenegger diejek seseorang menggunakan kata "expendable," yang nantinya menjadi pondasi franchise film laga lainnya.

-- Perisai tembus pandang Predator dalam kehidupan nyata sudah hampir terwujud lho.

-- Tema film tentang ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan militer tergolong radikal di era Presiden Reagan.

-- Karakter Landham memang digambarkan sebagai stereotip Indian, tapi paling tidak karakternya diperankan oleh seorang berdarah Indian asli (Shout-out buat Tontonya Johnny Depp).

-- Yang paling mantap, dua karakter yang paling tidak toleran di film (Hawkins yang misoginis dan Cooper yang homofobik) adalah yang pertama disambut ajal.

Salah satu tokoh paling dikenang dari film Predator.

Siapa juga yang mengira di saat itu bahwa Predator akan memprediksi masa depan lebih akurat dari drama polisi bi-rasial Lethal Weapon? Gak ada kayaknya.

Kritik pedas yang awalnya dilontarkan terhadap Predator disebabkan oleh kasus langka dimana film blockbuster dirilis di waktu yang tidak sesuai. Dalam industri musik pop, kasus seperti ini lebih sering terjadi karena tren bergerak jauh lebih cepat dibanding industri film yang melibatkan proyek-proyek memakan dana besar. Setelah dekade 80-an dipenuhi dengan berbagai klise film sains-fiksi dan laga macho, tidak heran kalau Predator dikritik habis-habisan. Para pengkritiknya kemungkinan besar orang-orang yang capek menonton Schawerzenegger di Terminator.

Follow Patrick Lyons di Twitter.